Belakangan terjadi polemik soal tingginya harga tiket pesawat dari berbagai wilayah di Indonesia sehingga menimbulkan protes publik. Bahkan atas inisiatif sekelompok orang, telah memberikan petisi kepada Kementerian Perhubungan untuk segera menurunkan harga tiket.Â
Namun ketika saya membaca harian Tribun (13/1/2018) (meskipun sebagian dari kita sudah jarang baca koran cetak), saya sedikit tercengang, karena Menteri Perhubungan tidak mengetahui soal kenaikan harga tiket, dan dia akan cek. Bagi saya wajar Menteri Perhubungan tidak tahu, karena beliau memang tidak seperti saya atau anda, yang biasanya beli tiket melalui traveloka, tiket.com, atau penyedia belanja online lainnya.Â
Pak Menteri kemungkinan besar tinggal duduk manis di Pesawat, dan tidak bertanya pada penumpang kiri kanan soal harga tiket yang mencekek urat leher kita. Berita ini belum selesai, masyarakat Aceh berbondong-bondong ke kantor Imigrasi untuk urus pasport, karena tiket Banda Aceh-Jakarta lebih mahal jika dibandingkan Banda Aceh-Malaysia-Jakarta.
Saya coba menelusuri harga tiket ini, dan menemukan harian Kompas. Hasil investigasi wartawan Kompas (13/1/2019) juga menemukan fakta tingginya harga tiket.Â
Dalam penelusuran si wartawan di situs Traveloka, ditemukan perbandingan harga tiket yang mencengangkan untuk penerbangan Banda Aceh-Jakarta. Jika menggunakan Lion Air harganya 2,2 - 2,3 juta, dan Garuda 2,9 juta, tetapi jika menggunakan Air Asia yang transit di Kualalumpur harganya 1,05 juta, selisihnya 1,1 sampaikan 1,8 juta!!!.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi? Karena keahlian saya dalam bidang hukum pidana, khususnya pidana korporasi/bisnis, maka saya coba mengkaitkan masalah ini dengan salah satu delik pidana dalam pidana bisnis yaitu delik kartel yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.Â
Delik kartel diatur dalam hanya 1 Pasal yaitu Pasal 11. Bunyi Pasal ini adalah :
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat."
Secara akademik kartel didefinisikan sebagai perjanjian antara pelaku usaha (yang umumnya adalah pesaing mereka) yang bertujuan untuk meningkatkan keuntungan.Â
Kartel ini terjadi karena sebelumnya mereka melakukan perang harga sehingga menimbulkan ketidakstabilan pasar, oleh karena itu mereka (pelaku usaha) membuat perjanjian untuk mengatur harga dan mendapatkan keuntungan yang tinggi serta mengontrol pasar (Masisomo Motta, 2004).
Jadi sebenarnya kartel ini adalah kesepakatan (bisa tertulis bisa tidak tertulis), kolusi atau konspirasi yang dilakukan oleh palaku usaha yang berbentuk persengkolan tender, penetapan harga, atau pembagian wilayah pasar.Â
Mereka telah melakukan permufakatan jahat dan merealisasikan permukatan jahat tersebut sehingga muncullah monopoli dana tau oligopoly sehingga dapat mematikan mekanisme yang natural dan merugikan konsumen, pelaku usaha lain serta negara. Dalam konteks hukum persaiingan usaha sering juga disebut dengan unfair competition.