1. Kebenaran Matematis: Hubungan matematis antara frekuensi dalam rangkaian harmonik, seperti yang dieksplorasi oleh Pythagoras, bisa dianggap sebagai manifestasi Verum dalam musik [5]. 2. Kebenaran Perseptual:Â Bagaimana otak manusia mempersepsikan dan menginterpretasikan frekuensi bunyi sebagai harmonis atau disonan bisa dianggap sebagai bentuk "kebenaran" subjektif [6]. 3. Kebenaran Kultural:Â Apa yang dianggap sebagai bunyi harmonis bervariasi antar budaya, menunjukkan bahwa Verum dalam musik juga memiliki dimensi kultural [7].
Sistem Penandaan Semiotis Frekuensi Bunyi Harmonis.
Semiotika, studi tentang tanda dan pemaknaannya, dapat diterapkan pada analisis frekuensi bunyi harmonis. Dalam konteks ini, kita bisa mempertimbangkan beberapa aspek:
1. Signifier dan Signified: Dalam semiotika musik, frekuensi bunyi bisa dianggap sebagai signifier, sementara emosi atau konsep yang dibangkitkannya adalah signified [8]. 2. Sintaksis Musikal: Cara frekuensi bunyi diorganisir dalam skala dan chord membentuk semacam "tata bahasa" musikal, yang bisa dianalisis secara semiotis [9]. 3. Paradigma dan Sintagma:Â Pilihan nada dalam sebuah skala merepresentasikan paradigma, sementara urutan nada dalam melodi membentuk sintagma dalam "bahasa" musik [10].
Integrasi Unsign, Verum, dan Semiotika Bunyi.
Menggabungkan ketiga konsep ini membuka beberapa perspektif menarik:
1. Unsign sebagai Verum:Â Ketiadaan tanda (Unsign) dalam musik, seperti keheningan, bisa dianggap sebagai bentuk tertinggi dari Verum, mengungkapkan kebenaran yang melampaui representasi [11]. 2. Harmoni sebagai Negosiasi Tanda:Â Sistem penandaan semiotis dalam frekuensi bunyi harmonis bisa dilihat sebagai negosiasi terus-menerus antara tanda (sign) dan bukan-tanda (unsign), menciptakan tegangan dinamis yang mengarah pada pengalaman estetis [12]. 3. Verum melalui Kompleksitas:Â Kombinasi frekuensi yang kompleks dalam bunyi harmonis bisa dianggap sebagai upaya untuk mencapai Verum melalui kekayaan tanda, paradoksnya mendekati konsep Unsign dalam kompleksitasnya [13]. Eksplorasi Unsign, Verum, dan sistem penandaan semiotis frekuensi bunyi harmonis membuka jendela baru dalam memahami musik dan bunyi. Dari keheningan yang bermakna hingga kompleksitas harmoni.
Referensi.
[1] Pritchett, J. (1996). The Music of John Cage. Cambridge University Press.
[2] Kostelanetz, R. (2003). Conversing with John Cage. Routledge.
[3] Gann, K. (2010). No Such Thing as Silence: John Cage's 4'33". Yale University Press.
[4] Cage, J. (1961). Silence: Lectures and Writings. Wesleyan University Press.
[5] LaBelle, B. (2015). Background Noise: Perspectives on Sound Art. Bloomsbury Academic.
[6] Larson, K. (2012). Where the Heart Beats: John Cage, Zen Buddhism, and the Inner Life of Artists. Penguin Press.
[7] Attali, J. (1985). Noise: The Political Economy of Music. University of Minnesota Press.
[8] Katz, M. (2010). Capturing Sound: How Technology Has Changed Music. University of California Press.
[9] Perloff, M., & Junkerman, C. (Eds.). (1994). John Cage: Composed in America. University of Chicago Press.
[10] Goehr, L. (2007). The Imaginary Museum of Musical Works: An Essay in the Philosophy of Music. Oxford University Press.
[11] Cox, C., & Warner, D. (Eds.). (2004). Audio Culture: Readings in Modern Music. Continuum.
[12] Levitin, D. J. (2006). This Is Your Brain on Music: The Science of a Human Obsession. Dutton.
[13] Collins, N., & d'Escrivn, J. (Eds.). (2017). The Cambridge Companion to Electronic Music. Cambridge University Press.
[14] Kim-Cohen, S. (2009). In the Blink of an Ear: Toward a Non-Cochlear Sonic Art. Continuum.
[15] Oliveros, P. (2005). Deep Listening: A Composer's Sound Practice. iUniverse.
[16] Schafer, R. M. (1977). The Tuning of the World. Knopf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H