Tekanan akademik yang tinggi adalah salah satu faktor signifikan yang dapat memicu kekerasan di sekolah. Dalam lingkungan pendidikan yang sangat kompetitif, siswa sering kali merasa tertekan untuk meraih prestasi akademik yang luar biasa. Tuntutan ini bisa datang dari berbagai sumber, termasuk harapan orang tua, guru, dan sekolah, serta keinginan siswa sendiri untuk diakui atau diterima oleh lingkungan sekitarnya.
Persaingan akademik yang ketat sering kali membuat siswa berada di bawah tekanan yang berlebihan. Tekanan ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak mampu jika mereka merasa tidak dapat memenuhi standar yang ditetapkan. Dalam situasi ini, beberapa siswa mungkin mengalami frustrasi yang mendalam ketika mereka merasa tidak berhasil, dan perasaan ini dapat memicu perilaku agresif sebagai bentuk pelampiasan.
Perilaku agresif yang muncul dari tekanan akademik ini bisa beragam, mulai dari ledakan emosi, seperti berteriak atau memaki, hingga tindakan fisik, seperti berkelahi dengan teman sekelas. Dalam beberapa kasus, agresi tersebut bisa diarahkan kepada diri sendiri melalui tindakan menyakiti diri atau kepada orang lain, baik itu teman sebaya atau bahkan guru. Siswa yang merasa tidak mampu bersaing secara sehat mungkin juga cenderung merundung siswa lain yang mereka anggap sebagai ancaman atau saingan.
Tekanan akademik yang tinggi juga sering kali mengurangi ruang bagi pengembangan keterampilan sosial dan emosional, karena fokus utama terletak pada pencapaian akademik semata. Ketika siswa tidak diajarkan bagaimana mengelola stres atau mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang sehat, mereka lebih rentan terjebak dalam perilaku kekerasan sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak berdaya atau frustrasi.
Untuk mengatasi masalah ini, penting bagi sekolah untuk menyeimbangkan antara tuntutan akademik dan kesejahteraan mental siswa. Pendekatan yang lebih holistik terhadap pendidikan, yang tidak hanya menekankan prestasi akademik tetapi juga pengembangan keterampilan emosional, dapat membantu mengurangi stres dan mendorong suasana belajar yang lebih sehat. Selain itu, program-program dukungan mental dan konseling yang tersedia bagi siswa yang mengalami tekanan berlebihan bisa menjadi solusi untuk mencegah perilaku agresif akibat persaingan akademik yang ketat.
3. Pengaruh Lingkungan SekitarÂ
Pengaruh lingkungan sekitar memiliki peran besar dalam memicu kekerasan di sekolah. Tiga faktor utama yang sering berkontribusi adalah media sosial, tayangan kekerasan, dan lingkungan keluarga yang kurang harmonis. Ketiga elemen ini dapat membentuk cara berpikir, sikap, dan perilaku siswa dalam menghadapi konflik dan hubungan sosial di sekolah.
Media sosial, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari siswa, dapat memiliki dampak positif dan negatif. Di sisi negatif, platform seperti ini sering kali menjadi tempat terjadinya perundungan siber (cyberbullying), di mana siswa dapat saling mengejek, menghina, atau mengucilkan satu sama lain secara online. Karena sifatnya yang publik dan terkadang anonim, media sosial sering kali memperburuk konflik antar siswa yang kemudian terbawa ke dunia nyata. Selain itu, eksposur terhadap konten yang mempromosikan kekerasan, baik dalam bentuk video, meme, atau komentar, dapat menormalkan perilaku agresif di kalangan siswa, membuat mereka lebih rentan meniru tindakan kekerasan.
Tayangan di televisi, film, atau video game yang penuh dengan adegan kekerasan juga dapat berpengaruh besar terhadap perilaku siswa. Ketika kekerasan digambarkan sebagai sesuatu yang heroik, menarik, atau sebagai cara untuk menyelesaikan konflik, siswa dapat terdorong untuk menganggap kekerasan sebagai solusi yang valid dalam menghadapi masalah di dunia nyata. Paparan yang terus-menerus terhadap tayangan semacam ini dapat mengurangi sensitivitas mereka terhadap kekerasan, sehingga tindakan agresif di sekolah dianggap sebagai hal yang normal dan dapat diterima. Anak-anak dan remaja yang masih dalam tahap perkembangan emosional sering kali kesulitan membedakan antara realitas dan fantasi, sehingga tayangan kekerasan ini bisa memengaruhi cara mereka bereaksi terhadap situasi yang penuh tekanan.
Keluarga memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk perilaku anak. Ketika seorang siswa tumbuh di lingkungan keluarga yang kurang harmonis, seperti adanya konflik yang terus-menerus, kekerasan dalam rumah tangga, atau pola komunikasi yang tidak sehat, mereka cenderung membawa dampak psikologis dan emosional tersebut ke sekolah. Anak-anak yang mengalami atau menyaksikan kekerasan di rumah sering kali merasa marah, frustasi, atau tidak berdaya, dan mereka mungkin menyalurkan emosi ini dengan cara yang destruktif di lingkungan sekolah. Selain itu, kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua dapat membuat anak-anak merasa diabaikan, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka mencari perhatian dengan cara negatif, seperti terlibat dalam perilaku kekerasan.
Media sosial, tayangan kekerasan, dan kondisi keluarga yang tidak harmonis adalah pemicu yang kuat dalam memengaruhi perilaku kekerasan siswa di sekolah. Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk keluarga, sekolah, dan masyarakat, dalam memberikan lingkungan yang mendukung bagi perkembangan emosional dan sosial siswa. Pendidikan yang mengajarkan keterampilan berpikir kritis tentang penggunaan media, pengelolaan emosi, serta penciptaan lingkungan keluarga yang stabil dan penuh kasih dapat membantu meminimalisir pengaruh negatif dari lingkungan sekitar.