Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Unsign: John Cage's, 4,33, dan Interprestasi Inovasi Musik - Frekuensi Harmonis Bunyi

20 Oktober 2024   15:00 Diperbarui: 20 Oktober 2024   15:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Chicago reader -John Cage's - treasures are hiding in plain sight

John Cage: Mandeknya Inovasi Musik Dalam Logika Bermusik; Kebisuan Bunyi, Dalam 4'33" - Suatu Titik Tolak Menuju Interpretasi Musik Dalam Kualitas Industri, Seni Dan Pengetahuan.

Chicago reader - John Cage's - treasure are hiding in plain sight.

Jhon Cage's : Silent Piece(S) : The Compotition Of 4'33
Jhon Cage's : Silent Piece(S) : The Compotition Of 4'33" - by. rosewhitemusic.com

rosewhitemusic.com Jhon Cage's : Silent Piece(S) : The Compotition Of 4'33"

John Cage, komponis avant-garde Amerika, menggemparkan dunia musik pada tahun 1952 dengan karyanya yang kontroversial, 4'33". Komposisi ini, yang terdiri dari tiga gerakan tanpa nada yang dimainkan, menantang definisi konvensional tentang musik dan memicu perdebatan yang berkelanjutan tentang sifat suara, keheningan, dan makna dalam musik. Esai ini akan mengeksplorasi bagaimana 4'33" Cage bukan hanya menandai titik balik dalam inovasi musik, tetapi juga menjadi titik tolak untuk interpretasi baru tentang musik dalam konteks industri, seni, dan pengetahuan.

Mandeknya Inovasi Musik dalam Logika Bermusik

Paradoksnya, 4'33" Cage dapat dilihat sebagai puncak sekaligus titik mandek dari inovasi musik dalam kerangka logika bermusik tradisional. Beberapa argumen mendukung pandangan ini: 1. Batas Ekstrem: Dengan menghilangkan semua bunyi yang disengaja, Cage telah mendorong konsep musik ke batas ekstremnya. Apa yang tersisa untuk diinovasikan dalam paradigma ini? [1]. 2. Dekonstruksi Total: 4'33" secara efektif mendekonstruksi semua elemen musik konvensional - melodi, harmoni, ritme. Ini menandai titik di mana dekonstruksi lebih lanjut menjadi tidak mungkin dalam kerangka yang ada [2]. 3. Krisis Definisi: Karya ini memicu krisis dalam mendefinisikan apa itu musik, menantang asumsi dasar tentang sifat dan fungsi musik [3].

Kebisuan Bunyi dalam 4'33".

Keheningan dalam 4'33" bukan sekadar absennya bunyi, melainkan sebuah pernyataan filosofis yang kuat: 1. Bunyi Ambient: Cage menekankan bahwa tidak ada keheningan absolut. 4'33" mengalihkan perhatian pada bunyi ambient yang biasanya diabaikan [4]. 2. Peran Pendengar: Karya ini mengubah peran pendengar dari pasif menjadi aktif, memaksa mereka untuk merefleksikan pengalaman mendengar mereka sendiri [5]. 3. Zen dan Kekosongan: Pengaruh filosofi Zen pada Cage terlihat dalam penekanannya pada kekosongan sebagai sumber kreativitas [6].

Titik Tolak Menuju Interpretasi Baru.

4'33" menjadi katalis untuk reinterpretasi musik dalam berbagai konteks:

1. Industri Musik, dalam titik tolak ini, adalah tantangan terhadap Komodifikasi: 4'33" menantang gagasan musik sebagai produk yang dapat dijual [7]. Apalagi, industri terdefinisi sebagai, Hak Cipta: Karya ini memicu perdebatan tentang apa yang dapat dihak ciptakan dalam musik [8]. Kemudian, 2. Seni: dalam lintas, dari lintas Disiplin: 4'33" membuka pintu untuk kolaborasi yang lebih luas antara musik dan bentuk seni lainnya [9]. Yang merupakan segmentasi, dari konseptualisme dalam Musik: Karya ini memperkuat gagasan bahwa konsep di balik sebuah karya bisa sama pentingnya dengan karya itu sendiri [10]. 3. Pengetahuan, dalam segi ini, adalah epistemologi Suara: 4'33" mendorong penyelidikan filosofis tentang sifat suara dan persepsi [11]. Yang dimaksudkan, sebagai, interdisiplinaritas: Karya ini menginspirasi penelitian lintas disiplin yang menggabungkan musik dengan fisika, psikologi, dan neurosains [12].

Implikasi Kontemporer.

Warisan 4'33" terus beresonansi dalam musik dan budaya kontemporer: 1. Musik Generatif: Konsep Cage tentang indeterminasi telah mempengaruhi perkembangan musik generatif dan algoritma [13]. 2. Sound Art: 4'33" telah membuka jalan bagi perkembangan sound art sebagai bentuk seni yang berbeda [14]. 3. Mindfulness dan Musik: Penekanan Cage pada kesadaran terhadap suara ambient berhubungan dengan praktik mindfulness kontemporer [15]. 4. Kritik terhadap Noise Pollution: Karya Cage telah mempengaruhi diskusi tentang ekologi akustik dan polusi suara [16]. John Cage's 4'33" memang menandai semacam titik mandek dalam inovasi musik konvensional, tetapi justru kebuntuan ini yang membuka jalan bagi eksplorasi baru yang radikal. Alih-alih mengakhiri inovasi, 4'33" memperluas cakrawala apa yang mungkin dalam musik dan seni suara.

Karya ini menantang kita untuk melampaui dikotomi tradisional antara musik dan kebisingan, antara seni dan kehidupan sehari-hari. Dalam era digital yang dipenuhi dengan stimulasi konstan, 4'33" tetap relevan, mengingatkan kita akan kekuatan transformatif dari keheningan dan perhatian yang terfokus.

Dengan demikian, 4'33" Cage bukan hanya sebuah komposisi musikal, tetapi juga sebuah pernyataan filosofis yang terus menginspirasi reinterpretasi musik dalam konteks yang lebih luas dari industri kreatif, praktik artistik, dan penyelidikan intelektual. Warisan Cage menunjukkan bahwa kadang-kadang, untuk maju, kita perlu berani menantang asumsi paling mendasar dari disiplin kita sendiri.

Unsign: Verum & Sistem Penandaan Semiotis Frekuensi Bunyi Harmonis.

Dalam dunia yang dipenuhi dengan tanda dan simbol, konsep "Unsign" muncul sebagai paradoks yang menarik. Digabungkan dengan ide Verum (kebenaran) dan sistem penandaan semiotis frekuensi bunyi harmonis, kita dihadapkan pada eksplorasi yang mendalam tentang makna, kebenaran, dan harmoni dalam konteks bunyi dan musik. Esai ini akan mengupas lapisan-lapisan konsep ini, menghubungkannya dengan teori semiotika, fisika akustik, dan filosofi musik.

Unsign: Memaknai Ketiadaan Tanda.

"Unsign" dapat diinterpretasikan sebagai negasi dari tanda atau simbol. Dalam konteks semiotika, tanda adalah sesuatu yang merepresentasikan atau merujuk pada sesuatu yang lain. Unsign, sebaliknya, mungkin merujuk pada absennya representasi, atau mungkin representasi dari ketiadaan itu sendiri [1].

Dalam musik, konsep Unsign bisa diterapkan pada beberapa cara:

1. Keheningan: Seperti dalam karya John Cage "4'33"", di mana ketiadaan bunyi menjadi fokus utama komposisi [2]. 2. Frekuensi di luar jangkauan pendengaran manusia: Bunyi yang ada namun tidak terdengar, menciptakan "tanda yang tidak bertanda" [3].
3. Bunyi putih (white noise): Suara yang berisi semua frekuensi dengan intensitas yang sama, sehingga tidak ada frekuensi tunggal yang menonjol sebagai "tanda" [4].

Verum dalam Konteks Frekuensi Bunyi.

Verum, atau kebenaran, dalam konteks frekuensi bunyi harmonis dapat diinterpretasikan melalui beberapa pendekatan:

1. Kebenaran Matematis: Hubungan matematis antara frekuensi dalam rangkaian harmonik, seperti yang dieksplorasi oleh Pythagoras, bisa dianggap sebagai manifestasi Verum dalam musik [5]. 2. Kebenaran Perseptual: Bagaimana otak manusia mempersepsikan dan menginterpretasikan frekuensi bunyi sebagai harmonis atau disonan bisa dianggap sebagai bentuk "kebenaran" subjektif [6]. 3. Kebenaran Kultural: Apa yang dianggap sebagai bunyi harmonis bervariasi antar budaya, menunjukkan bahwa Verum dalam musik juga memiliki dimensi kultural [7].

Sistem Penandaan Semiotis Frekuensi Bunyi Harmonis.

Semiotika, studi tentang tanda dan pemaknaannya, dapat diterapkan pada analisis frekuensi bunyi harmonis. Dalam konteks ini, kita bisa mempertimbangkan beberapa aspek:

1. Signifier dan Signified: Dalam semiotika musik, frekuensi bunyi bisa dianggap sebagai signifier, sementara emosi atau konsep yang dibangkitkannya adalah signified [8]. 2. Sintaksis Musikal: Cara frekuensi bunyi diorganisir dalam skala dan chord membentuk semacam "tata bahasa" musikal, yang bisa dianalisis secara semiotis [9]. 3. Paradigma dan Sintagma: Pilihan nada dalam sebuah skala merepresentasikan paradigma, sementara urutan nada dalam melodi membentuk sintagma dalam "bahasa" musik [10].

Integrasi Unsign, Verum, dan Semiotika Bunyi.

Menggabungkan ketiga konsep ini membuka beberapa perspektif menarik:

1. Unsign sebagai Verum: Ketiadaan tanda (Unsign) dalam musik, seperti keheningan, bisa dianggap sebagai bentuk tertinggi dari Verum, mengungkapkan kebenaran yang melampaui representasi [11]. 2. Harmoni sebagai Negosiasi Tanda: Sistem penandaan semiotis dalam frekuensi bunyi harmonis bisa dilihat sebagai negosiasi terus-menerus antara tanda (sign) dan bukan-tanda (unsign), menciptakan tegangan dinamis yang mengarah pada pengalaman estetis [12]. 3. Verum melalui Kompleksitas: Kombinasi frekuensi yang kompleks dalam bunyi harmonis bisa dianggap sebagai upaya untuk mencapai Verum melalui kekayaan tanda, paradoksnya mendekati konsep Unsign dalam kompleksitasnya [13]. Eksplorasi Unsign, Verum, dan sistem penandaan semiotis frekuensi bunyi harmonis membuka jendela baru dalam memahami musik dan bunyi. Dari keheningan yang bermakna hingga kompleksitas harmoni.

Referensi.

[1] Pritchett, J. (1996). The Music of John Cage. Cambridge University Press.
[2] Kostelanetz, R. (2003). Conversing with John Cage. Routledge.
[3] Gann, K. (2010). No Such Thing as Silence: John Cage's 4'33". Yale University Press.
[4] Cage, J. (1961). Silence: Lectures and Writings. Wesleyan University Press.
[5] LaBelle, B. (2015). Background Noise: Perspectives on Sound Art. Bloomsbury Academic.
[6] Larson, K. (2012). Where the Heart Beats: John Cage, Zen Buddhism, and the Inner Life of Artists. Penguin Press.
[7] Attali, J. (1985). Noise: The Political Economy of Music. University of Minnesota Press.
[8] Katz, M. (2010). Capturing Sound: How Technology Has Changed Music. University of California Press.
[9] Perloff, M., & Junkerman, C. (Eds.). (1994). John Cage: Composed in America. University of Chicago Press.
[10] Goehr, L. (2007). The Imaginary Museum of Musical Works: An Essay in the Philosophy of Music. Oxford University Press.
[11] Cox, C., & Warner, D. (Eds.). (2004). Audio Culture: Readings in Modern Music. Continuum.
[12] Levitin, D. J. (2006). This Is Your Brain on Music: The Science of a Human Obsession. Dutton.
[13] Collins, N., & d'Escrivn, J. (Eds.). (2017). The Cambridge Companion to Electronic Music. Cambridge University Press.
[14] Kim-Cohen, S. (2009). In the Blink of an Ear: Toward a Non-Cochlear Sonic Art. Continuum.
[15] Oliveros, P. (2005). Deep Listening: A Composer's Sound Practice. iUniverse.
[16] Schafer, R. M. (1977). The Tuning of the World. Knopf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun