Shalat tarawih adalah salah satu ibadah sunat yang khusus dilakukan pada malam-malam bulan Ramadhan. Nama "tarawih" berasal dari kata "raha" dalam bahasa Arab yang memiliki makna "rehat", "tenang", "nyaman", atau "lepas dari kesibukan". Oleh karena itu, shalat tarawih seharusnya dilakukan dengan ketenangan dan khusyuk, sebagai sarana untuk meraih ketenangan dan melepaskan diri dari kesibukan dunia. Dalam shalat tarawih, umat Islam berkumpul di masjid untuk melaksanakan serangkaian rakaat yang disertai dengan bacaan Al-Quran. Shalat ini dimulai setelah shalat Isya dan dilakukan secara berjamaah. Biasanya, jumlah rakaat dalam shalat tarawih adalah 8, 12, atau 20 rakaat, tetapi bisa berbeda-beda sesuai dengan kebiasaan masyarakat atau masjid tempat pelaksanaannya.
Pelaksanaan shalat tarawih merupakan salah satu tradisi yang dijalankan umat Islam dalam bulan suci Ramadhan sebagai bentuk penghormatan terhadap bulan yang penuh berkah tersebut. Selain sebagai ibadah yang dianjurkan, shalat tarawih juga dianggap sebagai waktu yang tepat untuk memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT melalui bacaan Al-Quran dan doa-doa yang khusyuk. Dengan melakukan shalat tarawih, umat Islam diharapkan dapat mencapai ketenangan batin dan mendapatkan keberkahan dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan serta meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Shalat ini juga menjadi momentum untuk meningkatkan kebersamaan dan kekompakan umat Islam dalam menjalankan ibadah di bulan yang penuh berkah ini.
Dalam pelaksanaannya, shalat tarawih sering kali dilakukan dengan cepat dan terburu-buru, terutama karena ada kecenderungan untuk mengejar jumlah rakaat tertentu. Hal ini sering menyebabkan pengurangan dalam kualitas pelaksanaan shalat tersebut. Salah satu rukun shalat yang penting adalah membaca Surah Al-Fatihah, yang memiliki sepuluh syarat seperti yang diuraikan oleh Syekh Zainuddin Al-Malaibari.
Berikut adalah sepuluh syarat membaca Surah Al-Fatihah:
- Membaca semua ayat Surah Al-Fatihah.
- Surah Al-Fatihah dibaca saat berdiri dalam shalat.
- Membaca Surah Al-Fatihah dengan niat membacanya.
- Surah Al-Fatihah minimal dibaca sedemikian rupa sehingga terdengar oleh diri sendiri.
- Membaca Surah Al-Fatihah dalam bahasa Arab, tanpa menggantinya dengan bahasa lain.
- Menjaga semua tasydid (pembarisan ganda huruf) yang ada dalam Surah Al-Fatihah.
- Menjaga keseluruhan huruf-huruf Surah Al-Fatihah dengan baik.
- Tidak ada cacat bacaan yang dapat merusak makna dari Surah Al-Fatihah.
- Membaca Surah Al-Fatihah dengan kelancaran, tanpa terlalu lama menghentikan bacaan.
- Membaca Surah Al-Fatihah dengan urutan ayat yang sesuai dengan mushaf Al-Quran.
Informasi tersebut dapat ditemukan dalam kitab "Fathul Mu'in" halaman 99. Memahami dan memenuhi sepuluh syarat tersebut adalah penting dalam menjalankan shalat agar dapat memperoleh keberkahan dan penerimaan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk melaksanakan shalat tarawih dengan memperhatikan kualitas dan ketelitian dalam melaksanakan setiap rukun dan syarat shalat, termasuk dalam membaca Surah Al-Fatihah.
Setelah membaca Surah Al-Fatihah, seorang muslim dalam shalat tarawih kemudian melanjutkannya dengan membaca surat atau ayat-ayat lain dari Al-Qur'an. Seperti yang berlaku umum, dalam membaca Al-Qur'an, baik itu dalam shalat maupun di luar shalat, dianjurkan untuk melakukannya dengan tartil atau perlahan-lahan, sesuai dengan ajaran dalam Al-Qur'an itu sendiri. Pedoman untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil ditemukan dalam Surat Al-Muzammil ayat 4, di mana Allah SWT menyatakan,
اَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْاٰنَ تَرْتِيْلًاۗ ٤
Artinya: "atau lebih dari (seperdua) itu. Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan."
Ayat ini menekankan pentingnya membaca Al-Qur'an dengan tenang, perlahan, dan jelas, sehingga setiap kata dan makna yang terkandung dalam Al-Qur'an dapat dipahami dengan baik oleh pembaca. Pembacaan Al-Qur'an dengan tartil tidak hanya menunjukkan penghormatan terhadap kitab suci umat Islam, tetapi juga membantu dalam pemahaman dan refleksi terhadap pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan membaca Al-Qur'an dengan tartil, seorang muslim dapat merasakan kedamaian, kebijaksanaan, dan kebenaran yang terpancar dari setiap ayat yang dibacanya. Oleh karena itu, dalam shalat tarawih maupun di luar shalat, umat Islam dianjurkan untuk membaca Al-Qur'an dengan tartil, sesuai dengan tuntunan yang terdapat dalam Al-Qur'an sendiri. Hal ini merupakan bagian penting dari ibadah dan pengabdian kepada Allah SWT serta memperkaya spiritualitas dan keimanan umat Islam.
Dalam konteks tartil, Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa tartil mencakup dua aspek penting, yaitu tajwidul huruf dan ma'rifatul wuquf. Tajwidul huruf merujuk pada cara yang baik dan benar dalam melafalkan huruf-huruf dalam Al-Qur'an, sementara ma'rifatul wuquf berkaitan dengan pengetahuan tentang tempat-tempat berhentinya bacaan (waqaf) dalam Al-Qur'an. Konsep tartil membutuhkan pembagusan atau pengucapan huruf-huruf dengan baik dan tepat, serta pemahaman tentang tempat-tempat berhentinya bacaan. Kriteria untuk membaguskan huruf minimal mencakup kemampuan dalam mengucapkan huruf dari tempat keluarnya (makhraj) dengan benar, seperti al-jauf, tharful lisan, dan halq, serta memenuhi sifat-sifat huruf dengan baik.
Sifat-sifat huruf yang harus dipenuhi mencakup sifat lazimah, seperti jahr (pengucapan keras), hams (pengucapan lembut), ithbaq (penyempitan), istifal (pemanjangan), dan isti'la (penyaringan), serta sifat 'aridhah, seperti idgham (penyatuhan), izhar (pembebasan), ikhfa (penyamaran), dan imalah (penyilangan). Pengetahuan dan penerapan tajwidul huruf serta ma'rifatul wuquf dalam tartil membantu memastikan bahwa pembacaan Al-Qur'an dilakukan dengan baik, jelas, dan sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Ini tidak hanya meningkatkan keindahan dan kualitas bacaan, tetapi juga membantu dalam pemahaman dan penghayatan makna Al-Qur'an secara lebih mendalam. Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "An-Nasyr fil Qira'atil-'Asyr" halaman 209. Melalui pemahaman yang baik tentang tartil, umat Islam diharapkan dapat menghormati dan memperindah bacaan Al-Qur'an, serta meraih manfaat spiritual yang lebih besar dari ibadah membaca Al-Qur'an.
Jika melihat tartil sesuai dengan definisi yang disampaikan oleh Sayyidina 'Ali bin Abi Thalib, maka jelas bahwa pembacaan Al-Qur'an tidak bisa dilakukan dengan cepat-cepat. Konsep tartil menuntut pembacaan Al-Qur'an dilakukan dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian dalam melafalkan huruf-huruf serta memperhatikan tempat-tempat berhenti bacaan (waqaf). Imam As-Syafi'i juga menegaskan pentingnya tartil dalam pembacaan Al-Qur'an. Beliau mempersyaratkan sekurang-kurangnya pembacaan tartil dengan "tarkul 'ajalah fil qur'an" atau "tidak terburu-buru dalam bacaan supaya jelas." Ini menegaskan bahwa dalam melafalkan Al-Qur'an, harus dilakukan dengan kehati-hatian dan kesabaran agar setiap kata dan makna yang terkandung di dalamnya dapat dipahami dengan jelas.
Tak heran jika beberapa ulama mensyaratkan pembacaan tartil dengan melafalkan huruf demi huruf. Pendekatan ini menekankan bahwa pembacaan Al-Qur'an harus dilakukan dengan sangat lambat dan hati-hati, sehingga setiap huruf dan kata dapat dipahami dan diucapkan dengan benar. Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra" jilid II, halaman 76. Dengan memahami dan menerapkan prinsip tartil dalam membaca Al-Qur'an, umat Islam dapat meningkatkan kualitas dan keberkahan dalam ibadah membaca Al-Qur'an serta mendapatkan manfaat spiritual yang lebih besar.
Dalam "Syarhul Muhadzdzab," Imam An-Nawawi menegaskan bahwa para ulama sepakat memakruhkan membaca Al-Qur'an dengan cepat. Dijelaskan oleh para ulama, status makruh ini berlaku bagi pembacaan yang masih benar, tidak melanggar ketentuan tajwid, dan tidak merusak makna Al-Qur'an, hanya saja dilakukan dengan kecepatan yang agak tinggi. Para ulama membedakan antara pembacaan cepat yang masih memenuhi ketentuan tajwid dan tidak merusak makna, dengan pembacaan cepat yang keluar dari ketentuan tajwid dan mengakibatkan kerusakan pada makna Al-Qur'an. Pembacaan yang sudah keluar dari ketentuan tajwid, yang memiliki cacat dalam pelafalan huruf, dan yang merusak makna Al-Qur'an, dapat dinyatakan bukan hanya sebagai makruh, melainkan sudah dianggap sebagai dosa. Hal ini sejalan dengan pernyataan para ulama tajwid yang menyatakan,
مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمُ
Artinya :"Siapa saja yang tidak men-tajwid Al-Quran, maka ia berdosa."
Referensi tersebut menekankan pentingnya melafalkan Al-Qur'an dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan tajwid, tanpa tergesa-gesa, agar setiap huruf dan makna yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan dengan jelas dan tepat. Dengan demikian, para pembaca Al-Qur'an diharapkan dapat menghormati kitab suci tersebut dengan melafalkannya dengan penuh perhatian dan ketelitian, sehingga dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari ibadah membaca Al-Qur'an.
Para ulama memakruhkan bacaan yang cepat karena kecepatan dalam membaca Al-Qur'an dapat mengabaikan aspek tadabbur atau perenungan terhadap kandungan ayat. Tadabbur merupakan proses merenungkan makna dan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an, serta memperdalam pemahaman terhadap pesan-pesan ilahi yang disampaikan. Tadabbur memungkinkan pembaca Al-Qur'an untuk mendekatkan diri pada ketenangan dan mengagungkan Zat pemilik kalam, serta lebih menyentuh hati dengan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan merenungkan setiap kata dan ayat, pembaca Al-Qur'an dapat lebih memahami dan menghayati ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab suci tersebut.
Oleh karena itu, Ibnu 'Abbas menyatakan bahwa pembacaan Al-Qur'an satu surat dengan tartil lebih disukai dibanding membaca seluruh Al-Qur'an tanpa tartil (dengan cepat). Ini menunjukkan bahwa dalam membaca Al-Qur'an, kualitas dan kedalaman pemahaman lebih diutamakan daripada kuantitas atau kecepatan pembacaan. Dengan memperlambat bacaan dan menghargai setiap ayat yang dibaca, pembaca Al-Qur'an dapat lebih mendalami makna-makna yang terkandung dalam setiap kata, serta mengalami hubungan yang lebih dalam dengan Allah SWT melalui kitab suci-Nya. Dalam konteks ini, para ulama mengingatkan umat Islam akan pentingnya memperhatikan kualitas dalam membaca Al-Qur'an, dengan memprioritaskan tadabbur dan penghayatan terhadap pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pembaca Al-Qur'an dapat mengalami manfaat spiritual yang lebih besar dan mendapatkan keberkahan dalam ibadah membaca Al-Qur'an.
Selanjutnya, terkait dengan konsep "thuma'ninah" (ketenangan atau ketenangannya), jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sepakat untuk menganggapnya sebagai suatu kewajiban dalam shalat, terutama saat melakukan rukuk dan sujud. Dalam pandangan mereka, hukum thuma'ninah ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan kewajiban melakukan rukuk dan sujud dalam shalat. Beberapa ulama dari mazhab Syafi'i bahkan menjadikan thuma'ninah sebagai salah satu rukun shalat tersendiri. Namun, dalam mazhab Hanafi, dengan pengecualian pendapat Syekh Abu Yusuf, hukum thuma'ninah dianggap sebagai sunnah. Artinya, dalam pandangan mazhab Hanafi, meskipun thuma'ninah tidak dilakukan, shalat tetap sah. Ini menunjukkan perbedaan pendapat di antara para ulama dari berbagai mazhab mengenai status hukum thuma'ninah dalam shalat.
Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "Ikhtilafu A'immatil 'Ulama" jilid I, halaman 114. Penekanan pada thuma'ninah dalam shalat menunjukkan pentingnya menciptakan atmosfer ketenangan dan khusyuk dalam ibadah, sehingga setiap gerakan dan bacaan dalam shalat dapat dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsentrasi. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut mengenai hukum thuma'ninah, namun tujuan akhirnya tetap sama, yaitu untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dengan demikian, para muslim diharapkan untuk mengutamakan ketenangan dan khusyuk dalam pelaksanaan shalat, agar dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari ibadah tersebut.
Thuma'ninah, yang bermakna tenang dan diamnya seluruh anggota tubuh sekurang-kurangnya selama satu kali bacaan tasbih, dianggap sebagai suatu kewajiban dalam shalat menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Dalil yang digunakan untuk menguatkan kewajiban thuma'ninah ini adalah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (nomor 6251) dari Abu Hurairah RA.
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Artinya: "Jika engkau menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat dan mengucap takbir. Lalu bacalah ayat Al-Qur'an yang menurutmu mudah (Al-Fatihah dan surat). Lalu rukuklah hingga rukuk dengan thuma'ninah. Lantas angkatlah kepala hingga berdiri dengan tegak. Lalu sujudlah hingga sujud dengan thuma'ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma'ninah. Lalu sujud kembali hingga sujud dengan thuma'ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma'ninah. Kemudian, lakukanlah semua itu dalam seluruh shalatmu," (HR Bukhari).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberikan petunjuk kepada umatnya tentang tata cara melaksanakan shalat dengan baik. Beliau menekankan pentingnya thuma'ninah dalam setiap gerakan shalat, seperti rukuk dan sujud, yang harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan khusyuk. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga memerintahkan agar setiap gerakan shalat dilakukan dengan thuma'ninah, baik saat berdiri, rukuk, sujud, maupun duduk.
Pesannya kepada Bilal ibn Rabah, "Wahai Bilal, istirahatkanlah kami dengan shalat!"
Juga menggarisbawahi pentingnya shalat sebagai sarana untuk mencapai ketenangan dan ketenangan spiritual. Dengan demikian, thuma'ninah dalam shalat menjadi suatu hal yang sangat penting untuk dipenuhi oleh setiap muslim, sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dalam pandangan mazhab Hanafi, kecuali pendapat dari Syekh Abu Yusuf, thuma'ninah dianggap sebagai sunnah. Meskipun begitu, prinsip thuma'ninah tetap ditekankan sebagai bagian penting dalam melaksanakan shalat, karena membantu memperkuat konsentrasi dan khusyuk dalam ibadah. Dengan demikian, thuma'ninah dianggap sebagai faktor penentu dalam meningkatkan kualitas spiritual dan pengalaman dalam melaksanakan ibadah shalat.
Alasan ulama Hanafi menghukumi thuma'ninah sebagai sunnah, termasuk thuma'ninah dalam rukuk dan sujud, adalah
وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ الطُّمَأْنِينَةَ فِي الرُّكُوعِ لَيْسَتْ فَرْضًا، وَأَنَّ الصَّلاَةَ تَصِحُّ بِدُونِهَا؛ لأِنَّ الْمَفْرُوضَ مِنَ الرُّكُوعِ أَصْل الاِنْحِنَاءِ وَالْمَيْل، فَإِذَا أَتَى بِأَصْل الاِنْحِنَاءِ فَقَدِ امْتَثَل، لإِتْيَانِهِ بِمَا يَنْطَلِقُ عَلَيْهِ الاِسْمُ الْوَارِدُ فِي قَوْله تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ}. الآْيَةَ. أَمَّا الطُّمَأْنِينَةُ فَدَوَامٌ عَلَى أَصْل الْفِعْل، وَالأْمْرُ بِالْفِعْل لاَ يَقْتَضِي الدَّوَامَ.
Artinya: " Para Ulama Hanafi berpendapat bahwa thuma'ninah dalam rukuk bukanlah merupakan bagian dari kewajiban (fardhu) dalam shalat. Dalam pandangan mereka, shalat tetap sah meskipun tidak dilakukan thuma'ninah. Ini disebabkan oleh pandangan bahwa yang diwajibkan dalam rukuk adalah melakukan bungkuk dan condong, sehingga saat seseorang sudah melakukan bungkuk, ia sudah dianggap telah menunaikan rukuk sesuai dengan ketentuan yang disebutkan dalam firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu," (Surat Al-Hajj ayat 77).
Dalam pemahaman mazhab Hanafi, thuma'ninah dianggap sebagai suatu amalan yang dapat ditingkatkan, namun bukan merupakan bagian yang harus dipenuhi untuk sahnya shalat. Mereka berpandangan bahwa thuma'ninah adalah kelanjutan dari aksi atau gerakan yang sudah dilakukan, bukan merupakan perintah yang harus dijalankan secara khusus. Referensi dari Al-Mausu'atul Fiqhiyyah menjelaskan bahwa thuma'ninah dianggap sebagai sesuatu yang berkelanjutan berdasarkan pada asal perbuatan, sedangkan perintah melakukan sesuatu tidak menuntut untuk berkelanjutan. Dengan demikian, meskipun ulama Hanafi menghargai thuma'ninah sebagai suatu amalan yang dianjurkan, namun mereka menganggapnya sebagai sunnah, bukan sebagai kewajiban dalam shalat. Hal ini menunjukkan perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab dalam menafsirkan dan memahami tata cara melaksanakan shalat, serta penekanan pada berbagai aspek dalam pelaksanaan ibadah tersebut.
Berdasarkan uraian singkat tentang maksud serta kedudukan tartil bacaan dan thuma'ninah yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan tarawih yang dilakukan dengan cepat pada dasarnya tidak masalah, selama memperhatikan beberapa hal penting.
1. Bacaan Al-Quran, terutama yang merupakan rukun-rukun shalat, seperti Surah Al-Fatihah dan Surah yang dibaca pada rakaat-rakaat tarawih, meskipun dilakukan dengan cepat oleh imam---jika shalat berjamaah---tetap harus memperhatikan ketentuan atau kaidah tajwid. Pentingnya memperhatikan ketentuan tajwid dalam pembacaan Al-Quran, terutama dalam shalat berjamaah seperti tarawih, karena dalam kondisi tertentu, imam bertanggung jawab atas bacaan makmum yang kurang sempurna. Dalam shalat berjamaah, makmum mengikuti bacaan imam, dan jika imam melakukan bacaan yang kurang tepat dari segi tajwid, maka hal ini juga berdampak pada bacaan makmum.
Oleh karena itu, meskipun dilakukan dengan cepat, imam tetap harus memastikan bahwa bacaannya memenuhi standar tajwid agar tidak mengakibatkan kesalahan atau kekurangan pada bacaan makmum. Dengan demikian, dalam pelaksanaan tarawih, imam perlu memperhatikan kecepatan bacaan agar tetap memungkinkan untuk menjaga kualitas dan kesempurnaan bacaan sesuai dengan kaidah tajwid. Meskipun demikian, penghormatan terhadap kualitas bacaan Al-Quran harus tetap diutamakan, sehingga ibadah tarawih dapat memberikan manfaat spiritual yang maksimal bagi para jamaah.
2. Ketika makmum merasa khawatir tidak akan cukup waktu untuk menyelesaikan bacaan Surah Al-Fatihah setelah imam membacanya, maka makmum dapat memulai bacaannya segera setelah imam memulai. Metode ini memungkinkan makmum untuk lebih leluasa dan mampu menjaga bacaannya sesuai dengan kaidah tajwid. Dengan demikian, makmum dapat menyesuaikan ritme dan kecepatan bacaannya agar tetap memenuhi standar tajwid, tanpa perlu tergesa-gesa. Selain itu, di penghujung bacaan Al-Fatihah oleh imam, makmum dapat menyelipkan bacaan "mn", lalu melanjutkan sisa bacaannya. Hal ini merupakan praktik yang umum dilakukan dalam shalat berjamaah, termasuk dalam tarawih. Bacaan "mn" tersebut menandai akhir bacaan Al-Fatihah dan sebagai tanda persetujuan atas doa yang telah dibacakan oleh imam.
Setelah itu, makmum melanjutkan sisa bacaannya, baik itu Surah Al-Fatihah maupun Surah lainnya yang akan dibaca dalam shalat. Dengan mengadopsi metode ini, makmum dapat mengikuti bacaan imam dengan lebih lancar dan teratur, sambil tetap menjaga kualitas dan keindahan bacaan sesuai dengan kaidah tajwid. Selain itu, ini juga memungkinkan makmum untuk lebih fokus pada bacaannya sendiri, tanpa harus terburu-buru atau terganggu oleh ritme bacaan imam. Dengan demikian, kualitas ibadah tarawih dapat dipertahankan dengan baik, sehingga para jamaah dapat meraih manfaat spiritual yang lebih besar dari ibadah tersebut.
3. Untuk menghindari perdebatan dan memastikan keselarasan dalam pelaksanaan shalat, disarankan untuk berusaha menyempatkan diri melakukan thuma'ninah dalam setiap rukun yang singkat (qashir), terutama pada saat rukuk dan sujud. Thuma'ninah adalah sikap tenang dan diamnya seluruh anggota tubuh, yang sebaiknya dipertahankan setidaknya selama membaca satu tasbih (subhanallah). Dalam thuma'ninah, semua anggota tubuh berada dalam keadaan diam, menunjukkan kesadaran dan khusyuk dalam beribadah. Meskipun tidak selalu memungkinkan untuk melaksanakan thuma'ninah dalam setiap gerakan shalat, disarankan untuk ber-taqlid (mengikuti pendapat) kepada Imam Hanafi yang memandangnya sebagai sunnah.
Dengan ber-taqlid kepada pandangan Imam Hanafi, maka meskipun seseorang tidak dapat melaksanakan thuma'ninah dalam shalat, ia tidak akan menjadi bahan perdebatan karena thuma'ninah dianggap sebagai amalan yang dianjurkan. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan dapat tercipta harmoni dan keselarasan dalam pelaksanaan ibadah shalat, tanpa adanya perdebatan atau perselisihan mengenai tata cara pelaksanaannya. Setiap individu dapat mengikuti pandangan yang sesuai dengan mazhabnya atau ber-taqlid kepada Imam Hanafi, sehingga pelaksanaan ibadah shalat dapat dilakukan dengan penuh khusyuk dan ketenangan, sesuai dengan ajaran Islam yang mendasarkan pada kerelaan dan kesadaran batin dalam beribadah.
4. Apabila masih memungkinkan untuk menjalankan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak, misalnya 20 rakaat, dan tetap mempertahankan kualitas bacaan serta thuma'ninah, maka disarankan untuk melakukannya. Namun, jika dalam pelaksanaannya tidak memungkinkan untuk menjaga kualitas bacaan, thuma'ninah, ketenangan, dan kekhusyuan shalat, maka lebih bijaksana untuk mengambil jumlah rakaat yang lebih sedikit, seperti 8 rakaat. Pemilihan jumlah rakaat yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi jamaah sangat penting dalam menjaga kualitas shalat tarawih. Dengan mengambil jumlah rakaat yang lebih sedikit, jamaah dapat lebih fokus dalam menjaga kualitas bacaan, thuma'ninah, ketenangan, dan kekhusyuan dalam shalat.
Hal ini akan membantu menciptakan suasana ibadah yang lebih khusyuk dan berarti bagi jamaah. Namun demikian, jika masih memungkinkan untuk menjalankan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak tanpa mengorbankan kualitas ibadah, maka tidak ada larangan untuk melakukannya. Yang terpenting adalah menjaga kualitas dan kekhusyuan dalam ibadah shalat, serta memastikan bahwa pelaksanaannya sesuai dengan ajaran Islam dan kaidah-kaidah yang benar dalam ibadah shalat. Dengan demikian, jamaah dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari pelaksanaan shalat tarawih selama bulan Ramadhan.
Pendapat Imam An-Nawawi memberikan suatu pertimbangan penting, yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an satu juz dengan tartil lebih utama daripada membaca dua juz tanpa tartil. Ini menggarisbawahi pentingnya kualitas dalam pelaksanaan ibadah, terutama dalam membaca Al-Qur'an, dibandingkan dengan sekadar mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Demikian pula, pendapat Ibnu 'Abbas menekankan bahwa membaca satu surat Al-Qur'an dengan tartil lebih disukai daripada membaca seluruh Al-Qur'an tanpa tartil. Prinsip yang mendasari kedua pendapat tersebut adalah bahwa meskipun kuantitas amal ibadah yang dilakukan mungkin terbatas atau sedikit, namun jika dilakukan dengan kualitas yang baik, maka nilai dan keutamaannya tetap terjaga.
Artinya, lebih baik melakukan ibadah dengan penuh khusyuk, ketenangan, dan kekhusyuan, walaupun dalam jumlah yang terbatas, daripada mengejar banyaknya ibadah tanpa memperhatikan kualitasnya. Dengan demikian, dalam konteks shalat tarawih, lebih baik bagi jamaah untuk menjaga kualitas bacaan, tartil, thuma'ninah, dan kekhusyuan dalam shalat, meskipun jumlah rakaat yang dilakukan mungkin lebih sedikit. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kualitas ibadah yang dilakukan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sekadar mengejar banyaknya ibadah tanpa memperhatikan kualitasnya.
5. Sebagaimana tersirat dalam namanya, shalat tarawih bermakna shalat yang dilakukan dengan ketenangan dan kedamaian. Oleh karena itu, para jamaah dihimbau untuk mencapai ketenangan dalam pelaksanaan shalat, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Bilal bin Rabah. Pesan ini menegaskan pentingnya menjaga ketenangan dan kesadaran dalam setiap gerakan shalat, sehingga shalat dapat dijalankan dengan penuh kesadaran dan ketenangan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa inti dari shalat adalah mencapai kekhusyuan (khusyu') dan taqarrub (kedekatan) kepada Allah SWT. Kekhusyuan dalam shalat merupakan esensi dari hubungan spiritual antara hamba dengan Tuhannya, di mana hamba merasakan kehadiran-Nya secara mendalam dalam setiap gerakan dan bacaan dalam shalat. Namun, kekhusyuan dalam shalat akan sulit diraih apabila pelaksanaannya dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa kesadaran yang cukup.
Dalam konteks shalat tarawih, di mana jamaah melaksanakan shalat dalam waktu yang relatif lebih panjang dan dengan jumlah rakaat yang banyak, sangat penting untuk memperhatikan aspek ketenangan dan kekhusyuan dalam setiap gerakan shalat. Dengan menjaga ketenangan dan kesadaran dalam pelaksanaan shalat, serta menghindari terburu-buru, jamaah akan lebih mampu meraih kekhusyuan dalam ibadah mereka dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan lebih baik. Oleh karena itu, pesan ini mengingatkan bahwa shalat tarawih tidak sekadar tentang menyelesaikan jumlah rakaat, tetapi juga tentang mencapai kekhusyuan dan kedekatan dengan Allah SWT dalam setiap gerakan shalat.
Al-Ghazali, seorang tokoh filosof dan ulama besar dalam tradisi Islam, pernah menyatakan bahwa seseorang yang melaksanakan shalat tanpa khusyuk dan kehadiran hati, ibaratnya seperti orang yang mempersembahkan hewan besar kepada seorang raja, tetapi pada kenyataannya hewan tersebut sudah menjadi bangkai. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya kualitas kekhusyuan dan kesadaran dalam pelaksanaan shalat.
Dalam analogi tersebut, "hewan besar" yang dimaksud merupakan simbol dari ibadah yang seharusnya dilakukan dengan penuh kekhusyuan, ketenangan, dan kehadiran hati yang sungguh-sungguh. Namun, jika pelaksanaan shalat dilakukan tanpa khusyuk dan kehadiran hati, ibadah tersebut menjadi seperti "bangkai", yang tidak memiliki nilai atau manfaat spiritual yang sesungguhnya. Pernyataan ini mencerminkan pemahaman Al-Ghazali tentang pentingnya kekhusyuan dalam ibadah, termasuk dalam pelaksanaan shalat.
Baginya, kualitas kekhusyuan dan kehadiran hati dalam ibadah merupakan hal yang sangat penting, karena itulah yang memberikan makna sejati kepada ibadah tersebut. Tanpa kekhusyuan dan kehadiran hati yang sungguh-sungguh, ibadah tersebut kehilangan nilai spiritualnya. Dengan demikian, pesan dari Al-Ghazali ini menegaskan betapa pentingnya menjaga kekhusyuan dan kehadiran hati dalam setiap ibadah yang dilakukan, termasuk dalam shalat. Kualitas ibadah tidak hanya dilihat dari segi fisik atau formalitas semata, tetapi juga dari segi spiritualitas dan kehadiran hati yang sungguh-sungguh.
Kesimpulan
Kesimpulan dari semua yang telah diuraikan adalah bahwa shalat tarawih bukan hanya sekadar menyelesaikan jumlah rakaat, tetapi juga tentang mencapai kualitas ibadah yang tinggi, yang meliputi kekhusyuan, ketenangan, dan kehadiran hati yang sungguh-sungguh. Para ulama dan tokoh seperti Imam An-Nawawi, Ibnu 'Abbas, dan Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga kualitas dalam ibadah, bahkan jika itu berarti mengurangi jumlah rakaat atau memperlambat ritme pelaksanaan shalat. Dalam konteks shalat tarawih, para jamaah dihimbau untuk memperhatikan kualitas bacaan, menjaga tartil, thuma'ninah, dan kekhusyuan dalam shalat. Jika pelaksanaan shalat dengan jumlah rakaat yang banyak mengganggu kualitas ibadah, maka lebih baik mengurangi jumlah rakaat agar lebih mampu menjaga kualitas ibadah. Kualitas ibadah, seperti yang diungkapkan Al-Ghazali, adalah kunci utama dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mendapatkan manfaat spiritual yang sejati dari ibadah tersebut. Dengan demikian, penting bagi jamaah untuk memahami bahwa shalat tarawih bukan sekadar rutinitas formalitas, tetapi merupakan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan kualitas ibadah yang tinggi. Dengan menjaga kualitas dalam pelaksanaan shalat tarawih, diharapkan para jamaah dapat merasakan manfaat spiritual yang besar dan mendapatkan keberkahan dalam ibadah mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H