Mohon tunggu...
Ahmad Faizal Abidin
Ahmad Faizal Abidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai seorang mahasiswa yang selalu berusaha memberikan hal-hal bermanfaat untuk semua orang, saya senang berbagi ide dan inspirasi dalam berbagai bentuk. Mulai dari artikel mendalam, opini yang membuka wawasan, puisi yang penuh makna, hingga cerpen yang menghibur dan humor yang segar. Setiap karya yang saya hasilkan bertujuan untuk memberi nilai tambah, memperkaya pengetahuan, dan menghadirkan senyuman di tengah rutinitas sehari-hari. Melalui tulisan, saya berharap bisa membangun jembatan pemahaman dan mendorong kreativitas, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Ketentuan Pelaksanaan Shalat Tarawih Cepat dalam Kajian Fiqih: Memahami Keseimbangan Antara Ketenangan dan Efisiensi

12 Maret 2024   22:59 Diperbarui: 12 Maret 2024   23:03 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaksanaan shalat Tarawih di bulan Ramadhan. (Foto: NOJ/ ISt)/jatim.nu.or.id

2. Ketika makmum merasa khawatir tidak akan cukup waktu untuk menyelesaikan bacaan Surah Al-Fatihah setelah imam membacanya, maka makmum dapat memulai bacaannya segera setelah imam memulai. Metode ini memungkinkan makmum untuk lebih leluasa dan mampu menjaga bacaannya sesuai dengan kaidah tajwid. Dengan demikian, makmum dapat menyesuaikan ritme dan kecepatan bacaannya agar tetap memenuhi standar tajwid, tanpa perlu tergesa-gesa. Selain itu, di penghujung bacaan Al-Fatihah oleh imam, makmum dapat menyelipkan bacaan "mn", lalu melanjutkan sisa bacaannya. Hal ini merupakan praktik yang umum dilakukan dalam shalat berjamaah, termasuk dalam tarawih. Bacaan "mn" tersebut menandai akhir bacaan Al-Fatihah dan sebagai tanda persetujuan atas doa yang telah dibacakan oleh imam.

 Setelah itu, makmum melanjutkan sisa bacaannya, baik itu Surah Al-Fatihah maupun Surah lainnya yang akan dibaca dalam shalat. Dengan mengadopsi metode ini, makmum dapat mengikuti bacaan imam dengan lebih lancar dan teratur, sambil tetap menjaga kualitas dan keindahan bacaan sesuai dengan kaidah tajwid. Selain itu, ini juga memungkinkan makmum untuk lebih fokus pada bacaannya sendiri, tanpa harus terburu-buru atau terganggu oleh ritme bacaan imam. Dengan demikian, kualitas ibadah tarawih dapat dipertahankan dengan baik, sehingga para jamaah dapat meraih manfaat spiritual yang lebih besar dari ibadah tersebut.

3. Untuk menghindari perdebatan dan memastikan keselarasan dalam pelaksanaan shalat, disarankan untuk berusaha menyempatkan diri melakukan thuma'ninah dalam setiap rukun yang singkat (qashir), terutama pada saat rukuk dan sujud. Thuma'ninah adalah sikap tenang dan diamnya seluruh anggota tubuh, yang sebaiknya dipertahankan setidaknya selama membaca satu tasbih (subhanallah). Dalam thuma'ninah, semua anggota tubuh berada dalam keadaan diam, menunjukkan kesadaran dan khusyuk dalam beribadah. Meskipun tidak selalu memungkinkan untuk melaksanakan thuma'ninah dalam setiap gerakan shalat, disarankan untuk ber-taqlid (mengikuti pendapat) kepada Imam Hanafi yang memandangnya sebagai sunnah. 

Dengan ber-taqlid kepada pandangan Imam Hanafi, maka meskipun seseorang tidak dapat melaksanakan thuma'ninah dalam shalat, ia tidak akan menjadi bahan perdebatan karena thuma'ninah dianggap sebagai amalan yang dianjurkan. Dengan menerapkan prinsip ini, diharapkan dapat tercipta harmoni dan keselarasan dalam pelaksanaan ibadah shalat, tanpa adanya perdebatan atau perselisihan mengenai tata cara pelaksanaannya. Setiap individu dapat mengikuti pandangan yang sesuai dengan mazhabnya atau ber-taqlid kepada Imam Hanafi, sehingga pelaksanaan ibadah shalat dapat dilakukan dengan penuh khusyuk dan ketenangan, sesuai dengan ajaran Islam yang mendasarkan pada kerelaan dan kesadaran batin dalam beribadah.

4. Apabila masih memungkinkan untuk menjalankan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak, misalnya 20 rakaat, dan tetap mempertahankan kualitas bacaan serta thuma'ninah, maka disarankan untuk melakukannya. Namun, jika dalam pelaksanaannya tidak memungkinkan untuk menjaga kualitas bacaan, thuma'ninah, ketenangan, dan kekhusyuan shalat, maka lebih bijaksana untuk mengambil jumlah rakaat yang lebih sedikit, seperti 8 rakaat. Pemilihan jumlah rakaat yang sesuai dengan kemampuan dan kondisi jamaah sangat penting dalam menjaga kualitas shalat tarawih. Dengan mengambil jumlah rakaat yang lebih sedikit, jamaah dapat lebih fokus dalam menjaga kualitas bacaan, thuma'ninah, ketenangan, dan kekhusyuan dalam shalat. 

Hal ini akan membantu menciptakan suasana ibadah yang lebih khusyuk dan berarti bagi jamaah. Namun demikian, jika masih memungkinkan untuk menjalankan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang banyak tanpa mengorbankan kualitas ibadah, maka tidak ada larangan untuk melakukannya. Yang terpenting adalah menjaga kualitas dan kekhusyuan dalam ibadah shalat, serta memastikan bahwa pelaksanaannya sesuai dengan ajaran Islam dan kaidah-kaidah yang benar dalam ibadah shalat. Dengan demikian, jamaah dapat memperoleh manfaat spiritual yang maksimal dari pelaksanaan shalat tarawih selama bulan Ramadhan.

Pendapat Imam An-Nawawi memberikan suatu pertimbangan penting, yang menyatakan bahwa membaca Al-Qur'an satu juz dengan tartil lebih utama daripada membaca dua juz tanpa tartil. Ini menggarisbawahi pentingnya kualitas dalam pelaksanaan ibadah, terutama dalam membaca Al-Qur'an, dibandingkan dengan sekadar mengejar kuantitas tanpa memperhatikan kualitas. Demikian pula, pendapat Ibnu 'Abbas menekankan bahwa membaca satu surat Al-Qur'an dengan tartil lebih disukai daripada membaca seluruh Al-Qur'an tanpa tartil. Prinsip yang mendasari kedua pendapat tersebut adalah bahwa meskipun kuantitas amal ibadah yang dilakukan mungkin terbatas atau sedikit, namun jika dilakukan dengan kualitas yang baik, maka nilai dan keutamaannya tetap terjaga. 

Artinya, lebih baik melakukan ibadah dengan penuh khusyuk, ketenangan, dan kekhusyuan, walaupun dalam jumlah yang terbatas, daripada mengejar banyaknya ibadah tanpa memperhatikan kualitasnya. Dengan demikian, dalam konteks shalat tarawih, lebih baik bagi jamaah untuk menjaga kualitas bacaan, tartil, thuma'ninah, dan kekhusyuan dalam shalat, meskipun jumlah rakaat yang dilakukan mungkin lebih sedikit. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kualitas ibadah yang dilakukan memiliki nilai yang lebih tinggi daripada sekadar mengejar banyaknya ibadah tanpa memperhatikan kualitasnya.

5. Sebagaimana tersirat dalam namanya, shalat tarawih bermakna shalat yang dilakukan dengan ketenangan dan kedamaian. Oleh karena itu, para jamaah dihimbau untuk mencapai ketenangan dalam pelaksanaan shalat, sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada Bilal bin Rabah. Pesan ini menegaskan pentingnya menjaga ketenangan dan kesadaran dalam setiap gerakan shalat, sehingga shalat dapat dijalankan dengan penuh kesadaran dan ketenangan. Selain itu, penting untuk diingat bahwa inti dari shalat adalah mencapai kekhusyuan (khusyu') dan taqarrub (kedekatan) kepada Allah SWT. Kekhusyuan dalam shalat merupakan esensi dari hubungan spiritual antara hamba dengan Tuhannya, di mana hamba merasakan kehadiran-Nya secara mendalam dalam setiap gerakan dan bacaan dalam shalat. Namun, kekhusyuan dalam shalat akan sulit diraih apabila pelaksanaannya dilakukan dengan terburu-buru dan tanpa kesadaran yang cukup.

Dalam konteks shalat tarawih, di mana jamaah melaksanakan shalat dalam waktu yang relatif lebih panjang dan dengan jumlah rakaat yang banyak, sangat penting untuk memperhatikan aspek ketenangan dan kekhusyuan dalam setiap gerakan shalat. Dengan menjaga ketenangan dan kesadaran dalam pelaksanaan shalat, serta menghindari terburu-buru, jamaah akan lebih mampu meraih kekhusyuan dalam ibadah mereka dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan lebih baik. Oleh karena itu, pesan ini mengingatkan bahwa shalat tarawih tidak sekadar tentang menyelesaikan jumlah rakaat, tetapi juga tentang mencapai kekhusyuan dan kedekatan dengan Allah SWT dalam setiap gerakan shalat.

Al-Ghazali, seorang tokoh filosof dan ulama besar dalam tradisi Islam, pernah menyatakan bahwa seseorang yang melaksanakan shalat tanpa khusyuk dan kehadiran hati, ibaratnya seperti orang yang mempersembahkan hewan besar kepada seorang raja, tetapi pada kenyataannya hewan tersebut sudah menjadi bangkai. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya kualitas kekhusyuan dan kesadaran dalam pelaksanaan shalat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun