Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Unsign: John Cage's, 4,33, dan Interprestasi Inovasi Musik - Frekuensi Harmonis Bunyi

20 Oktober 2024   15:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   15:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Kebenaran Matematis: Hubungan matematis antara frekuensi dalam rangkaian harmonik, seperti yang dieksplorasi oleh Pythagoras, bisa dianggap sebagai manifestasi Verum dalam musik [5]. 2. Kebenaran Perseptual: Bagaimana otak manusia mempersepsikan dan menginterpretasikan frekuensi bunyi sebagai harmonis atau disonan bisa dianggap sebagai bentuk "kebenaran" subjektif [6]. 3. Kebenaran Kultural: Apa yang dianggap sebagai bunyi harmonis bervariasi antar budaya, menunjukkan bahwa Verum dalam musik juga memiliki dimensi kultural [7].

Sistem Penandaan Semiotis Frekuensi Bunyi Harmonis.

Semiotika, studi tentang tanda dan pemaknaannya, dapat diterapkan pada analisis frekuensi bunyi harmonis. Dalam konteks ini, kita bisa mempertimbangkan beberapa aspek:

1. Signifier dan Signified: Dalam semiotika musik, frekuensi bunyi bisa dianggap sebagai signifier, sementara emosi atau konsep yang dibangkitkannya adalah signified [8]. 2. Sintaksis Musikal: Cara frekuensi bunyi diorganisir dalam skala dan chord membentuk semacam "tata bahasa" musikal, yang bisa dianalisis secara semiotis [9]. 3. Paradigma dan Sintagma: Pilihan nada dalam sebuah skala merepresentasikan paradigma, sementara urutan nada dalam melodi membentuk sintagma dalam "bahasa" musik [10].

Integrasi Unsign, Verum, dan Semiotika Bunyi.

Menggabungkan ketiga konsep ini membuka beberapa perspektif menarik:

1. Unsign sebagai Verum: Ketiadaan tanda (Unsign) dalam musik, seperti keheningan, bisa dianggap sebagai bentuk tertinggi dari Verum, mengungkapkan kebenaran yang melampaui representasi [11]. 2. Harmoni sebagai Negosiasi Tanda: Sistem penandaan semiotis dalam frekuensi bunyi harmonis bisa dilihat sebagai negosiasi terus-menerus antara tanda (sign) dan bukan-tanda (unsign), menciptakan tegangan dinamis yang mengarah pada pengalaman estetis [12]. 3. Verum melalui Kompleksitas: Kombinasi frekuensi yang kompleks dalam bunyi harmonis bisa dianggap sebagai upaya untuk mencapai Verum melalui kekayaan tanda, paradoksnya mendekati konsep Unsign dalam kompleksitasnya [13]. Eksplorasi Unsign, Verum, dan sistem penandaan semiotis frekuensi bunyi harmonis membuka jendela baru dalam memahami musik dan bunyi. Dari keheningan yang bermakna hingga kompleksitas harmoni.

Referensi.

[1] Pritchett, J. (1996). The Music of John Cage. Cambridge University Press.
[2] Kostelanetz, R. (2003). Conversing with John Cage. Routledge.
[3] Gann, K. (2010). No Such Thing as Silence: John Cage's 4'33". Yale University Press.
[4] Cage, J. (1961). Silence: Lectures and Writings. Wesleyan University Press.
[5] LaBelle, B. (2015). Background Noise: Perspectives on Sound Art. Bloomsbury Academic.
[6] Larson, K. (2012). Where the Heart Beats: John Cage, Zen Buddhism, and the Inner Life of Artists. Penguin Press.
[7] Attali, J. (1985). Noise: The Political Economy of Music. University of Minnesota Press.
[8] Katz, M. (2010). Capturing Sound: How Technology Has Changed Music. University of California Press.
[9] Perloff, M., & Junkerman, C. (Eds.). (1994). John Cage: Composed in America. University of Chicago Press.
[10] Goehr, L. (2007). The Imaginary Museum of Musical Works: An Essay in the Philosophy of Music. Oxford University Press.
[11] Cox, C., & Warner, D. (Eds.). (2004). Audio Culture: Readings in Modern Music. Continuum.
[12] Levitin, D. J. (2006). This Is Your Brain on Music: The Science of a Human Obsession. Dutton.
[13] Collins, N., & d'Escrivn, J. (Eds.). (2017). The Cambridge Companion to Electronic Music. Cambridge University Press.
[14] Kim-Cohen, S. (2009). In the Blink of an Ear: Toward a Non-Cochlear Sonic Art. Continuum.
[15] Oliveros, P. (2005). Deep Listening: A Composer's Sound Practice. iUniverse.
[16] Schafer, R. M. (1977). The Tuning of the World. Knopf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun