Meningkatkan Daya Tarik bagi Investor dari Negara Maju
investor, terutama dari negara maju. Banyak investor saat ini menerapkan kriteria ESG (Environmental, Social, and Governance) yang tinggi dalam keputusan investasi mereka. Kriteria ini mengharuskan proyek investasi tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga selaras dengan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.
Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa penggunaan energi terbarukan dengan emisi karbon yang rendah kini menjadi pertimbangan penting bagiInvestor yang memiliki skor ESG yang baik cenderung mencari proyek yang menggunakan sumber energi terbarukan, karena mereka ingin memastikan bahwa investasi mereka tidak berdampak negatif pada lingkungan. Bhima menekankan pentingnya standarisasi lingkungan dalam proyek investasi, di mana proyek-proyek tersebut harus sesuai dengan nilai dan prinsip yang dianut oleh investor tersebut.
Selain itu, proyek yang memanfaatkan energi terbarukan biasanya dianggap memiliki risiko lebih rendah. Sebaliknya, proyek yang bergantung pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara atau energi fosil dapat menyebabkan risiko stranded assets. Ini berarti bahwa aset tersebut, di masa depan, dapat kehilangan nilainya akibat pergeseran menuju sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Bhima memberikan contoh terbaru mengenai batalnya Hyundai dalam pembelian produk dari KIHI (Kawasan Industri Hijau Indonesia) di Kalimantan Utara, yang disebabkan oleh rencana pembangunan PLTU berbasis batu bara.
Kejadian ini menunjukkan bahwa investor besar semakin berhati-hati dan sangat memperhatikan sumber energi yang digunakan dalam proyek mereka. Keputusan Hyundai mencerminkan tren global yang semakin mengutamakan investasi pada energi bersih dan berkelanjutan, serta menandakan bahwa ketergantungan pada energi fosil dapat menghalangi investasi di masa depan. Hal ini juga menegaskan perlunya transisi menuju energi terbarukan untuk menarik lebih banyak investor dan memastikan keberlanjutan ekonomi.
Fahmy Rodhi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, menekankan bahwa Indonesia menghadapi risiko besar jika tetap bergantung pada energi kotor, seperti bahan bakar fosil. Menurutnya, negara-negara maju semakin memperhatikan dampak lingkungan dari sumber energi yang digunakan oleh negara lain, dan jika Indonesia tidak beralih ke energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, ada kemungkinan akan di-banned atau dibatasi dalam perdagangan oleh negara-negara tersebut.
Salah satu contoh konkret dari risiko ini adalah penolakan ekspor minyak sawit Indonesia di Eropa Timur. Penolakan tersebut disebabkan oleh kekhawatiran bahwa produksi minyak sawit dapat menyebabkan kerusakan hutan, yang berkontribusi pada perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketika negara-negara maju menegakkan regulasi yang lebih ketat terhadap produk yang dianggap merusak lingkungan, hal ini dapat menghambat ekspor Indonesia, yang sangat penting bagi perekonomian negara.
Fahmy menekankan bahwa kondisi ini menimbulkan bahaya besar bagi ekonomi Indonesia. Dengan menurunnya akses pasar di negara-negara maju, pendapatan negara dari ekspor dapat terancam, yang pada gilirannya memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu, transisi energi ke sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan menjadi keharusan bagi Indonesia.
Dengan beralih ke energi terbarukan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga meningkatkan daya saing produk-produk ekspornya di pasar global yang semakin menuntut keberlanjutan. Hal ini penting untuk memastikan kelangsungan ekonomi dan menghindari sanksi perdagangan yang dapat merugikan perekonomian dalam jangka panjang.
Rintangan dalam Peralihan Menuju Energi Terbarukan
Fahmy Rodhi menyoroti bahwa tantangan utama dalam transisi energi terbarukan di Indonesia adalah kurangnya komitmen yang kuat dari pemerintah. Meskipun pemerintah telah menetapkan program transisi energi dengan target untuk mencapai emisi nol karbon (zero carbon) pada tahun 2060, pencapaian target tersebut dipertanyakan mengingat progres yang ada saat ini.