Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Benarkah Multitasking Bisa Menurunkan IQ Hingga 10%? Fakta di Balik Kebiasaan Modern ini!

15 Oktober 2024   12:03 Diperbarui: 15 Oktober 2024   12:38 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest.com/iqmetricsorg 

Sebuah unggahan viral di media sosial mengklaim bahwa multitasking dapat menurunkan IQ hingga sepuluh persen. Unggahan ini pertama kali dibagikan oleh akun TikTok @gab pada 22 September 2024 dan kemudian menyebar luas di berbagai platform, termasuk Twitter. Pengunggah di Twitter membagikan pengalaman pribadinya dengan cuitan,

"Emang iya ya? pantes aku makin lama makin ngerasa kayak ngang ngong soalnya kerjaanku kalo ga multitask ga bakal bisa pulang ontime," yang mencerminkan kebingungannya tentang dampak multitasking pada kinerja otak.

Klaim tentang multitasking yang menurunkan IQ ini menarik perhatian karena multitasking sudah menjadi bagian dari gaya hidup modern. 

Banyak orang merasa harus melakukan banyak hal sekaligus untuk mengejar produktivitas, meski tanpa disadari efek negatifnya bisa memengaruhi kemampuan kognitif. Namun, apakah benar multitasking berdampak signifikan terhadap IQ seperti yang diklaim?

Penelitian memang menunjukkan bahwa multitasking dapat mengurangi efisiensi dan memperlambat produktivitas. Ini karena otak sebenarnya tidak dirancang untuk fokus pada beberapa tugas yang memerlukan konsentrasi penuh secara bersamaan. 

Sebuah studi oleh University of London bahkan menemukan bahwa orang yang sering melakukan multitasking dengan media digital mengalami penurunan skor IQ yang mirip dengan efek kurang tidur atau penggunaan obat-obatan.

Namun, penting untuk memverifikasi lebih lanjut klaim-klaim semacam ini, karena hasil penelitian yang ada mungkin tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang dan kondisi. Yang jelas, multitasking berlebihan dapat menurunkan fokus dan mengganggu performa mental, sehingga lebih baik dilakukan dengan bijak.

Multitasking dapat Menurunkan IQ

Menurut Christin Wibhowo, seorang psikolog klinis dari Unika Soegijapranata Semarang, IQ (Intelligence Quotient) adalah hasil dari tes kecerdasan yang mengukur kemampuan intelektual seseorang. 

Nilai IQ yang tinggi menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan intelektual yang baik. Kemampuan intelektual ini mencakup kemampuan memecahkan masalah akademis seperti membaca, menulis, dan berhitung. 

Selain itu, IQ juga berkaitan dengan kemampuan dalam mengelola emosi, berinteraksi dengan orang lain, serta memanfaatkan waktu luang secara produktif.

Christin menekankan bahwa IQ tidak hanya terkait dengan aspek kognitif seperti akademik, tetapi juga dengan aspek sosial dan emosional. 

Orang dengan IQ tinggi cenderung memiliki kemampuan yang baik dalam berhubungan dengan orang lain dan mengelola emosinya, yang penting dalam kehidupan sehari-hari. 

Ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual adalah kemampuan yang luas dan holistik, mencakup berbagai aspek kehidupan, bukan sekadar prestasi akademik.

Menurut Christin Wibhowo, orang dengan IQ tinggi biasanya memiliki sikap mindfulness. Sikap ini berarti kemampuan seseorang untuk fokus penuh pada situasi yang sedang berlangsung tanpa terganggu oleh hal-hal lain. Dalam konteks ini, mindfulness menunjukkan kesadaran dan perhatian yang penuh terhadap aktivitas yang sedang dilakukan, tanpa membagi konsentrasi untuk melakukan tugas-tugas lain secara bersamaan.

Orang yang menerapkan mindfulness cenderung lebih efektif dalam menyelesaikan tugas-tugas mereka karena mereka mampu menjaga fokus dan tidak terjebak dalam kebiasaan multitasking. Kemampuan untuk fokus ini juga memungkinkan mereka mengelola situasi lebih baik, baik secara kognitif maupun emosional. Dengan demikian, mindfulness berkontribusi pada pencapaian nilai IQ yang lebih tinggi, karena kemampuan fokus dan perhatian yang mendalam sangat penting dalam pemecahan masalah dan pengelolaan tugas-tugas kompleks.

Ini sekaligus menjelaskan mengapa multitasking, yang mengharuskan otak untuk membagi perhatian di antara banyak tugas, justru dapat mengurangi efektivitas kognitif dan berpotensi menurunkan kinerja intelektual.

Christin Wibhowo menjelaskan bahwa mindfulness---kemampuan untuk fokus secara penuh---tidak hanya penting dalam pekerjaan atau tugas, tetapi juga dalam cara seseorang menggunakan waktu luang. 

Menurutnya, penggunaan waktu luang yang baik membutuhkan kemampuan untuk fokus dan serius, meskipun tidak berarti seseorang harus selalu kaku atau tidak bisa bersikap humoris. 

Mindfulness dalam konteks ini berarti menghadapi setiap aktivitas dengan perhatian penuh dan tidak setengah-setengah, termasuk saat bersantai atau melakukan hal yang menyenangkan.

Seseorang yang mindful saat mengisi waktu luang akan memikirkan dengan serius apa yang dilakukan, baik itu untuk relaksasi, pengembangan diri, atau kegiatan produktif lainnya. Ini membantu mereka mengelola emosi, menjaga keseimbangan, dan meningkatkan kemampuan intelektual secara menyeluruh. 

Fokus yang terarah dan serius pada aktivitas---bahkan dalam hal yang tidak terlalu berat---mendukung kecerdasan yang lebih baik dan mendukung kebiasaan mental yang positif, yang pada akhirnya bisa memengaruhi tingkat IQ seseorang.

Christin Wibhowo menjelaskan bahwa multitasking, yaitu melakukan beberapa kegiatan secara bersamaan, dapat merusak fokus seseorang. Ketika mencoba mengerjakan banyak hal sekaligus, seseorang tidak bisa bersikap mindful---artinya tidak mampu memberikan perhatian penuh pada satu tugas tertentu. Hal ini bertentangan dengan prinsip mindfulness yang menekankan fokus dan kesadaran penuh terhadap satu aktivitas pada suatu waktu.

Menurutnya, multitasking justru dapat menurunkan kemampuan intelektual karena otak manusia tidak dirancang untuk berpindah-pindah fokus secara cepat di antara tugas-tugas yang memerlukan konsentrasi. 

Akibatnya, kualitas pekerjaan menurun, begitu pula dengan kemampuan untuk berpikir jernih dan menyelesaikan masalah. 

Oleh karena itu, multitasking dianggap bertentangan dengan prinsip mindfulness dan berpotensi menyebabkan penurunan kemampuan intelektual, termasuk penurunan nilai IQ.

Meskipun multitasking dapat menurunkan kemampuan intelektual dalam jangka pendek, Christin Wibhowo menegaskan bahwa multitasking tidak selalu berarti dapat menurunkan IQ secara permanen. Ini karena IQ, atau Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari tes kecerdasan, yang sifatnya relatif stabil dalam jangka panjang. Tes IQ mengukur kapasitas kognitif umum seseorang, seperti kemampuan berpikir logis, memecahkan masalah, dan menganalisis informasi.

Sementara itu, kemampuan intelektual adalah refleksi dari tingkat kecerdasan seseorang secara keseluruhan, termasuk kemampuan mereka dalam memproses informasi dan mengerjakan tugas-tugas sehari-hari. 

Multitasking mungkin dapat mengganggu kinerja otak dan menurunkan efisiensi dalam bekerja, tetapi tidak langsung memengaruhi skor IQ yang dihasilkan dari tes kecerdasan.

Dengan kata lain, meskipun multitasking dapat membuat seseorang kurang fokus dan mengurangi kemampuan untuk menyelesaikan tugas dengan baik, hal ini tidak berarti IQ mereka benar-benar turun. IQ tetap dipengaruhi oleh faktor lain seperti genetik, pendidikan, dan pengalaman hidup yang lebih luas.

Multitasking Tanpa Mempengaruhi IQ 

Christin Wibhowo menekankan bahwa meskipun multitasking dapat menurunkan kemampuan intelektual, ada cara untuk melakukannya tanpa mempengaruhi kinerja kognitif secara signifikan. 

Salah satu strategi yang bisa diterapkan adalah dengan mengatur durasi waktu untuk setiap aktivitas. Dengan pendekatan ini, seseorang dapat membagi waktu menjadi sesi-sesi yang terfokus untuk setiap tugas yang ingin diselesaikan. 

Misalnya, seseorang bisa menggunakan teknik seperti Pomodoro, di mana mereka bekerja selama 25 menit dengan fokus penuh pada satu tugas, kemudian diikuti dengan istirahat singkat. 

Dengan cara ini, meskipun seseorang melakukan beberapa hal, mereka tetap mampu menjaga fokus pada masing-masing tugas dalam waktu yang ditentukan. Hal ini membantu meminimalkan gangguan dan meningkatkan produktivitas tanpa mengorbankan kualitas pekerjaan. 

Christin mengindikasikan bahwa dengan perencanaan yang baik dan pengaturan waktu yang tepat, seseorang dapat mengerjakan banyak hal sekaligus tanpa mengurangi efisiensi intelektual. Ini menunjukkan bahwa kunci untuk multitasking yang efektif adalah manajemen waktu dan perhatian, bukan hanya sekadar mengerjakan banyak hal secara bersamaan tanpa strategi.

Christin Wibhowo memberikan contoh konkret tentang cara melakukan multitasking yang efektif dengan membatasi berbagai aktivitas dalam periode waktu tertentu. Dengan membagi waktu menjadi sesi-sesi yang terstruktur, seseorang dapat fokus pada satu tugas dalam satu waktu sebelum beralih ke tugas lainnya.

Misalnya, ia menyarankan untuk menghabiskan 30 menit pertama untuk mengerjakan tugas tertentu, seperti menyelesaikan pekerjaan, belajar, atau menulis. Setelah 30 menit tersebut, individu tersebut kemudian beralih ke kegiatan lain selama 30 menit, seperti beristirahat, melakukan aktivitas fisik, atau menyelesaikan tugas yang berbeda.

Pendekatan ini memungkinkan individu untuk memberikan perhatian penuh pada setiap aktivitas yang dilakukan, meningkatkan efisiensi dan produktivitas. 

Dengan cara ini, seseorang dapat menghindari kebingungan dan gangguan yang biasanya muncul ketika mencoba mengerjakan beberapa hal sekaligus tanpa fokus.

 Selain itu, dengan adanya periode istirahat di antara tugas-tugas, otak juga memiliki waktu untuk memproses informasi dan beristirahat, yang pada gilirannya dapat mendukung peningkatan kemampuan intelektual dan menjaga kesehatan mental.

Dengan membatasi durasi setiap aktivitas, Christin menekankan bahwa multitasking bisa dilakukan secara lebih efektif dan efisien, tanpa mengorbankan kualitas hasil kerja.

Praktik membatasi durasi waktu untuk setiap aktivitas, seperti yang dijelaskan oleh Christin Wibhowo, mampu membuat otak lebih fokus pada satu pekerjaan meskipun sebenarnya banyak aktivitas yang dilakukan. Ketika seseorang menetapkan periode waktu tertentu untuk setiap tugas, mereka dapat memusatkan perhatian dan energi pada pekerjaan tersebut, tanpa terganggu oleh pikiran tentang tugas lainnya yang harus dilakukan.

Dengan cara ini, otak tidak dibebani oleh stres dari multitasking yang berlebihan. Sebaliknya, fokus yang diperoleh selama periode waktu yang ditentukan meningkatkan efisiensi dan kualitas hasil kerja. 

Ketika individu menyelesaikan satu tugas dengan perhatian penuh, mereka lebih mungkin untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan kreativitas yang lebih tinggi, dibandingkan dengan saat mereka berpindah-pindah antar tugas.

Selanjutnya, setelah menyelesaikan satu sesi kerja, individu tersebut dapat beralih ke aktivitas lain dengan perasaan bahwa mereka telah mencapai sesuatu. 

Ini menciptakan rasa pencapaian yang positif dan memberikan kesempatan bagi otak untuk beristirahat sebelum melanjutkan ke tugas berikutnya. Pendekatan ini mendukung keseimbangan antara menyelesaikan banyak tugas dan menjaga fokus serta kualitas kinerja, sehingga memaksimalkan produktivitas tanpa mengorbankan kemampuan kognitif.

Christin Wibhowo menegaskan bahwa dampak multitasking terhadap IQ seseorang bisa bervariasi, tergantung pada jenis kegiatan yang dilakukan. Beberapa faktor yang memengaruhi ini antara lain:

1. Tipe Aktivitas

 Jika seseorang melakukan beberapa tugas yang memerlukan konsentrasi dan pemikiran mendalam secara bersamaan, seperti belajar sambil melakukan pekerjaan lain yang menuntut perhatian, kemungkinan besar akan terjadi penurunan kemampuan kognitif. Sebaliknya, jika multitasking dilakukan antara aktivitas yang lebih rutin atau tidak memerlukan perhatian penuh, dampaknya mungkin tidak signifikan.

2. Keterampilan dan Pengalaman

Tingkat keterampilan dan pengalaman seseorang dalam melakukan tugas tertentu juga mempengaruhi seberapa baik mereka dapat melakukan multitasking.

 Seseorang yang terampil dalam satu tugas mungkin dapat melakukannya dengan baik sambil melakukan tugas lain yang lebih sederhana, tanpa terlalu banyak mengganggu fokus.

3. Pengaturan Waktu

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, cara mengatur waktu juga berpengaruh. Dengan membagi waktu menjadi sesi-sesi terfokus, seseorang dapat mengurangi efek negatif dari multitasking dan tetap menjaga kinerja yang baik.

4. Kompleksitas Tugas

Tugas yang lebih kompleks dan membutuhkan pemikiran kritis akan lebih rentan terhadap gangguan akibat multitasking. Jika multitasking dilakukan di antara tugas-tugas yang lebih sederhana, dampak pada IQ mungkin lebih kecil.

Dengan demikian, Christin menyimpulkan bahwa multitasking dapat memiliki dampak negatif pada IQ, tetapi tidak selalu. Penting untuk mempertimbangkan jenis kegiatan yang dilakukan dan bagaimana cara melaksanakannya agar tetap efisien dan efektif.

Ketika seseorang melakukan multitasking dengan mengerjakan dua atau tiga hal secara bersamaan, kualitas pekerjaan yang dihasilkan cenderung berkurang. Beberapa alasan mengapa hal ini terjadi adalah:

1. Pembagian Fokus

Otak manusia tidak dapat sepenuhnya fokus pada lebih dari satu tugas yang memerlukan konsentrasi mendalam pada saat yang sama. Ketika seseorang mencoba untuk membagi perhatian antara beberapa aktivitas, mereka cenderung kehilangan fokus pada masing-masing tugas, yang dapat menyebabkan kesalahan, kelalaian, atau hasil yang kurang memuaskan.

2. Waktu Adaptasi

 Berpindah dari satu tugas ke tugas lain membutuhkan waktu adaptasi, yang dikenal sebagai switching cost. Saat seseorang berpindah fokus, otak memerlukan waktu untuk menyesuaikan diri kembali dengan tugas baru. Ini berarti bahwa mereka tidak hanya membuang waktu saat berpindah tugas, tetapi juga berisiko kehilangan keterampilan atau pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan baik.

3. Stres dan Kelelahan Mental

Melakukan beberapa hal sekaligus dapat menyebabkan stres dan kelelahan mental. Ketika otak merasa tertekan karena mencoba memenuhi tuntutan dari berbagai tugas, hal ini bisa mengurangi kemampuan kognitif dan mempengaruhi kreativitas, yang pada akhirnya mengurangi kualitas pekerjaan.

4. Keterbatasan Memori Jangka Pendek

Multitasking dapat membebani memori jangka pendek, yang sangat penting untuk menyimpan dan mengolah informasi saat menyelesaikan tugas. Ketika memori jangka pendek terlalu penuh, kemampuan untuk memproses informasi baru dan menerapkannya dengan benar dalam pekerjaan akan terganggu.

5. Kurangnya Kejelasan dan Kualitas Hasil

Dengan mengerjakan beberapa tugas sekaligus, individu mungkin tidak dapat memberikan perhatian penuh pada detail-detail penting. Hal ini dapat mengakibatkan pekerjaan yang kurang teliti dan kurang mendalam, serta meningkatkan kemungkinan kesalahan.

Secara keseluruhan, multitasking dapat mengurangi kualitas pekerjaan karena pengaruh negatif pada fokus, perhatian, dan proses kognitif yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Oleh karena itu, pendekatan yang lebih terfokus dengan mengerjakan satu tugas dalam satu waktu seringkali lebih efektif dalam menghasilkan hasil yang berkualitas tinggi.

Christin Wibhowo menjelaskan bahwa ketika seseorang melakukan multitasking, hal itu dapat mengurangi mindfulness dan fokus, yang pada gilirannya membuat kemampuan intelektual seseorang tidak maksimal. Ketidakmampuan untuk fokus secara penuh pada satu tugas akan memengaruhi kualitas kognitif dan pemecahan masalah. 

Dalam situasi ini, individu mungkin tidak dapat memberikan perhatian yang cukup untuk memahami, menganalisis, atau menyelesaikan tugas dengan baik.

Sebaliknya, jika seseorang mengatur waktu untuk melakukan beberapa tugas dalam periode tertentu---misalnya, dengan fokus pada satu tugas selama 30 menit sebelum beralih ke tugas lain---kemampuan intelektualnya tetap terjaga. Pendekatan ini memungkinkan individu untuk tetap memberikan perhatian penuh pada setiap aktivitas yang dilakukan, sehingga meningkatkan kualitas pekerjaan dan menjaga kinerja kognitif.

Dengan cara ini, meskipun banyak hal dikerjakan dalam satu waktu, pengaturan waktu yang terstruktur membantu mencegah gangguan yang biasa terjadi pada multitasking yang tidak terencana. 

Akibatnya, seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugas mereka secara lebih efisien tanpa mengorbankan mindfulness, fokus, atau kualitas hasil kerja. Ini menunjukkan bahwa strategi yang baik dalam mengelola waktu dan perhatian sangat penting untuk menjaga kemampuan intelektual tetap optimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun