MEMAHAMI HUKUMAN MATI
Oleh: Ahkam Jayadi
Hukuman mati sejak dari dulu hingga akhir dunia akan senantiasa ada dan untuk itu perdebatan tentang hal ini tidak akan pernah berhenti atau hilang. Baik secara pribadi, komunitas bahkan hingga institusi Negara akan senantiasa terbentuk dua kelompok yaitu yang abolisionis atau  pro  (pihak yang setuju) dan yang retensionis atau kontra (pihak yang tidak setuju) tentang hukuman mati masih diterapkan.Â
Sebagai sebuah realitas maka hingga kini ada Negara yang sudah tidak menggunakan hukuman mati itu dan juga masih ada Negara yang menggunakan hukum mati itu seperti halnya negara kita (Negara Hukum Republik Indonesia), Arab Saudi dan juga Tiongkok serta Korea Selatan dan yang lainnya.
Penghapusan hukuman mati (Wikipedia, 2021) dilandasi oleh adanya pandangan bahwa hukuman mati merupakan bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar martabat manusia. Â
Hukuman mati juga dianggap sebagai bentuk pelanggaran atas hak asasi manusia. Hukuman mati telah dihapuskan oleh sedikitnya dari jumlah keseluruhan negara yang ada di dunia. Proses penghapusan hukuman mati di negara-negara tersebut berlangsung secara bertahap. Negara-negara tersebut telah menghapuskan hukuman mati baik secara hukum atau dalam praktiknya secara nyata.Â
Beberapa instrumen hak asasi manusia internasional juga mendukung penghapusan hukuman mati untuk kejahatan yang paling serius. Instrumen ini utamanya ialah Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966).
Sejak tahun 1971, penghapusan hukuman mati secara universal juga dijadikan sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.Â
Rekomendasi ini berupa pemberian grasi, amnesti dan keringanan hukuman lainnya bagi narapidana. Dukungan atas penghapusan hukuman mati secara jelas dilakukan melalui Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.Â
Dalam protokol ini, tiap negara pesertanya diwajibkan untuk menghentikan hukuman mati dan mengambil semua prosedur yang layak untuk menghapuskannya.Â
Dalam perkembangannya, jumlah negara retensionis makin berkurang, sedangkan jumlah negara abolisionis makin bertambah. Sementara itu, organisasi-organisasi anti-hukuman mati sedunia telah mencanangkan Hari Anti Hukuman Mati yang jatuh pada tanggal 10 Oktober. Penetapan tanggal disepakati pada sebuah kongres yang diadakan pada bulan Mei tahun 2002 di Roma, Italia.
Satu hal yang sering penulis amati dalam perbincangan antara yang pro dan yang kontra tentang penerapan hukuman mati adalah jarang atau mungkin tidak ada sama sekali kita libatkan baik secara fisik mau secara kondisi psikologis dari orang-orang yang menjadi korban tindak pidana berat (pembunuhan sadis, kejahatan sexual terhadap anak di bawah umur) atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat untuk dilibatkan dalam wacana tersebut. Umumnya orang-orang yang terlibat adalah ahli, pengamat, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang tidak terlibat langsung dan merasakan tindak pidana yang kemudian menjadi dasar untuk dijatuhkannya hukuman mati.Â
Bagaimana seandainya kita (keluarga korban) yang mengalami berbagai tindak pidana tersebut apakah itu sebagai korban penyalahgunaan narkoba, korban pelanggaran ham berat, korban berbagai bentuk kejahatan sexual dan yang lainnya. Pasti pola pikir dan pemahaman kita akan berbeda dalam memutuskan setuju atau tidak setuju dengan hukuman mati untuk dijatuhkan kepada pelaku kejahatan.
Pemikiran lain yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan adalah eksistensi hukuman mati itu. Ada dan diberlakukannya hukuman mati itu saja para pelaku kejahatan berat masih saja terjadi dan berulang kali terjadi. Bagaimana seandainya hukuman mati itu dihapuskan, apakah tidak akan menjadi penyebab semakin meningkatnya berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang sadis dan bertentangan dengan harkat kemanusiaan.Â
Fakta setiap saat memperlihatkan bagaimana di sekitar kita seringkali terjadi berbagai bentuk kejahatan yang sangat sadis melebihi cara-cara binatang di hutan belantara. Setetah korban-korbannya diperkosa kemudian dibunuh dan setelah itu kemudian di mutilasi lalu di simpan di lemari dan berbagai perlakuan lainnya.
Penulis termasuk orang yang setuju dengan masih diberlakukannya hukuman mati. Hanya saja penjatuhan hukuman mati kepada pelaku kejahatan (terpidana) harus dipertimbangkan secara seksama dan mendalam sehingga hukuman mati yang dijatuhkan (berdasarkan putusan Pengadilan) benar-benar sesuai dengan kuantitas dan kualitas kejahatan yang dilakukannya.Â
Demikian juga terpidana mati diberi hak (melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa). Sebaiknya hak-hak untuk melakukan perlawanan terhadap putusan setiap tingkatan pengadilan digunakan sebagaimana mestinya.Â
Hal ini tentu saja dimaksudkan agar banyak melibatkan hakim-hakim dan aparat penegak hukum lainnya sehingga hukuman mati yang dijatuhkan itu mendapat dukungan dari berbagai pihak sehingga bisa dipertanggung-jawabkan dengan adil sebagaimana asas peradilan, "Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa".
Kita tentu sepakat bahwa penjatuhan putusan (berupa hukuman mati) kepada seorang terpidana karena kejahatan atau tindak pidana yang dilakukannya tentu saja tidak begitu saja dijatuhkan akan tetapi melalui pembahasan dan pengkajian yang mendalam dan komprehensif.Â
Untuk itu tidak lah tepat atau tidak selayaknya kritik dan penolakan kita atas putusan hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan hanya semata-mata menggunakan pendekatan instrument hukum atau peraturan perundang-undangan semata tanpa kita mencoba menganalisis secara mendalam peristiwa kejahatan atau tindak pidana yang terjadi.Â
Misalnya tindak pidana atau kejahatan yang terjadi pada April 2009, Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ryan. Menurut keterangan majelis hakim, Ryan terbukti bersalah atas pembunuhan berantai dengan 11 korban. Kasus Ryan Jombang adalah gambaran tentang kejahatan yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kesimpulannya bahwa bagaimana pun juga hukuman mati adalah salah satu bentuk sanksi atau hukuman yang sudah ratusan abad dikenal dan digunakan di berbagai belahan bumi untuk menghukum pelaku kejahatan atau tindak pidana. Munculnya gugatan untuk menghapus hukuman mati itu juga adalah sebuah realitas yang tentu juga berangkat dari berbagai pengalaman.Â
Hanya saja gugatan untuk menghapus hukuman mati itu jangan hanya didasarkan secara sempit sebagai bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan khususnya tentang hak hidup. Sejatinya sebelum kita berbicara tentang penghapusan hukuman mati maka sebaiknya kita menganalisis peristiwa (tindak pidana atau kejahatan) yang telah dilakukan.Â
Dengan demikian kita akan dapat membuat kesimpulan yang lebih objektif bahwa pelakulah yang terlebih dahulu telah melakukan kejahatan yang melanggar dan menafikan harkat dan martabat kemanusian korban sehingga layak untuk di hukum mati.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H