"Memahami Komitmen Syariah: Refleksi atas "Aufu bil 'Uqud".
detikcom. Â Ilustrasi - Penyakit Hati Di Dalam Islam.
Allah swt berfirman :
y ayyuhalladzna man auf bil-'uqd, uillat lakum bahmatul-an'mi ill m yutl 'alaikum ghaira muillish-shaidi wa antum urum, innallha yakumu m yurd.
artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki (Surat, QS. Al-Maidah, Ayat 1).
Rijsun Min 'Amali Syaiton: Paradigma Kesucian dan Najis dalam Pemikiran Islam - Suatu Klasifikasi Najis "Ghairu Jasadi", Dalam Pendekatan Ushuli Dengan Pendekatan Qiyas.
Allah swt berfirman :
Artinya :
Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Hujurat : 9).
Dalam khazanah pemikiran Islam, konsep "rijsun" yang termaktub dalam Surah Al-Maidah ayat 90Â memberikan landasan fundamental bagi pemahaman tentang kesucian dan najis. Allah SWT berfirman,Â
Yang meletakkan dasar konseptual tentang hal-hal yang dianggap sebagai rijsun (najis) dalam konteks syariat. Imam Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam magnum opusnya "Al-Jami' li Ahkam Al-Quran" menguraikan bahwa penggunaan kata "rijsun" dalam ayat ini memiliki signifikansi yang mendalam. Beliau menjelaskan bahwa terminologi ini tidak sekadar merujuk pada kenajisan fisik, melainkan merangkum dimensi spiritual dan moral yang lebih luas. "Rijsun," menurut beliau, merepresentasikan suatu kondisi yang berlawanan dengan fitrah kesucian manusia, baik secara zahir maupun batin. Perspektif ini diperkuat oleh Imam At-Tabari (w. 310 H) dalam "Jami' Al-Bayan" yang menekankan bahwa frasa "min 'amali syaiton" yang mengikuti kata "rijsun" memberikan konteks yang lebih dalam tentang natura najis tersebut. Beliau menggarisbawahi bahwa penisbatan kepada perbuatan setan mengindikasikan bahwa najis yang dimaksud bukan sekadar kotoran material, melainkan mencakup dimensi spiritual yang dapat mengontaminasi kesucian jiwa.
Dalam tradisi fiqh, Imam As-Syafi'i (w. 204 H) dalam "Al-Umm" mengembangkan konsep ini lebih jauh dengan mengklasifikasikan najis dalam beberapa tingkatan. Beliau membangun argumentasi bahwa "rijsun" yang disebutkan dalam ayat tersebut menjadi dasar bagi pemahaman tentang najis yang bersifat hissi (material) dan ma'nawi (spiritual). Klasifikasi ini kemudian menjadi fondasi bagi pengembangan hukum-hukum thaharah dalam mazhab Syafi'i. Imam Al-Ghazali (w. 505 H), dalam masterpiece-nya "Ihya' Ulumuddin", membawa diskusi ini ke dimensi yang lebih mendalam. Beliau mengaitkan konsep "rijsun" dengan kesucian hati dan pembentukan akhlak. Menurut Al-Ghazali, najis yang disebutkan dalam Al-Maidah 90 merupakan representasi dari hal-hal yang dapat menghalangi qalbu dari mendapatkan ma'rifatullah. Perspektif ini memberikan dimensi tasawuf dalam pemahaman tentang najis dan kesucian. Dalam konteks metodologis, Imam As-Syatibi (w. 790 H) dalam "Al-Muwafaqat" menganalisis ayat ini dari perspektif maqashid syariah. Beliau menjelaskan bahwa pengharaman hal-hal yang disebut sebagai "rijsun" dalam ayat tersebut berkaitan erat dengan perlindungan terhadap lima aspek fundamental dalam syariat: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pendekatan ini memberikan framework komprehensif dalam memahami hikmah di balik konsep najis dalam Islam.
Ulama kontemporer seperti Wahbah Az-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" mengintegrasikan berbagai perspektif klasik ini dalam konteks modern. Beliau menjelaskan bahwa pemahaman tentang "rijsun" harus mencakup realitas kontemporer, di mana bentuk-bentuk najis dan kotoran moral mungkin telah berevolusi namun esensinya tetap sama sebagaimana yang diisyaratkan dalam Al-Quran. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam berbagai karyanya, menekankan pentingnya memahami konsep "rijsun" dalam kerangka yang lebih luas. Beliau menggarisbawahi bahwa pemahaman tentang najis dan kesucian dalam Islam tidak boleh terbatas pada aspek ritual semata, melainkan harus diimplementasikan dalam kehidupan sosial dan moral masyarakat modern.
Sintesis dari berbagai perspektif ulama ini menunjukkan bahwa konsep "rijsun" dalam Al-Maidah 90 merupakan fondasi multi-dimensi bagi pemahaman tentang najis dan kesucian dalam Islam. Ia tidak sekadar berbicara tentang aspek fikih ritual, melainkan memberikan framework komprehensif bagi pembentukan masyarakat yang bersih secara spiritual dan moral. Dalam konteks kontemporer, pemahaman ini menjadi semakin relevan ketika masyarakat global menghadapi berbagai tantangan moral dan spiritual. Konsep "rijsun min 'amali syaiton" memberikan panduan yang jelas tentang hal-hal yang harus dihindari demi menjaga kesucian individual dan kolektif. Berdasarkan elaborasi di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep "rijsun" dalam Al-Maidah 90 merupakan konsep multi-dimensi yang mencakup aspek material, spiritual, moral, dan sosial. Pemahaman komprehensif terhadap konsep ini, sebagaimana diuraikan oleh para ulama dari berbagai periode, memberikan landasan kokoh bagi pengembangan fiqh thaharah yang responsif terhadap tantangan zaman sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip fundamental syariat.
Sebuah Kritis, Narasi Latar Belakang Pemikiran - Hukum Mu'amalah, Dalam, Dimensi, Sosial & Nilai-Islam.
OI. Patologi Sosial dan Penyakit Hati: Analisis Konstruksi Syariah dalam Dimensi Mu'amalah.
a. Pendahuluan
Dalam diskursus Islamic Social Studies, interaksi sosial tidak dapat dipisahkan dari dimensi spiritual yang menjadi landasan konstruksi syariah. Para ulama klasik hingga kontemporer telah mengembangkan framework komprehensif tentang bagaimana "amradh al-qulub" (penyakit hati) berimplikasi terhadap patologi sosial.
Analisis Konseptual.
1. Perspektif Al-Ghazali.
Dalam "Ihya Ulumuddin", Imam Al-Ghazali memberikan analisis mendalam tentang penyakit hati dan dampak sosialnya:
"Ketahuilah bahwa hati yang sakit lebih berbahaya dari penyakit jasad. Sebab penyakit jasad hanya menghalangi kenikmatan dunia, sementara penyakit hati menghalangi kebahagiaan abadi dan merusak tatanan sosial."
Al-Ghazali mengklasifikasikan penyakit hati dalam beberapa kategori:
- Hasad (dengki) - Kibr (kesombongan)- Riya' (pamer) - Ghadab (marah) - Hubb ad-Dunya (cinta dunia berlebihan).
2. Analisis Ibn Qayyim.
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah dalam "Madarij As-Salikin" memperdalam analisis ini dengan menghubungkan penyakit hati dengan dinamika sosial: "Penyakit hati adalah virus yang menginfeksi tidak hanya individu tetapi juga masyarakat. Satu hati yang sakit dapat menularkan penyakitnya kepada ribuan hati lainnya melalui interaksi sosial."
3. Dimensi Sosiologis.
Imam Asy-Syatibi dalam "Al-Muwafaqat" mengaitkan penyakit hati dengan maqashid syariah: "Pemeliharaan hati dari penyakit adalah bagian integral dari hifdz ad-din (perlindungan agama) dan hifdz an-nafs (perlindungan jiwa), karena hati yang sakit merusak kedua aspek tersebut secara simultan."
Suatu - Manifestasi Sosial, Syari'ah.
1. Hasad (Dengki).
Syeikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam "Al-Fath Ar-Rabbani" menjelaskan: "Hasad adalah penyakit yang merusak struktur sosial dari dalam. Ia seperti api yang membakar kayu dari bagian dalamnya, tampak utuh dari luar namun hancur di dalam."
Manifestasi sosial hasad meliputi:Â - Kompetisi tidak sehat - Sabotase sosial- Konflik komunal - Disintegrasi masyarakat.
2. Kibr (Kesombongan).
Imam An-Nawawi dalam "Al-Adzkar" menganalisis: "Kesombongan adalah penghalang terbesar dalam membangun masyarakat yang sehat. Ia menciptakan hierarki palsu dan merusak prinsip kesetaraan yang diajarkan Islam."
3. Ghadab (Marah).
Ibn Miskawayh dalam "Tahdzib Al-Akhlaq" menjelaskan: "Kemarahan yang tidak terkendali adalah sumber utama kerusakan sosial. Ia mengaburkan akal sehat dan merusak ikatan persaudaraan."
 Perspektif Kontemporer.
1. Analisis Psiko-Sosial.
Dr. Malik Badri dalam "The Dilemma of Muslim Psychologists" menawarkan framework modern: "Penyakit hati dalam terminologi klasik memiliki korelasi kuat dengan gangguan psikologis modern. Namun, pendekatan Islam lebih komprehensif karena mengintegrasikan dimensi spiritual."
2. Pendekatan Terapeutik.
Syeikh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi mengusulkan: "Penyembuhan penyakit hati memerlukan pendekatan holistik yang mengintegrasikan: - Terapi spiritual - Intervensi sosial - Pembinaan karakter - Penguatan komunitas".
3. Solusi Struktural.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menekankan pentingnya: "Membangun sistem sosial yang mendukung kesehatan hati melalui: - Pendidikan karakter - Regulasi media - Penguatan institusi keluarga - Program pembinaan spiritual".
Implikasi Modern.
1. Media Sosial.
Dr. Tariq Ramadan menganalisis: "Media sosial telah menciptakan ruang baru bagi manifestasi penyakit hati. Hasad, kibr, dan ghadab kini memiliki platform global untuk penyebarannya."
2. Ekonomi. Prof. M. Umer Chapra menghubungkan dengan sistem ekonomi: "Sistem ekonomi yang tidak adil menjadi katalis bagi penyakit hati, menciptakan siklus negatif antara ketimpangan material dan kerusakan spiritual."
Solusi Integratif.
1. Pendidikan Holistik.
Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi mengusulkan: "Sistem pendidikan yang mengintegrasikan: - Pembinaan spiritual - Pengembangan karakter - Keterampilan sosial - Literasi digital".
2. Pemberdayaan Komunitas.
Dr. Seyyed Hossein Nasr menekankan: "Pentingnya membangun komunitas yang mendukung kesehatan spiritual melalui: - Program mentoring - Aktivitas kolektif - Pembinaan berkelanjutan".
Patologi sosial dan penyakit hati membentuk hubungan sirkular yang memerlukan pendekatan komprehensif dalam penanganannya. Konstruksi syariah menawarkan framework yang integratif, menggabungkan: - Pemahaman spiritual - Analisis sosial- Pendekatan praktis - Solusi struktural. Tantangan ke depan adalah mengembangkan metodologi yang dapat mengadaptasi wisdom tradisional untuk menjawab kompleksitas modern, sambil tetap mempertahankan esensi spiritual yang menjadi inti dari kesehatan sosial dan individual.
 Rekomendasi.
1. Pengembangan kurikulum integratif, 2. Penguatan institusi sosial, 3. Program pembinaan berkelanjutan, 4. Penelitian interdisipliner, 5. Pengembangan metode terapi modern berbasis spiritual. Pemahaman dan penanganan patologi sosial dalam konteks penyakit hati memerlukan komitmen berkelanjutan dari berbagai pihak, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah sambil mengadaptasi metode modern yang relevan.
II. "Memahami Komitmen Syariah: Refleksi atas "Aufu bil 'Uqud".
Allah swt berfirman :
y ayyuhalladzna man auf bil-'uqd, uillat lakum bahmatul-an'mi ill m yutl 'alaikum ghaira muillish-shaidi wa antum urum, innallha yakumu m yurd.
artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji! Dihalalkan bagimu hewan ternak, kecuali yang akan disebutkan kepadamu (keharamannya) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki (Surat, QS. Al-Maidah, Ayat 1).
A. Kategorisasi Ayat Dalam Klasifikasi Sosial Interaktif.
Di antara ayat-ayat Al-Quran yang menjadi fondasi kehidupan seorang Muslim, tersemat dengan indah perintah Allah dalam Surat Al-Maidah ayat pertama: "Aufu bil 'uqud" - penuhilah janji-janjimu. Frasa yang singkat namun sarat makna ini menjadi cermin betapa Islam sangat menjunjung tinggi nilai komitmen dan kesetiaan pada janji. Bayangkan sejenak kehidupan tanpa komitmen dan janji. Bagaimana mungkin terbangun kepercayaan dalam transaksi bisnis? Bagaimana bisa terjaga keharmonisan dalam pernikahan? Dan lebih fundamental lagi, bagaimana seseorang bisa membangun hubungan yang kokoh dengan Sang Pencipta? Di sinilah "Aufu bil 'uqud" hadir sebagai pedoman yang mencerahkan. Ketika kita menyelami maknanya lebih dalam, "Aufu bil 'uqud" tidak sekadar berbicara tentang pemenuhan kontrak dalam artian legal-formal. Ia adalah seruan moral yang menembus dimensi material menuju spiritual. Seorang pedagang yang menimbang dengan jujur, seorang suami yang setia pada ikrar pernikahannya, atau seorang Muslim yang teguh menunaikan shalatnya - semua itu adalah manifestasi dari prinsip "Aufu bil 'uqud".
Dalam konteks modern, prinsip ini menjadi semakin relevan. Di tengah kompleksitas transaksi keuangan syariah, kebutuhan akan kejujuran dan komitmen menjadi tak tergantikan. Sebuah akad murabahah, misalnya, tidak hanya tentang perhitungan margin dan angsuran, tetapi juga tentang amanah dan tanggung jawab moral. Begitu pula dalam ranah sosial, di mana kepercayaan menjadi modal utama dalam membangun relasi antarmanusia. Menariknya, Islam memandang pemenuhan janji bukan sekadar kewajiban sosial, melainkan bagian dari ibadah. Ketika seseorang memenuhi janjinya, ia tidak hanya menjaga hubungan baik dengan sesama, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah. Inilah mengapa "Aufu bil 'uqud" disebutkan dalam Al-Quran dalam konteks seruan kepada orang-orang yang beriman. Namun, implementasi "Aufu bil 'uqud" bukanlah tanpa tantangan. Di era yang serba cepat ini, godaan untuk mengambil jalan pintas atau mengabaikan komitmen seringkali muncul. Persaingan bisnis yang ketat, misalnya, bisa mendorong seseorang untuk ingkar janji demi keuntungan sesaat. Di sinilah keteguhan prinsip diuji. Pelajaran berharga dari "Aufu bil 'uqud" adalah bahwa kesuksesan sejati tidak diukur semata dari pencapaian material, melainkan dari konsistensi dalam memegang prinsip dan memenuhi janji. Seorang Muslim yang memahami hal ini akan menyadari bahwa setiap janji yang ia ucapkan adalah kesaksian di hadapan Allah, dan setiap komitmen yang ia pegang adalah bentuk ibadah. Pada akhirnya, "Aufu bil 'uqud" mengajarkan kita bahwa kehidupan yang bermakna dibangun di atas pondasi kepercayaan dan komitmen. Ia mengingatkan kita bahwa setiap janji yang kita ucapkan adalah amanah yang harus dijaga, dan setiap komitmen yang kita buat adalah cermin dari kualitas keimanan kita. Dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks ini, prinsip "Aufu bil 'uqud" tetap menjadi pelita yang menerangi jalan menuju kebaikan dan keberkahan.
III. "Rijsun Min 'amali Syaiton": Analisis Metodologis Klasifikasi Najis dan Thaharah dalam Perspektif Fiqh - Suatu Pendekatan Qiyas.
a. Ruang Lingkup Dan Latar Belakang Masalah.
Dalam syariat Islam, konsep kesucian (thaharah) dan najis memiliki kedudukan fundamental dalam pelaksanaan ibadah, khususnya shalat. Pemahaman mendalam tentang klasifikasi najis dan hal-hal yang membatalkan shalat menjadi kebutuhan esensial bagi setiap Muslim. Kajian ini akan mengeksplorasi pendekatan metodologis terhadap qiyas dalam kaidah ushul fiqh terkait klasifikasi najis dan kesucian berwudhu.
b. Klasifikasi Najis dalam Perspektif Fiqh.
1. Kategorisasi Najis.
Menurut Imam Al-Nawawi dalam kitab "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab", najis terbagi menjadi tiga kategori utama:
1. Najis Mughallazhah (najis berat)
  - Contoh: anjing dan babi
  - Cara mensucikan: tujuh kali basuhan, salah satunya dengan tanah
2. Najis Mukhaffafah (najis ringan)
  - Contoh: air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain ASI
  - Cara mensucikan: cukup dengan memercikkan air
3. Najis Mutawassithah (najis sedang)
  - Mencakup najis-najis selain kedua kategori di atas
  - Cara mensucikan: menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya
2. Implementasi Qiyas dalam Klasifikasi Najis.
Imam Al-Syafi'i dalam "Al-Risalah" menekankan pentingnya qiyas dalam menentukan status najis pada perkara-perkara kontemporer. Beliau menggariskan empat rukun qiyas: 1. Al-Ashl (kasus asal yang ada nash-nya), 2. Al-Far' (kasus baru yang dicari hukumnya), 3. Hukm al-Ashl (hukum kasus asal), 4. 'Illat (alasan hukum yang sama antara kasus asal dan baru).
c. Hubungan Najis dengan Pembatal Shalat.
1. Perspektif Ulama Klasik.
Imam Al-Ghazali dalam "Ihya' Ulumuddin" menjelaskan bahwa kesucian merupakan syarat sahnya shalat. Beliau mengklasifikasikan pembatal shalat terkait najis menjadi dua kategori:
a. Pembatal langsung:
  - Terkena najis yang tidak dima'fu
  - Hilangnya kesucian (hadats)
b. Pembatal tidak langsung:
  - Ragu-ragu tentang kesucian
  - Keyakinan adanya najis
2. Analisis Metodologis
Imam Ibn Qudamah dalam "Al-Mughni" menyajikan pendekatan sistematis dalam menganalisis hubungan antara najis dan pembatal shalat: 1. Aspek Yaqin (kepastian), 2. Aspek Zhann (dugaan kuat), 3. Aspek Syak (keraguan).
d. Kesucian Berwudhu: Pendekatan Metodologis.
1. Hierarki Kesucian.
Menurut Imam Al-Qarafi dalam "Al-Furuq", terdapat hierarki dalam konsep kesucian:
1. Thaharah Kubra (bersuci dari hadats besar)
2. Thaharah Sughra (bersuci dari hadats kecil)
3. Thaharah Hukmiyyah (bersuci dari najis)
2. Aplikasi Qiyas dalam Masalah Kontemporer.
Syeikh Wahbah Al-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" mengembangkan metode penerapan qiyas untuk masalah-masalah modern terkait thaharah: 1. Identifikasi 'illat hukum, 2. Verifikasi kesesuaian, 3. Analisis dampak, 4. Pertimbangan maslahah. Pemahaman metodologis terhadap klasifikasi najis dan konsep kesucian dalam Islam memerlukan pendekatan komprehensif yang memadukan antara nash, qiyas, dan pertimbangan maslahah. Pendekatan ini memungkinkan adaptasi hukum Islam terhadap berbagai konteks dan situasi kontemporer sambil tetap menjaga prinsip-prinsip dasar syariat.
B. Batalnya Shalat.
Di dalam, menjelaskan, tentang batalnya shalat terkait dengan kondisi hilangnya akal dalam konteks fikih Islam:
Dianatara lain, diketahui sebagai berikut, illat, atau landasan argumentasi dalam berdasarkan dalil baik aqly, maupun naqly, atau nash (teks) yakni, perkara sebagai berikut, :
1. Hilangnya akal (termasuk karena khamar/minuman keras) membatalkan shalat karena:Â - Hilangnya kesadaran dan kemampuan niat - Tidak mampu memahami dan melaksanakan rukun shalat - Tidak bisa membedakan hal yang benar dan salah.
2. Dalam konteks baligh (kedewasaan):Â - Anak yang belum baligh belum dibebankan kewajiban shalat,- Berbeda dengan orang yang kehilangan akal karena khamar yang awalnya sudah mukallaf (terkena beban hukum), - Hilangnya akal karena khamar termasuk perbuatan yang diharamkan.
3. Perbedaan utamanya:Â - Anak yang belum baligh: belum ada taklif (pembebanan hukum), - Pemabuk: sudah ada taklif tapi sengaja menghilangkan akalnya.
4. Pendapat ulama:Â - Jumhur ulama: Shalat dalam kondisi mabuk tidak sah, - Berdasarkan QS. An-Nisa: 43 tentang larangan shalat dalam keadaan mabuk, - Wajib mengqadha shalat yang ditinggalkan saat mabuk.
5. Hikmahnya:Â - Menjaga kesucian dan kekhusyukan ibadah, - Mencegah perbuatan yang merusak akal,- Mendorong kesadaran dan tanggungjawab dalam beribadah. Jadi meski sama-sama terkait hilangnya akal, konteks anak yang belum baligh berbeda dengan hilangnya akal karena khamar dari segi hukum dan konsekuensinya.
IV.Â
Najis Spiritual dan Batalnya Shalat: Sebuah Telaah atas Konsep "Rijsun min 'Amali Syaiton".
Dalam khazanah fiqih Islam, konsep kesucian (thaharah) menempati posisi fundamental sebagai syarat sahnya ibadah, khususnya shalat. Di antara diskursus yang menarik adalah bagaimana memahami najis besar dalam konteks hilangnya akal, yang dalam Al-Quran diidentifikasi sebagai "rijsun min 'amali syaiton" (perbuatan keji dari amalan setan).
Ketika kita berbicara tentang najis, umumnya pemahaman kita tertuju pada najis yang bersifat material ('ainiyah). Namun, Islam memberikan perspektif yang lebih dalam tentang najis spiritual (ma'nawiyah) yang tak kalah pentingnya dalam konteks ibadah. Hilangnya akal - baik disengaja maupun tidak - merupakan bentuk najis spiritual yang dapat membatalkan shalat.
Mengapa hilangnya akal dikategorikan sebagai najis besar? Al-Quran dalam Surah Al-Maidah ayat 90 memberikan fondasi konseptual yang kuat. Ketika Allah SWT menyebut khamr (yang menyebabkan hilangnya akal) sebagai "rijsun" dan menghubungkannya dengan "min 'amali syaiton", ini menunjukkan bahwa ada dimensi spiritual yang terkontaminasi. Hilangnya akal bukan sekadar ketidakmampuan berpikir secara temporer, melainkan suatu kondisi yang menodai kesucian spiritual manusia.
Dalam konteks ibadah shalat, kesucian tidak hanya dimaknai dalam dimensi fisik seperti wudhu atau bebas dari najis pada pakaian dan tempat shalat. Ada dimensi spiritual yang harus dijaga, yaitu kesucian akal sebagai instrumen utama dalam memahami dan menghayati ibadah. Ketika akal hilang, maka esensi shalat sebagai medium komunikasi spiritual dengan Allah SWT menjadi terputus.
