Belakangan publik dikejutkan dengan maraknya kasus prostitusi anak lak-laki yang diperjualkan kepada konsumen seks anak. Bareskrim Mabes Polri berhasil memgongkar satu sindikat kejahatan ini. Anak laki-laki yang “diperjualbelikan” tersebut tidak saja dilakukan secara off-line tetapi juga dilakukan secara online. Dalam kasus ini, seorang residivis terlibat.
Keterlibatan residivis ini sudah dapat dipastikan karena bisnis seks anak merupakan sebuah bisnis yang sedang mengalami booming di Indonesia, karena berbagai faktor. Upaya penanggulangan dan pencegahan masalah ini tidak maksimal dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah sehingga kasus demi kasus terjadi.
Anak-anak yang diperjualbelikan kepada penikmat seks merupakan tindak pidana, tidak peduli apakah anak-anak tersebut setuju untuk diperjualbelikan, karena secara hukum internasional dan hukum nasional anak yang berusia di bawah 18 tahun belum memiliki kapasitas dalam memberikan persetujuan untuk menjadi objek seks komersial. Tulisan ini akan mengungkap sedikit fakta akademik soal kejahatan ini terutama anak-anak yang diperjualbelikan melalui media online dalam persfektif kriminologi. Jual beli anak melalui media online merupakan bagian dari dari Sexual Exploitation of Children Online(SECO).
Sexual Exploitation of Children Online (SECO) dapat diartikan sebagai kejahatan yang ditujukan kepada anak-anak dengan memanfaatkan informasi dan teknologi sebagai media untuk mengkomunikasikan, mempertunjukkan, mempertontonkan atau mendistribusikan material pornografi anak atau aktivitas seksual anak.
Anak-anak dijadikan objek kekerasan seksual dan menjadi objek seks komersial (Catherine Beaulieu, 2011). SECO ini pun tidak sebatas pada pendistribusian atau mempertontonkan anak sebagai objek seks dan objek komersial, termasuk juga memiliki gambar-gambar porno, suara anak yang direkam yang mengandung konten erotisme, dan segala seuatu yang mengandung kontens seksual anak yang disimpan di dalam komputer karena memilki potensi untuk disebarluaskan.
Secara umum kasus-kasus SECO sangat memprihatinkan, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di banyak negara. Bentuk SECO yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah prostitusi anak online dan pornografi anak online yang banyak memanfaatkan fasilitas internet. Pemanfaatan anak-anak untuk tujuan seksual online melalui internet telah banyak ditemukan oleh penegak hukum.
Beberapa kasus berhasil dibawa ke pengadilan namun sebagian besar kasus tidak berhasil menghukum pelaku karena sulitnya mengakses korban tindak pidana. Kasus-kasus kejahatan seksual online pada anak di masa depan diperkirakan mengalami peningkatan seiring dengan tingginya pengguna internet di Indonesia.
Menurut Kementrian Informasi dan Komunikasi, pengguna internet di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 93,4 juta dan pada tahun 2016 ini diperkirakan meningkat menjadi 102,8 dan pada pada tahun 2017 diperkirakan melonjak menjadi 112, 6 juta atau menjadi peringkat 5 dunia terbesar pengguna internet setelah China, Amerika Serikat, India dan Brazil.
Tidak ada statistik resmi yang menunjukkan penyebaran kasus-kasus seksual anak online. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencaatat pada kurun waktu 2015 ada 1366 kasus pornografi dan kejahatan siber pada anak. Meski demikian, laporan ini tidak menunjukkan validitas data yang akurat, karena hanya didasarkan pada temuan media, dan yang didasarkan pada kasus-kasus yang dilapokan kepada komisi ini. Namun demikian, sekurang-kurangnya sudah ada statistik kasus yang berhasil dikumpulkan sehingga mendorong institusi lain untuk melakukan validitas atau bahkan pengumpulan data.
Pemetaan yang dilakukan oleh sebuah NGO nasional yaitu ECPAT Indonesia (End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes) tentang tindak ini tahun 2013 menunjukkan bahwa ditemukan sejumlah fakta terjadinya SECO di beberapa wilayah Indonesia.
Pemetaan yang dilakukan oleh ECPAT ini mendapat dukungan dari sebuah organisasi perlindungan anak asal belanda yaitu Terre des Hommes. Pemetaan ini dilakukan di tiga kota yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung dan menemukan bahwa karakteristik anak yang menjadi korban tindak pidana SECO adalah anak-anak yang menggunakan media sosial dan anak-anak lain yang dijadikan korban.