Indonesia, negara yang kaya akan potensi luar biasa, telah terhambat dalam kemajuannya oleh pragmatisme politik yang merajalela. Pragmatisme ini, di mana partai politik lebih mementingkan kekuasaan dan keuntungan pribadi daripada mengutamakan ideologi dan kesejahteraan rakyat, telah menyebabkan timbulnya berbagai kekacauan.Â
Dalam konteks ini, pragmatisme politik merujuk pada orientasi para pemimpin politik untuk mengambil tindakan yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau partai, bahkan jika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip atau tujuan yang seharusnya mereka perjuangkan.Â
Fenomena pragmatisme politik ini merupakan hasil dari dinamika politik yang kompleks di Indonesia. Negara ini memiliki sejarah panjang perjuangan politik dalam mencapai kemerdekaan dan kemudian membangun bangsa. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, praktik politik pragmatis telah menjadi semakin menonjol, mempengaruhi kebijakan publik, proses demokrasi, dan stabilitas politik secara keseluruhan.
Salah satu dampak dari pragmatisme politik ini adalah terjadinya polarisasi politik yang mendalam di kalangan masyarakat. Ketika partai politik lebih mementingkan kepentingan sempit kelompoknya sendiri, hal ini cenderung memperkuat kesenjangan antara elit politik dan rakyat.Â
Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik dan pemerintah menurun, yang pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas politik dan pembangunan nasional. Selain itu, pragmatisme politik juga berpotensi menghambat pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia. Ketika kebijakan-kebijakan publik dibentuk berdasarkan pertimbangan politik yang sempit, hal ini dapat menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.Â
Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan demi keuntungan pribadi juga dapat menghambat upaya pemberantasan korupsi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menangani pragmatisme politik ini secara serius.Â
Hal ini memerlukan komitmen yang kuat dari para pemimpin politik untuk mengutamakan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat di atas kepentingan pribadi atau partai. Selain itu, perlu juga pembangunan budaya politik yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas, sehingga proses politik dapat menjadi sarana yang efektif dalam mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Korupsi MerajalelaÂ
Pragmatisme politik membuka celah bagi praktik korupsi. Demi memperoleh dan mempertahankan posisi politik, partai politik sering kali melakukan tindakan suap, manipulasi, dan penyalahgunaan dana secara tidak sungguh-sungguh. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2023 mencatatkan skor sebesar 34, yang masih jauh dari kondisi yang diharapkan.Â
Korupsi telah merusak keuangan negara, menghalangi proses pembangunan, serta merusak rasa keadilan di kalangan masyarakat. Praktik korupsi yang terjadi dalam konteks pragmatisme politik menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan sumber daya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya bagi masyarakat secara luas.Â
Suap, manipulasi, dan penyalahgunaan dana yang dilakukan oleh partai politik dan para pemimpinnya tidak hanya melanggar norma-norma moral dan hukum, tetapi juga merusak integritas lembaga-lembaga negara serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik dan pemerintahan.
Dampak korupsi terhadap keuangan negara sangatlah merugikan, karena menguras sumber daya yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dana publik yang seharusnya dialokasikan untuk infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan layanan dasar lainnya seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, meninggalkan masyarakat dalam kondisi yang kurang sejahtera.Â
Tidak hanya itu, korupsi juga menjadi penghambat utama dalam proses pembangunan nasional. Praktik korupsi mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan tidak efektif, serta menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan investasi dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini menghambat upaya pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Selain itu, korupsi juga menciderai rasa keadilan di kalangan masyarakat. Ketidaksetaraan dalam akses terhadap layanan publik dan keadilan hukum menjadi semakin memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi antara elit politik dan masyarakat luas. Ini dapat mengancam stabilitas sosial dan politik negara, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga demokratis.Â
Untuk mengatasi masalah korupsi yang terkait dengan pragmatisme politik, diperlukan upaya serius dan komprehensif dari semua pihak terkait. Ini termasuk penguatan sistem hukum dan penegakan hukum yang adil dan efektif, pemberantasan praktik korupsi secara sistematis, serta pembangunan budaya politik yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas. Hanya dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat mengatasi tantangan korupsi yang menghambat pembangunan dan merusak fondasi demokrasi yang sehat.
Politik Elektoral MendominasiÂ
Pragmatisme politik memfokuskan perhatian pada politik elektoral sebagai titik pusat. Kemenangan dalam pemilihan umum tahun 2024 menjadi prioritas utama, menggeser peran ideologi dan platform partai politik. Kampanye politik ditandai dengan adanya praktik politik uang, pemanfaatan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan), dan penyebaran berita palsu (hoaks), yang memicu polarisasi dan perpecahan di tengah masyarakat.Â
Dalam konteks ini, politik elektoral merujuk pada upaya para partai politik dan calon politik untuk memenangkan dukungan publik dalam pemilihan umum dengan berbagai cara, terlepas dari keberpihakan ideologis atau visi jangka panjang yang konsisten. Pragmatisme politik mendorong para pemimpin politik untuk memprioritaskan strategi yang dianggap paling efektif dalam memenangkan suara, bahkan jika itu berarti mengorbankan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang seharusnya mereka perjuangkan.
Dalam suasana politik yang didominasi oleh pragmatisme ini, kampanye politik sering kali menjadi ajang di mana berbagai praktik yang merugikan demokrasi muncul. Politik uang, di mana pemilih diberi imbalan finansial atau materi untuk memilih calon tertentu, merusak esensi pemilihan umum yang seharusnya menjadi ajang untuk menentukan pemimpin berdasarkan platform dan visi politik.Â
Selain itu, penyalahgunaan isu-isu sensitif seperti SARA dan penyebaran hoaks bertujuan untuk memanipulasi opini publik dan memperkuat polarisasi di antara masyarakat. Dampak dari politik elektoral yang pragmatis ini sangatlah merugikan. Polaritas dan perpecahan yang dihasilkan dari kampanye politik yang berfokus pada kepentingan jangka pendek mungkin sulit diatasi dan dapat mengancam stabilitas sosial serta koherensi nasional.
 Selain itu, penurunan kualitas debat politik dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap lembaga politik juga dapat mengurangi partisipasi politik masyarakat dan melemahkan legitimasi demokrasi. Untuk mengatasi dampak negatif dari politik elektoral yang pragmatis ini, diperlukan langkah-langkah yang kuat untuk memperkuat integritas proses demokratis.Â
Ini melibatkan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran etika dan peraturan pemilihan umum, peningkatan literasi politik di kalangan masyarakat, serta pembangunan budaya politik yang lebih inklusif dan berbasis pada dialog dan kerja sama. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat memperkuat fondasi demokrasi dan memastikan bahwa pemilihan umum menjadi sarana yang efektif untuk mengekspresikan kehendak rakyat dan memilih pemimpin yang berkualitas dan bertanggung jawab.
Ideologi TerabaikanÂ
Pragmatisme politik menyebabkan penurunan peran ideologi dalam arena politik. Politik menjadi tempat untuk memperjuangkan kepentingan individu atau kelompok, bukan untuk memperdebatkan gagasan atau ideologi. Visi dan misi partai politik menjadi kabur, digantikan oleh sikap pragmatis dan oportunisme.Â
Dampaknya adalah masyarakat kehilangan arah dan pedoman dalam berpolitik. Dalam konteks ini, pragmatisme politik merujuk pada kecenderungan para pemimpin politik untuk mengejar kepentingan mereka sendiri atau kelompoknya, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip ideologis yang seharusnya menjadi dasar dari platform politik.Â
Pragmatisme ini sering kali muncul ketika para pemimpin politik lebih mementingkan kesempatan politik dan keuntungan pribadi daripada mewujudkan visi jangka panjang atau prinsip-prinsip yang konsisten.
Dengan terjadinya penurunan peran ideologi dalam politik, persaingan politik lebih berfokus pada pertarungan kepentingan daripada perdebatan gagasan atau program. Ini mengakibatkan visi dan misi partai politik menjadi samar, karena prioritas politik bergeser dari pencapaian tujuan ideologis menjadi peningkatan kekuasaan atau keuntungan.Â
Akibatnya, masyarakat sulit untuk memahami atau menilai secara jelas arah politik yang diambil oleh partai-partai politik. Dampak negatif dari penurunan peran ideologi dalam politik adalah hilangnya arah dan pedoman bagi masyarakat dalam berpartisipasi dalam proses politik. Tanpa ideologi yang jelas sebagai landasan, masyarakat sulit untuk menilai kinerja dan kebijakan politik yang diusulkan oleh para pemimpin politik.Â
Selain itu, hal ini juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan politik yang mendasar. Untuk mengatasi dampak negatif dari pragmatisme politik yang menenggelamkan ideologi, diperlukan upaya untuk membangun kembali peran ideologi dalam politik.Â
Ini dapat dilakukan melalui pendidikan politik yang meningkatkan pemahaman masyarakat tentang ideologi politik dan pentingnya visi jangka panjang dalam pembangunan negara. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik juga perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa kepentingan publik diprioritaskan di atas kepentingan pribadi atau kelompok.Â
Hanya dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memperkuat fondasi demokrasi dan memastikan bahwa politik menjadi sarana yang efektif untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bagi seluruh masyarakat.
Dampak Buruk PragmatismeÂ
Pragmatisme politik telah menimbulkan berbagai konsekuensi negatif bagi Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap partai politik mengalami penurunan drastis, yang berdampak pada munculnya sikap apatis dan rendahnya tingkat partisipasi politik di kalangan masyarakat.Â
Pembangunan negara terhambat, sementara kesenjangan antara kelompok-kelompok masyarakat semakin melebar, meninggalkan sebagian rakyat dalam kondisi tertinggal. Pragmatisme politik merujuk pada kecenderungan para pemimpin politik untuk mengutamakan kepentingan pribadi atau partai di atas kepentingan nasional atau kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, kepentingan jangka pendek sering kali mengungguli visi jangka panjang atau prinsip-prinsip yang seharusnya menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan politik.
Dampak pertama dari pragmatisme politik adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik. Ketika partai politik lebih mementingkan kekuasaan dan keuntungan pribadi daripada kepentingan publik, hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada lembaga-lembaga politik.Â
Akibatnya, terjadi penurunan partisipasi politik dan munculnya sikap apatis di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya dapat mengancam stabilitas demokrasi. Selain itu, pragmatisme politik juga menghambat proses pembangunan negara.Â
Ketika kebijakan publik dibuat berdasarkan pertimbangan politik yang sempit, hal ini dapat menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan pembangunan infrastruktur yang merata di seluruh wilayah. Akibatnya, kesenjangan sosial dan ekonomi semakin melebar, meninggalkan sebagian besar rakyat dalam kondisi tertinggal.
Untuk mengatasi dampak buruk dari pragmatisme politik, diperlukan reformasi politik yang komprehensif. Ini melibatkan penguatan lembaga-lembaga demokratis, peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam proses politik, serta pembangunan budaya politik yang lebih partisipatif dan inklusif.Â
Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat membangun fondasi politik yang kokoh, yang memungkinkan terciptanya pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh rakyat.
SolusinyaÂ
Perlawanan terhadap pragmatisme politik memerlukan kerja sama dari berbagai pihak. Penguatan aturan dan penegakan hukum yang konsisten, reformasi partai politik, dan peningkatan partisipasi masyarakat sipil menjadi kunci utama dalam upaya ini. Masyarakat harus memiliki sikap kritis dan selektif dalam memilih pemimpin dan partai politik, serta berani menolak praktik politik yang pragmatis.Â
Langkah pertama dalam memerangi pragmatisme politik adalah dengan memperkuat aturan dan memastikan penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggaran etika dan peraturan politik. Ini termasuk penegakan hukum yang adil terhadap praktik korupsi, suap, dan manipulasi politik lainnya. Diperlukan pula reformasi legislatif yang bertujuan untuk memperkuat aturan-aturan yang mengatur kegiatan politik dan membatasi penyalahgunaan kekuasaan.
Reformasi partai politik juga menjadi langkah penting dalam memerangi pragmatisme politik. Ini melibatkan upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam kegiatan partai, serta memperkuat mekanisme internal untuk memastikan bahwa partai mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.Â
Selain itu, perlu juga promosi pemimpin politik yang berintegritas dan memiliki komitmen yang kuat terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Partisipasi masyarakat sipil juga merupakan faktor penting dalam memerangi pragmatisme politik. Masyarakat sipil memiliki peran yang krusial dalam mengawasi dan memberikan tekanan kepada para pemimpin politik untuk bertindak sesuai dengan kepentingan publik.Â
Ini melibatkan peningkatan kesadaran politik di kalangan masyarakat, pendidikan politik, serta pembentukan jaringan dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang aktif dalam mengawasi dan memberikan masukan terhadap proses politik.
Di samping itu, masyarakat juga perlu dilengkapi dengan keterampilan analisis dan penilaian yang kritis terhadap informasi politik yang diterima, sehingga mereka dapat membuat keputusan yang lebih cerdas dan bertanggung jawab dalam proses politik.Â
Dengan kerja sama yang kuat antara pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat, Indonesia dapat mengatasi pragmatisme politik dan membangun sistem politik yang lebih transparan, inklusif, dan berintegritas.
Pragmatisme politik dapat disamakan dengan penyakit kanker yang secara perlahan menggerogoti fondasi Indonesia. Hanya melalui usaha kolektif, kita dapat membasmi dan membangun sistem politik yang sehat, bermartabat, dan berpihak pada kepentingan rakyat.Â
Perumpamaan pragmatisme politik dengan kanker menggambarkan sifatnya yang merusak dan berbahaya bagi stabilitas dan kesejahteraan negara. Seperti kanker yang menyebar, pragmatisme politik merusak struktur politik dan sosial, mengancam prinsip-prinsip demokrasi, serta mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga politik.
Untuk mengatasi ancaman yang dihadapi, diperlukan upaya bersama dari seluruh elemen masyarakat. Ini mencakup penguatan lembaga-lembaga penegak hukum untuk menindak tegas praktik korupsi dan pelanggaran hukum lainnya yang terkait dengan pragmatisme politik.Â
Selain itu, reformasi politik yang bertujuan untuk memperkuat aturan dan mekanisme pengawasan dalam sistem politik juga menjadi hal yang penting. Selain itu, penting bagi partai politik untuk kembali pada prinsip-prinsip ideologis yang jelas dan konsisten, serta mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan partai atau individu. Masyarakat sipil juga memiliki peran krusial dalam memerangi pragmatisme politik, dengan mengawasi dan memberikan tekanan kepada para pemimpin politik untuk bertindak sesuai dengan kepentingan publik.Â
Pentingnya membangun politik yang sehat, berideologi, dan berpihak pada rakyat adalah kunci untuk memastikan bahwa Indonesia dapat mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi dan mencapai kemajuan yang berkelanjutan. Hanya dengan kerja sama yang kuat dan komitmen yang teguh dari seluruh elemen masyarakat, Indonesia dapat melawan pragmatisme politik dan membangun fondasi politik yang kokoh, yang mengutamakan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat.
Kesimpulan
Secara keseluruhan, pragmatisme politik telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi Indonesia, mulai dari penurunan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hingga terhambatnya proses pembangunan negara. Perlu diakui bahwa pragmatisme politik, seperti kanker yang merusak, telah menggerogoti fondasi demokrasi dan kesejahteraan masyarakat.Â
Namun, dengan upaya bersama dan komitmen yang kuat dari semua pihak, kita dapat memerangi pragmatisme politik dan membangun sistem politik yang lebih sehat, berideologi, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Ini memerlukan penguatan aturan dan penegakan hukum yang konsisten, reformasi dalam partai politik, serta peningkatan partisipasi masyarakat sipil dalam proses politik.Â
Kunci untuk berhasil dalam upaya ini adalah kesadaran kolektif tentang pentingnya membangun politik yang transparan, inklusif, dan berintegritas. Hanya dengan kerja sama yang kuat antara pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat, Indonesia dapat membasmi pragmatisme politik dan mewujudkan sistem politik yang lebih demokratis, adil, dan berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H