Para ulama menjelaskan bahwa batalnya shalat karena hilangnya akal berkaitan erat dengan konsep "rijsun min 'amali syaiton". Argumennya:
1. Shalat memerlukan kesadaran penuh untuk mencapai khusyu'
2. Hilangnya akal menempatkan seseorang dalam kondisi yang berlawanan dengan tujuan shalat
3. Kondisi ini merupakan manifestasi dari "rijsun" yang disebutkan dalam Al-Quran
4. Sebagai perbuatan setan, ia bertentangan dengan kesucian yang menjadi prasyarat shalat
Lebih jauh, hilangnya akal - terutama yang disengaja seperti melalui konsumsi khamr - tidak hanya membatalkan shalat yang sedang dikerjakan, tetapi juga mencegah sahnya shalat selama kondisi tersebut berlangsung. Ini menunjukkan betapa seriusnya Islam memandang kesucian akal dalam konteks ibadah.
Implikasi dari pemahaman ini sangat penting dalam konteks contemporary:
- Menjaga akal menjadi kewajiban yang tak terpisahkan dari kewajiban shalat
- Segala bentuk aktivitas yang dapat menghilangkan akal harus dihindari
- Kesadaran spiritual harus dijaga sebagai bagian dari kesucian ibadah
Konsep "rijsun min 'amali syaiton" dalam konteks hilangnya akal dan batalnya shalat memberikan pemahaman komprehensif tentang bagaimana Islam memandang kesucian tidak hanya dalam dimensi material, tetapi juga spiritual. Ia menjadi pengingat bahwa ibadah dalam Islam menuntut integritas total - fisik, mental, dan spiritual - sebagai manifestasi pengabdian kepada Allah SWT. Pada akhirnya, memahami najis besar dalam konteks hilangnya akal sebagai "rijsun min 'amali syaiton" membantu kita menyadari bahwa kesucian dalam ibadah bukan sekadar ritual pembersihan fisik, melainkan mencakup pemeliharaan kesucian spiritual yang komprehensif, di mana akal yang sehat menjadi komponen vital dalam mencapai kesempurnaan ibadah.
V.Â
Najis "Ghairu Jasadi": Perspektif Qiyas dan Pandangan Ulama dalam Konteks Kesucian Ibadah.
Dalam khazanah fiqih Islam, diskursus tentang najis telah mengalami perkembangan yang signifikan sejak masa awal Islam hingga era kontemporer. Para ulama, dengan kedalaman pemahaman mereka terhadap nash dan metodologi istinbath hukum, telah memberikan kontribusi besar dalam memahami konsep najis yang melampaui dimensi fisik semata. Imam Al-Ghazali, dalam kitabnya "Ihya Ulumuddin", memberikan perspektif mendalam tentang konsep najis ma'nawi atau "ghairu jasadi". Beliau menegaskan bahwa kesucian spiritual memiliki kedudukan yang tak kalah penting dibanding kesucian fisik. Dalam pandangannya, kondisi hati dan akal yang tercemar dapat menjadi penghalang yang lebih serius dalam mencapai kesempurnaan ibadah dibanding najis fisik yang kasat mata. "Ketahuilah bahwa najis hati lebih berbahaya dari najis yang nampak di pakaian. Sebab najis pakaian hanya menghalangi sahnya shalat, sementara najis hati menghalangi kedekatan dengan Allah," demikian ungkap Al-Ghazali.
Ibn Qayyim Al-Jauziyyah, dalam "Madarijus Salikin", memperkuat perspektif ini dengan menjelaskan bahwa konsep "rijsun" yang disebutkan dalam Al-Quran memiliki makna yang lebih luas dari sekadar kotoran fisik. Beliau menguraikan bagaimana perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai "min 'amali syaiton" membawa najis spiritual yang dapat mengontaminasi kesucian jiwa dan akal. Dalam konteks qiyas, Imam Asy-Syafi'i telah meletakkan dasar-dasar metodologis yang kokoh untuk memahami perluasan makna najis. Melalui pendekatan 'illat (alasan hukum) dan persamaan sifat, beliau membuka jalan bagi pemahaman yang lebih komprehensif tentang najis "ghairu jasadi". Imam An-Nawawi, dalam "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab", memberikan analisis detail tentang hal-hal yang membatalkan shalat, termasuk hilangnya akal yang dikategorikan sebagai najis ma'nawi. Beliau menjelaskan bahwa kehadiran akal merupakan syarat fundamental dalam ibadah, karena tanpanya, maksud dan tujuan ibadah tidak dapat tercapai.
"Sesungguhnya shalat adalah komunikasi dengan Allah, dan hal ini tidak mungkin tercapai tanpa kehadiran akal yang sehat," demikian dijelaskan dalam Al-Majmu'. Dalam perspektif kontemporer, Syeikh Wahbah Az-Zuhaili dalam "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu" mengembangkan pemahaman ini lebih jauh dengan mengaitkannya dengan realitas modern. Beliau menjelaskan bagaimana zat-zat yang mempengaruhi kesadaran, termasuk narkotika dan zat-zat psikoaktif modern, dapat dikategorikan sebagai pembawa najis ma'nawi yang membatalkan ibadah. Di sisi lain, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi memberikan perspektif maqashid syariah dalam memahami najis "ghairu jasadi". Beliau menekankan bahwa pemeliharaan akal (hifdz al-'aql) sebagai salah satu tujuan utama syariah berkaitan erat dengan konsep kesucian dalam ibadah. Para ulama kontemporer seperti Muhammad Az-Zuhaili juga memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan pemahaman tentang najis ma'nawi dalam konteks modern. Mereka menjelaskan bagaimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuka pemahaman baru tentang zat-zat dan kondisi yang dapat mengontaminasi kesucian spiritual.
Konvergensi pandangan ulama klasik dan kontemporer ini menunjukkan bahwa konsep najis "ghairu jasadi" memiliki akar yang kuat dalam tradisi fiqih Islam. Melalui metodologi qiyas dan pemahaman mendalam terhadap maqashid syariah, para ulama telah membangun framework yang komprehensif untuk memahami dan menerapkan konsep najis dalam berbagai konteks. Implikasi dari pemahaman ini sangat signifikan dalam kehidupan Muslim kontemporer. Pertama, ia menegaskan pentingnya menjaga kesucian holistik - baik jasadi maupun ma'nawi. Kedua, ia memberikan panduan praktis dalam menghadapi tantangan modern yang dapat mengancam kesucian spiritual. Ketiga, ia memperkaya khazanah fiqih dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungan antara kesucian, ibadah, dan kehidupan modern. Kesimpulannya, kategorisasi najis melalui pendekatan qiyas komparatif, yang diperkuat dengan pandangan para ulama dari berbagai masa, memberikan pemahaman yang komprehensif tentang konsep najis dalam Islam. Pemahaman ini tidak hanya relevan untuk konteks ibadah formal, tetapi juga memberikan framework penting dalam menjaga kesucian spiritual di era modern.
VI. Najis "Ghairu Jasadi" dalam Mu'amalah: Perspektif Syariah dan Implementasi Sosial.
Dalam khazanah pemikiran Islam, konsep kesucian tidak hanya terbatas pada dimensi ritual ibadah semata, tetapi menjangkau seluruh spektrum kehidupan sosial manusia. Para ulama, dengan kedalaman pemahaman mereka terhadap maqashid syariah, telah mengembangkan framework komprehensif tentang bagaimana konsep najis "ghairu jasadi" berimplikasi dalam ranah mu'amalah dan kehidupan sosial.
Imam Al-Ghazali, dalam magnum opus-nya "Ihya Ulumuddin", memberikan perspektif mendalam tentang bagaimana kesucian spiritual harus tercermin dalam interaksi sosial. Beliau menulis: "Ketahuilah bahwa kebersihan harta dan mu'amalah lebih sulit dijaga daripada kebersihan badan dalam shalat. Sebab, najis yang nampak dapat dibersihkan dengan air, sementara najis mu'amalah memerlukan pemahaman mendalam tentang halal dan haram, serta ketelitian dalam menjalankannya."
Senada dengan Al-Ghazali, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan makna lebih luas dari "rijsun" dalam konteks sosial. Beliau menguraikan bagaimana transaksi ekonomi yang mengandung unsur riba, gharar, atau eksploitasi termasuk dalam kategori "rijsun min 'amali syaiton" yang harus dihindari dalam kehidupan bermasyarakat. Ibn Taimiyyah, dalam "Al-Hisbah fil Islam", memberikan framework praktis tentang pengawasan pasar dan aktivitas ekonomi. Beliau menekankan bahwa peran muhtasib (pengawas pasar) tidak hanya menjaga aspek fisik perdagangan, tetapi juga dimensi moral dan spiritual transaksi:
"Pengawasan pasar bukan sekadar mengatur timbangan dan kualitas barang, tetapi juga menjaga agar transaksi terbebas dari unsur yang dapat mengotori kesucian mu'amalah, seperti penipuan, sumpah palsu, dan praktik ribawi." Dalam konteks modern, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi memperluas pemahaman ini ke ranah ekonomi kontemporer. Dalam "Fiqh Az-Zakat", beliau menjelaskan bagaimana zakat tidak hanya berfungsi sebagai pembersih harta, tetapi juga sebagai instrumen pembersihan sosial-ekonomi masyarakat. Beliau menulis: "Zakat adalah sistem yang Allah syariatkan untuk membersihkan tidak hanya harta, tetapi juga struktur sosial-ekonomi masyarakat dari berbagai bentuk najis ma'nawi seperti ketimpangan, ketidakadilan, dan eksploitasi."
Dr. Muhammad Syafi'i Antonio, dalam berbagai karyanya tentang ekonomi syariah, mengembangkan konsep ini lebih jauh dengan mengaitkannya dengan sistem keuangan modern. Beliau menekankan pentingnya menjaga kesucian transaksi dalam era digital: "Kemajuan teknologi finansial harus diimbangi dengan pemahaman mendalam tentang kesucian transaksi. Bukan hanya menghindari riba dalam bentuk konvensional, tetapi juga berbagai bentuk najis ma'nawi dalam transaksi digital."
Syeikh Wahbah Az-Zuhaili, dalam "Al-Mu'amalat Al-Maliyah Al-Mu'ashirah", memberikan analisis mendalam tentang bagaimana prinsip kesucian diterapkan dalam berbagai bentuk transaksi modern. Beliau menegaskan: "Kesucian dalam mu'amalah kontemporer tidak hanya berkaitan dengan halal-haramnya akad, tetapi juga dengan dampak sosial dan moral dari transaksi tersebut." Dalam konteks sosial yang lebih luas, Prof. Dr. M. Umer Chapra mengaitkan konsep ini dengan pembangunan ekonomi Islam. Dalam "Islam and Economic Development", beliau menjelaskan bagaimana pembangunan ekonomi harus sejalan dengan prinsip kesucian dalam Islam: "Pembangunan ekonomi dalam Islam tidak hanya tentang pertumbuhan material, tetapi juga tentang menjaga kesucian moral dan spiritual masyarakat. Setiap kebijakan ekonomi harus dievaluasi dampaknya terhadap kesucian sosial." Implementasi konsep ini dalam kehidupan modern memerlukan pemahaman yang mendalam dan pendekatan yang holistik. Para ulama kontemporer menekankan beberapa aspek penting:
1. Kesucian Informasi
Dr. Muhammad Imarah menekankan pentingnya menjaga kesucian informasi di era digital:
"Media sosial dan teknologi informasi harus digunakan dengan cara yang tidak mengotori kesucian moral dan intelektual masyarakat."
2. Kesucian Lingkungan
Syeikh Ali Jumu'ah menghubungkan konsep najis dengan pelestarian lingkungan:
"Pencemaran lingkungan adalah bentuk najis modern yang harus ditangani dengan serius, karena berimplikasi pada kesucian hidup secara keseluruhan."
3. Kesucian Institusional
Dr. Said Ramadan Al-Buti menekankan pentingnya menjaga kesucian institusi:
"Lembaga-lembaga sosial dan ekonomi harus dibangun di atas fondasi kesucian, bukan hanya dalam struktur formal tetapi juga dalam praktik sehari-hari."
Kesimpulannya, implementasi konsep najis "ghairu jasadi" dalam konteks mu'amalah dan kehidupan sosial merupakan tantangan sekaligus peluang untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Pemahaman komprehensif terhadap pemikiran para ulama, baik klasik maupun kontemporer, memberikan panduan berharga dalam menghadapi kompleksitas kehidupan modern sambil tetap menjaga kesucian individual dan kolektif. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengembangkan mekanisme praktis untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip ini dalam berbagai aspek kehidupan sosial, sambil tetap mempertahankan fleksibilitas yang diperlukan untuk menghadapi perubahan zaman. Ini memerlukan dialog berkelanjutan antara tradisi dan modernitas, serta komitmen bersama untuk menjaga kesucian dalam segala dimensi kehidupan.
Referensi:
    1. Al-Qurthubi, "Al-Jami' li Ahkam Al-Quran"
    2. At-Tabari, "Jami' Al-Bayan"
    3. As-Syafi'i, "Al-Umm"
    4. Al-Ghazali, "Ihya' Ulumuddin"
    5. As-Syatibi, "Al-Muwafaqat"
    6. Az-Zuhaili, "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu"
    7. Al-Qaradhawi, "Fiqh At-Taharah"
- Al-Nawawi, Muhyiddin. "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab"
- Al-Syafi'i, Muhammad bin Idris. "Al-Risalah"
- Al-Ghazali, Abu Hamid. "Ihya' Ulumuddin"
- Ibn Qudamah, Muwaffaquddin. "Al-Mughni"
- Al-Qarafi, Syihabuddin. "Al-Furuq"
- Al-Zuhaili, Wahbah. "Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu"
- Ar-Razi, "Mafatih Al-Ghaib"
- Ibn Kathir, "Tafsir Al-Quran Al-'Adhim"
- Az-Zamakhsyari, "Al-Kasysyaf"