Satu hal yang sering penulis amati dalam perbincangan antara yang pro dan yang kontra tentang penerapan hukuman mati adalah jarang atau mungkin tidak ada sama sekali kita libatkan baik secara fisik mau secara kondisi psikologis dari orang-orang yang menjadi korban tindak pidana berat (pembunuhan sadis, kejahatan sexual terhadap anak di bawah umur) atau pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat untuk dilibatkan dalam wacana tersebut. Umumnya orang-orang yang terlibat adalah ahli, pengamat, aktivis lembaga swadaya masyarakat yang tidak terlibat langsung dan merasakan tindak pidana yang kemudian menjadi dasar untuk dijatuhkannya hukuman mati.Â
Bagaimana seandainya kita (keluarga korban) yang mengalami berbagai tindak pidana tersebut apakah itu sebagai korban penyalahgunaan narkoba, korban pelanggaran ham berat, korban berbagai bentuk kejahatan sexual dan yang lainnya. Pasti pola pikir dan pemahaman kita akan berbeda dalam memutuskan setuju atau tidak setuju dengan hukuman mati untuk dijatuhkan kepada pelaku kejahatan.
Pemikiran lain yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan adalah eksistensi hukuman mati itu. Ada dan diberlakukannya hukuman mati itu saja para pelaku kejahatan berat masih saja terjadi dan berulang kali terjadi. Bagaimana seandainya hukuman mati itu dihapuskan, apakah tidak akan menjadi penyebab semakin meningkatnya berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan yang sadis dan bertentangan dengan harkat kemanusiaan.Â
Fakta setiap saat memperlihatkan bagaimana di sekitar kita seringkali terjadi berbagai bentuk kejahatan yang sangat sadis melebihi cara-cara binatang di hutan belantara. Setetah korban-korbannya diperkosa kemudian dibunuh dan setelah itu kemudian di mutilasi lalu di simpan di lemari dan berbagai perlakuan lainnya.
Penulis termasuk orang yang setuju dengan masih diberlakukannya hukuman mati. Hanya saja penjatuhan hukuman mati kepada pelaku kejahatan (terpidana) harus dipertimbangkan secara seksama dan mendalam sehingga hukuman mati yang dijatuhkan (berdasarkan putusan Pengadilan) benar-benar sesuai dengan kuantitas dan kualitas kejahatan yang dilakukannya.Â
Demikian juga terpidana mati diberi hak (melakukan perlawanan terhadap putusan pengadilan baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa). Sebaiknya hak-hak untuk melakukan perlawanan terhadap putusan setiap tingkatan pengadilan digunakan sebagaimana mestinya.Â
Hal ini tentu saja dimaksudkan agar banyak melibatkan hakim-hakim dan aparat penegak hukum lainnya sehingga hukuman mati yang dijatuhkan itu mendapat dukungan dari berbagai pihak sehingga bisa dipertanggung-jawabkan dengan adil sebagaimana asas peradilan, "Demi Keadilan Berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa".
Kita tentu sepakat bahwa penjatuhan putusan (berupa hukuman mati) kepada seorang terpidana karena kejahatan atau tindak pidana yang dilakukannya tentu saja tidak begitu saja dijatuhkan akan tetapi melalui pembahasan dan pengkajian yang mendalam dan komprehensif.Â
Untuk itu tidak lah tepat atau tidak selayaknya kritik dan penolakan kita atas putusan hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan hanya semata-mata menggunakan pendekatan instrument hukum atau peraturan perundang-undangan semata tanpa kita mencoba menganalisis secara mendalam peristiwa kejahatan atau tindak pidana yang terjadi.Â
Misalnya tindak pidana atau kejahatan yang terjadi pada April 2009, Majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Ryan. Menurut keterangan majelis hakim, Ryan terbukti bersalah atas pembunuhan berantai dengan 11 korban. Kasus Ryan Jombang adalah gambaran tentang kejahatan yang bertentangan dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Kesimpulannya bahwa bagaimana pun juga hukuman mati adalah salah satu bentuk sanksi atau hukuman yang sudah ratusan abad dikenal dan digunakan di berbagai belahan bumi untuk menghukum pelaku kejahatan atau tindak pidana. Munculnya gugatan untuk menghapus hukuman mati itu juga adalah sebuah realitas yang tentu juga berangkat dari berbagai pengalaman.Â