Mohon tunggu...
El Sabath
El Sabath Mohon Tunggu... Lainnya - Pengamat Sosial Fenomena

"Akar sosial adalah masyarakat dan kajemukan, dan "Fenomena Sosial Di dasarkan pada gambaran nilai normatif Individu, terhadap ruang interaktif relasi sosial, hal yang mendasar adalah sosial sebagai fenomena individu yang tidak terlepas dari sumberdaya, yang relatif dan filosofis, dan apakah ranah sosial adalah sesuatu yang sesuai makna filosofis, atau justru gambaran dari kehampaan semata, yang tidak dapat di ukur sikap atau ruang lingkup sosialkah, yang berarti suatu ilutrasi pamplet kekacauan revolusi massa, atau komunisme historis dalam sejarah pergerakan politik?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialog Tiga Benua: "Black Monday" 19 Oktober 1987 - dan Bintaro: Menelusuri Jejak Kemanusian Kita Hari Ini

13 Oktober 2024   16:11 Diperbarui: 13 Oktober 2024   16:14 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, dengan keragaman etnis, agama, dan budayanya, telah lama menjadi laboratorium hidup bagi ide-ide tentang pluralisme dan kemanusiaan. Perjalanan bangsa ini dalam memahami dan menghidupi konsep "Ke-Indonesian" telah diwarnai oleh pemikiran-pemikiran progresif dari berbagai tokoh, mulai dari Ahmad Wahib, Gus Dur, hingga Munir Thalib. Namun, perjalanan ini juga tidak lepas dari tragedi dan konflik, seperti yang terjadi di Tanjung Priok, yang mengingatkan kita akan rapuhnya harmoni sosial jika tidak dijaga dengan baik. Ahmad Wahib, dengan pemikirannya yang tertuang dalam buku "Pergolakan Pemikiran Islam", membuka jalan bagi diskusi terbuka tentang Islam dan modernitas di Indonesia. Ia menekankan pentingnya pemikiran kritis dan keterbukaan dalam memahami agama, sebuah gagasan yang kemudian diteruskan dan diperluas oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Gus Dur, melalui pemikirannya tentang "Islam Kosmopolitan", memperjuangkan visi Islam yang inklusif dan humanis. Gerakan GusDurian yang terbentuk setelah wafatnya, terus meneruskan semangat pluralisme dan toleransi yang ia perjuangkan. Gus Dur tidak hanya berbicara tentang toleransi antar-agama, tetapi juga memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas dan tertindas. Konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) yang digagas oleh Soekarno, meskipun kontroversial, mencerminkan upaya untuk menyatukan berbagai aliran pemikiran dalam satu bingkai ke-Indonesian. Meski gagal dalam implementasinya, ide ini menunjukkan kompleksitas tantangan dalam membangun identitas nasional yang inklusif. Pluralitas majemuk Indonesia terus menjadi tema sentral dalam diskursus nasional. Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, tetapi tantangan nyata yang harus dihadapi setiap hari dalam interaksi sosial dan politik. Munir Thalib, melalui advokasi hak asasi manusianya, memperjuangkan keadilan bagi semua warga negara, terlepas dari latar belakang mereka. Kematiannya yang tragis mengingatkan kita akan harga yang harus dibayar dalam perjuangan kemanusiaan. Peristiwa Tanjung Priok 1984 menjadi salah satu titik gelap dalam sejarah Indonesia modern. Insiden ini menunjukkan bagaimana ketegangan antara negara dan kelompok masyarakat dapat berujung pada kekerasan, sekaligus mengingatkan kita akan pentingnya dialog dan rekonsiliasi dalam menyelesaikan konflik.

Refleksi kritis:

