Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa dan Guru PAUD

Terkadang, saya hanya seorang mahasiswa yang berusaha menulis hal-hal bermanfaat serta menyuarakan isu-isu hangat.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ketentuan Pelaksanaan Shalat Tarawih Cepat dalam Kajian Fiqih: Memahami Keseimbangan Antara Ketenangan dan Efisiensi

12 Maret 2024   22:59 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:03 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan shalat Tarawih di bulan Ramadhan. (Foto: NOJ/ ISt)/jatim.nu.or.id

Tak heran jika beberapa ulama mensyaratkan pembacaan tartil dengan melafalkan huruf demi huruf. Pendekatan ini menekankan bahwa pembacaan Al-Qur'an harus dilakukan dengan sangat lambat dan hati-hati, sehingga setiap huruf dan kata dapat dipahami dan diucapkan dengan benar. Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra" jilid II, halaman 76. Dengan memahami dan menerapkan prinsip tartil dalam membaca Al-Qur'an, umat Islam dapat meningkatkan kualitas dan keberkahan dalam ibadah membaca Al-Qur'an serta mendapatkan manfaat spiritual yang lebih besar.

Dalam "Syarhul Muhadzdzab," Imam An-Nawawi menegaskan bahwa para ulama sepakat memakruhkan membaca Al-Qur'an dengan cepat. Dijelaskan oleh para ulama, status makruh ini berlaku bagi pembacaan yang masih benar, tidak melanggar ketentuan tajwid, dan tidak merusak makna Al-Qur'an, hanya saja dilakukan dengan kecepatan yang agak tinggi. Para ulama membedakan antara pembacaan cepat yang masih memenuhi ketentuan tajwid dan tidak merusak makna, dengan pembacaan cepat yang keluar dari ketentuan tajwid dan mengakibatkan kerusakan pada makna Al-Qur'an. Pembacaan yang sudah keluar dari ketentuan tajwid, yang memiliki cacat dalam pelafalan huruf, dan yang merusak makna Al-Qur'an, dapat dinyatakan bukan hanya sebagai makruh, melainkan sudah dianggap sebagai dosa. Hal ini sejalan dengan pernyataan para ulama tajwid yang menyatakan,          

  مَنْ لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمُ
Artinya :"Siapa saja yang tidak men-tajwid Al-Quran, maka ia berdosa." 

Referensi tersebut menekankan pentingnya melafalkan Al-Qur'an dengan baik dan benar sesuai dengan ketentuan tajwid, tanpa tergesa-gesa, agar setiap huruf dan makna yang terkandung di dalamnya dapat disampaikan dengan jelas dan tepat. Dengan demikian, para pembaca Al-Qur'an diharapkan dapat menghormati kitab suci tersebut dengan melafalkannya dengan penuh perhatian dan ketelitian, sehingga dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari ibadah membaca Al-Qur'an.

Para ulama memakruhkan bacaan yang cepat karena kecepatan dalam membaca Al-Qur'an dapat mengabaikan aspek tadabbur atau perenungan terhadap kandungan ayat. Tadabbur merupakan proses merenungkan makna dan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur'an, serta memperdalam pemahaman terhadap pesan-pesan ilahi yang disampaikan. Tadabbur memungkinkan pembaca Al-Qur'an untuk mendekatkan diri pada ketenangan dan mengagungkan Zat pemilik kalam, serta lebih menyentuh hati dengan makna-makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Dengan merenungkan setiap kata dan ayat, pembaca Al-Qur'an dapat lebih memahami dan menghayati ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab suci tersebut.

Oleh karena itu, Ibnu 'Abbas menyatakan bahwa pembacaan Al-Qur'an satu surat dengan tartil lebih disukai dibanding membaca seluruh Al-Qur'an tanpa tartil (dengan cepat). Ini menunjukkan bahwa dalam membaca Al-Qur'an, kualitas dan kedalaman pemahaman lebih diutamakan daripada kuantitas atau kecepatan pembacaan. Dengan memperlambat bacaan dan menghargai setiap ayat yang dibaca, pembaca Al-Qur'an dapat lebih mendalami makna-makna yang terkandung dalam setiap kata, serta mengalami hubungan yang lebih dalam dengan Allah SWT melalui kitab suci-Nya. Dalam konteks ini, para ulama mengingatkan umat Islam akan pentingnya memperhatikan kualitas dalam membaca Al-Qur'an, dengan memprioritaskan tadabbur dan penghayatan terhadap pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, pembaca Al-Qur'an dapat mengalami manfaat spiritual yang lebih besar dan mendapatkan keberkahan dalam ibadah membaca Al-Qur'an.

Selanjutnya, terkait dengan konsep "thuma'ninah" (ketenangan atau ketenangannya), jumhur ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali sepakat untuk menganggapnya sebagai suatu kewajiban dalam shalat, terutama saat melakukan rukuk dan sujud. Dalam pandangan mereka, hukum thuma'ninah ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan kewajiban melakukan rukuk dan sujud dalam shalat. Beberapa ulama dari mazhab Syafi'i bahkan menjadikan thuma'ninah sebagai salah satu rukun shalat tersendiri. Namun, dalam mazhab Hanafi, dengan pengecualian pendapat Syekh Abu Yusuf, hukum thuma'ninah dianggap sebagai sunnah. Artinya, dalam pandangan mazhab Hanafi, meskipun thuma'ninah tidak dilakukan, shalat tetap sah. Ini menunjukkan perbedaan pendapat di antara para ulama dari berbagai mazhab mengenai status hukum thuma'ninah dalam shalat.

Referensi untuk pemahaman ini dapat ditemukan dalam kitab "Ikhtilafu A'immatil 'Ulama" jilid I, halaman 114. Penekanan pada thuma'ninah dalam shalat menunjukkan pentingnya menciptakan atmosfer ketenangan dan khusyuk dalam ibadah, sehingga setiap gerakan dan bacaan dalam shalat dapat dilakukan dengan penuh kesadaran dan konsentrasi. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut mengenai hukum thuma'ninah, namun tujuan akhirnya tetap sama, yaitu untuk meningkatkan kualitas ibadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT. Dengan demikian, para muslim diharapkan untuk mengutamakan ketenangan dan khusyuk dalam pelaksanaan shalat, agar dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari ibadah tersebut.

Thuma'ninah, yang bermakna tenang dan diamnya seluruh anggota tubuh sekurang-kurangnya selama satu kali bacaan tasbih, dianggap sebagai suatu kewajiban dalam shalat menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Dalil yang digunakan untuk menguatkan kewajiban thuma'ninah ini adalah hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (nomor 6251) dari Abu Hurairah RA. 

  إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Artinya: "Jika engkau menunaikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, lalu menghadap kiblat dan mengucap takbir. Lalu bacalah ayat Al-Qur'an yang menurutmu mudah (Al-Fatihah dan surat). Lalu rukuklah hingga rukuk dengan thuma'ninah. Lantas angkatlah kepala hingga berdiri dengan tegak. Lalu sujudlah hingga sujud dengan thuma'ninah.  Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma'ninah. Lalu sujud kembali hingga sujud dengan thuma'ninah. Lalu bangkitlah hingga duduk dengan thuma'ninah. Kemudian, lakukanlah semua itu dalam seluruh shalatmu," (HR Bukhari).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun