Dikutip dari Futurism, aktivitas manusia yang terus menghasilkan karbon dioksida (CO) menjadi penyebab utama pencemaran atmosfer, memperburuk krisis iklim. Ketergantungan manusia yang masih tinggi pada bahan bakar fosil seperti minyak, gas, dan batu bara, serta kegiatan industri yang menghasilkan emisi besar, terus menambah beban karbon di atmosfer. Meskipun hutan, tumbuhan, tanah, dan lautan berperan sebagai penyerap karbon alami, jumlah CO yang dihasilkan manusia melebihi kemampuan alam untuk menyerapnya.
Bahan bakar fosil yang digunakan untuk transportasi, pembangkit listrik, dan industri menghasilkan CO dalam jumlah besar. Emisi ini menambah lapisan gas rumah kaca di atmosfer, mempercepat pemanasan global. Aktivitas seperti deforestasi untuk pertanian dan pembangunan juga mengurangi jumlah hutan yang seharusnya berfungsi sebagai "penyerap karbon" alami.
Tekanan yang dihadapi oleh penyerap karbon alami semakin berat karena peningkatan emisi ini. Kemampuan hutan, lautan, dan tanah untuk menyerap karbon semakin menurun, dan mereka tidak dapat mengimbangi jumlah emisi yang terus meningkat. Jika manusia tidak segera mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan, kemampuan alam untuk menetralkan emisi CO bisa semakin lemah, mempercepat perubahan iklim dan menyebabkan kerusakan ekosistem yang lebih parah.
Penebangan hutan secara terus-menerus semakin mengurangi jumlah pohon yang berperan sebagai penyerap karbon dioksida (CO) alami. Pohon-pohon melalui proses fotosintesis mampu menyerap CO dari atmosfer dan mengubahnya menjadi oksigen. Namun, aktivitas deforestasi untuk kepentingan pertanian, industri, dan pembangunan infrastruktur secara drastis mengurangi area hutan yang bisa menyerap karbon.
Seiring dengan peningkatan emisi yang dihasilkan manusia, terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan kegiatan industri, jumlah CO di atmosfer terus meningkat. Idealnya, alam akan menyerap sebagian besar karbon tersebut melalui hutan, lautan, dan tanah. Namun, ketika hutan semakin berkurang, kapasitas alam untuk menyerap karbon juga menurun. Dengan berkurangnya pohon, kemampuan alami Bumi untuk menangkap CO menjadi tidak sebanding dengan jumlah emisi yang terus bertambah.
Kondisi ini menyebabkan peningkatan kadar CO di atmosfer, memperburuk efek rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Deforestasi tidak hanya menghilangkan penyerap karbon alami, tetapi juga sering kali melepaskan simpanan karbon yang tersimpan dalam vegetasi dan tanah, semakin memperparah krisis iklim. Upaya untuk menghentikan penebangan hutan dan memulihkan hutan yang hilang menjadi semakin penting untuk menjaga keseimbangan karbon global dan mencegah dampak lebih lanjut dari perubahan iklim.
Keseimbangan alami antara penyerapan dan pelepasan karbon oleh tumbuhan mulai bergeser akibat meningkatnya suhu panas global, deforestasi, dan cuaca ekstrem. Biasanya, tumbuhan mengambil karbon dioksida (CO) dari atmosfer untuk melakukan fotosintesis pada siang hari, di mana karbon digunakan untuk menghasilkan energi dan pertumbuhan, dan oksigen dilepaskan sebagai produk sampingan. Proses fotosintesis ini adalah salah satu mekanisme utama alam untuk mengurangi jumlah CO di atmosfer.
Namun, selain fotosintesis, tumbuhan juga mengalami respirasi seluler, di mana mereka mengeluarkan sejumlah kecil CO baik di siang maupun malam hari. Dalam kondisi normal, proses fotosintesis lebih dominan sehingga tumbuhan menyerap lebih banyak CO daripada yang dilepaskan. Namun, perubahan iklim, terutama pemanasan global, penggundulan hutan, dan ketidakpastian cuaca telah mengganggu keseimbangan ini.
Pemanasan suhu yang terus-menerus membuat tanaman lebih banyak mengeluarkan CO melalui respirasi, terutama saat suhu tinggi mempercepat proses ini. Alih-alih menyerap karbon, tanaman di beberapa wilayah justru melepaskan lebih banyak karbon ke atmosfer, memperburuk krisis iklim. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pemanasan global dan kerusakan ekosistem telah membawa kita ke titik kritis di mana mekanisme alami penyerap karbon tidak lagi berfungsi seperti sebelumnya.
Direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research, Johan Rockstrom, menyebut fenomena ini sebagai krisis tersembunyi. Menurutnya, manusia terlalu nyaman dan sering kali tidak menyadari dampak besar yang terjadi di alam akibat perubahan iklim. Dari semua hutan hujan tropis di dunia, hanya Cekungan Kongo yang dilaporkan masih menyerap lebih banyak karbon daripada yang dilepaskan. Hutan Amazon, yang dulunya dikenal sebagai "paru-paru dunia," kini bahkan sudah mulai melepaskan lebih banyak karbon dibandingkan yang diserap.
Kondisi ini menyoroti urgensi tindakan untuk mengurangi emisi dan melindungi ekosistem yang tersisa, karena Bumi mungkin telah mencapai batas kemampuannya untuk menangani tekanan karbon yang dihasilkan manusia.