Inisiatif seperti penegakan jam kerja yang lebih fleksibel dan promosi kesejahteraan karyawan mulai diperkenalkan, namun budaya kerja yang tradisional masih memegang pengaruh besar. Dalam budaya ini, aturan tak tertulis tentang kapan karyawan bisa meninggalkan pekerjaan tetap menjadi norma yang dihormati.
Di tempat kerja Jepang, menunggu sampai manajer Anda pergi bukanlah satu-satunya aturan tak tertulis yang perlu dipatuhi. Sebagian besar karyawan juga diharapkan untuk melakukan sosialisasi setelah jam kerja jika diminta oleh manajer mereka.Â
Salah satu bentuk sosialisasi yang umum adalah berkumpul untuk makan dan minum di izakaya, sebuah jenis bar Jepang yang menyajikan makanan dan minuman. Kegiatan sosialisasi setelah jam kerja dianggap sebagai kesempatan untuk mempererat hubungan antar rekan kerja, namun juga sebagai kesempatan untuk membangun kredibilitas di mata atasan dan memperluas jaringan kontak profesional.Â
Bersosialisasi di luar jam kerja dianggap sebagai cara untuk menunjukkan komitmen dan dedikasi terhadap tim dan perusahaan. Menolak tawaran untuk bersosialisasi setelah jam kerja bisa dianggap kurang sopan dan kurang peka terhadap dinamika budaya tempat kerja Jepang. Ini dapat memengaruhi hubungan antar rekan kerja dan persepsi atas Anda di lingkungan kerja.Â
Oleh karena itu, dalam budaya kerja Jepang, penting untuk mempertimbangkan tawaran sosialisasi setelah jam kerja sebagai bagian dari dinamika kerja dan hubungan interpersonal di tempat kerja.
Sistem pekerjaan seumur hidup di satu perusahaan merupakan fenomena umum di Jepang. Budaya ini mengakar kuat dalam masyarakat Jepang, di mana individu cenderung menganggap sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru setelah lulus dari universitas. Sebagai hasilnya, banyak yang memilih untuk tetap bekerja di satu perusahaan dari awal karir hingga masa pensiun.Â
Meskipun pola ini dapat dianggap positif dalam hal stabilitas finansial dan kepercayaan diri dalam pekerjaan, pandangan ini juga memicu debat tentang fleksibilitas dan inovasi dalam lingkungan kerja. Keuntungan dari model pekerjaan seumur hidup ini adalah jaminan keamanan kerja, yang memberikan rasa aman finansial bagi individu dan keluarga mereka. Selain itu, kesetiaan terhadap satu perusahaan diyakini sebagai nilai yang dihargai dalam budaya Jepang, tercermin dalam kode samurai Bushido yang menekankan kepatuhan, kesetiaan, dan keberanian.
Namun, ada kekhawatiran bahwa model ini dapat menghambat dinamika dan fleksibilitas perusahaan. Karyawan yang telah bekerja dalam satu perusahaan selama beberapa dekade cenderung memiliki pola pikir yang lebih konservatif dan resisten terhadap perubahan. Hal ini dapat menghambat kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar dan teknologi.Â
Selain itu, ketika angkatan kerja didominasi oleh karyawan senior, terkadang sulit bagi pemikiran baru dan segar untuk diterima dan diimplementasikan. Dalam era di mana inovasi dan adaptasi cepat menjadi kunci keberhasilan bisnis, penting untuk mencari keseimbangan antara stabilitas yang diberikan oleh model pekerjaan seumur hidup dan kebutuhan akan fleksibilitas dan inovasi.
Di tempat kerja di Jepang, terdapat kecenderungan di mana pengambilan keputusan terpusat pada manajer senior. Berbeda dengan praktik di banyak negara lain di mana karyawan diberi kewenangan untuk mengambil keputusan secara mandiri, di Jepang keputusan seringkali harus berasal dari manajer senior atau bahkan semua keputusan harus disetujui oleh mereka.Â
Hal ini tercermin dalam semboyan tak terucapkan yang dianut di perusahaan-perusahaan Jepang: ho-ren-so, yang merupakan singkatan dari houkoku (laporan), renraku (kontak), dan soudan (berkonsultasi). Ho-ren-so menekankan pentingnya karyawan untuk selalu memberi informasi kepada atasannya tentang kemajuan dan pekerjaan yang sedang mereka lakukan.