1. Implementasi vs Idealisasi: Meski Indonesia kaya akan pemikiran progresif tentang pluralisme dan kemanusiaan, implementasi ide-ide tersebut dalam kehidupan sehari-hari masih menjadi tantangan besar. Kesenjangan antara wacana elit dan realitas grassroots perlu dijembatani. 2. Pendidikan Kewarganegaraan: Sistem pendidikan Indonesia perlu lebih menekankan pada pemahaman dan penghayatan nilai-nilai pluralisme dan kemanusiaan, bukan sekadar hafalan konsep. 3. Rekonsiliasi Sejarah: Indonesia masih perlu melakukan rekonsiliasi yang mendalam terkait peristiwa-peristiwa kelam dalam sejarahnya, termasuk Tanjung Priok. Proses ini penting untuk membangun narasi nasional yang lebih inklusif dan jujur. 4. Peran Media dan Teknologi: Di era digital, media sosial dan teknologi informasi memiliki peran ganda dalam isu pluralisme. Di satu sisi, mereka dapat menjembatani perbedaan dan menyebarkan ide-ide inklusif. Di sisi lain, mereka juga bisa menjadi sarana penyebaran intoleransi dan polarisasi. 5. Tantangan Kontemporer: Isu-isu seperti radikalisme agama, ketimpangan ekonomi, dan politisasi identitas terus menguji konsep ke-Indonesian. Diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan adaptif dalam menghadapi tantangan-tantangan ini. 6. Revitalisasi Kearifan Lokal: Dalam upaya membangun ke-Indonesian yang inklusif, kita perlu menggali dan merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal yang sudah ada dalam berbagai budaya di Indonesia, yang sering kali mengajarkan toleransi dan kebersamaan. 7. Peran Generasi Muda: Generasi muda Indonesia memiliki peran krusial dalam meneruskan dan mengembangkan pemikiran-pemikiran progresif dari para tokoh terdahulu. Mereka perlu didorong untuk terlibat aktif dalam diskursus nasional tentang pluralisme dan kemanusiaan.

Kesimpulan:

Perjalanan Indonesia dalam memahami dan menghidupi konsep ke-Indonesian adalah proses yang terus berlangsung. Warisan pemikiran dari tokoh-tokoh seperti Ahmad Wahib, Gus Dur, dan Munir Thalib tetap relevan dan perlu terus dikaji dan dikembangkan. Namun, kita juga harus belajar dari peristiwa-peristiwa kelam seperti Tanjung Priok untuk memastikan bahwa sejarah tidak berulang. Ke-Indonesian kita hari ini adalah hasil dari pergulatan panjang dengan berbagai ide dan peristiwa. Tantangannya adalah bagaimana kita dapat terus membangun narasi nasional yang inklusif, yang menghargai keragaman namun tetap menjaga persatuan. Ini bukan tugas yang mudah, tetapi merupakan tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer, kita perlu menggabungkan kearifan dari masa lalu dengan inovasi masa kini. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa ke-Indonesian kita tidak hanya menjadi konsep abstrak, tetapi menjadi realitas hidup yang memperkaya dan mempersatukan bangsa.

Referensi:


1. Wahib, A. (2003). Pergolakan Pemikiran Islam. LKiS Yogyakarta.
2. Barton, G. (2002). Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. Equinox Publishing.
3. Hefner, R. W. (2000). Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia. Princeton University Press.
4. Ramage, D. E. (1995). Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance. Routledge.
5. Aspinall, E. (2005). Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. Stanford University Press.
6. Heryanto, A. (2006). State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging. Routledge.
7. Bruinessen, M. van (2013). Contemporary Developments in Indonesian Islam: Explaining the "Conservative Turn". Institute of Southeast Asian Studies.
8. Hefner, R. W. (2018). Routledge Handbook of Contemporary Indonesia. Routledge.
9. Menchik, J. (2016). Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism. Cambridge University Press.
10. Buehler, M. (2016). The Politics of Shari'a Law: Islamist Activists and the State in Democratizing Indonesia. Cambridge University Press.
11. Kersten, C. (2015). Islam in Indonesia: The Contest for Society, Ideas and Values. Hurst & Company.
12. Fealy, G., & White, S. (2008). Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies.
13. Ricklefs, M. C. (2012). Islamisation and Its Opponents in Java: A Political, Social, Cultural and Religious History, c. 1930 to the Present. NUS Press.
14. Sidel, J. T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad: Religious Violence in Indonesia. Cornell University Press.
15. Hasan, N. (2006). Laskar Jihad: Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia. Cornell Southeast Asia Program Publications.

Karya-karya Martin van Bruinessen memang sangat penting dalam studi Islam di Indonesia. Beliau adalah seorang antropolog dan islamolog Belanda yang telah banyak menulis tentang Islam, masyarakat Muslim, dan gerakan-gerakan sosial-politik Islam di Indonesia dan Timur Tengah. Beberapa karyanya yang lain yang relevan dengan topik kita termasuk:

16. Bruinessen, M. van (1994). NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru. LKiS.

17. Bruinessen, M. van (2008). "Traditionalist and Islamist Pesantrens in Contemporary Indonesia" in Farish A. Noor, Yoginder Sikand & Martin van Bruinessen (eds.), The Madrasa in Asia: Political Activism and Transnational Linkages. Amsterdam University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun