Mohon tunggu...
Antonius Hananta Danurdara
Antonius Hananta Danurdara Mohon Tunggu... Guru - Sedang Belajar Menulis

Antonius Hananta Danurdara, Kelahiran Kudus 1972. Pengajar Fisika di SMA Trinitas Bandung. Alumni USD. Menulis untuk mensyukuri kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dualisme Gelombang - Partikel Seorang Penulis

4 Desember 2021   09:42 Diperbarui: 13 Desember 2021   09:14 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Jika anda setelah bergelut dan mengalami banyak hal namun tidak bisa menceritakan apa yang telah dilakukan, maka yang anda lakukan adalah sia – sia ”. (Erwin Shroedinger)

Quote tersebut telah menginspirasi saya untuk menulis lagi mulai 20 Oktober 2021. Sebenarnya tujuan dasar saya menulis agar apa yang telah saya kerjakan dan alami tidak sia – sia. Menulis adalah cara saya untuk mensyukuri kehidupan.

Memang sebelum membaca quote tersebut kembali, saya pernah berusaha menjadi cerpenis  di tahun 2000-an. Karya yang saya kirimkan ke media massa ditolak. Setelah itu, selesai. "Mungkin saya tidak punya bakat", begitulah hasil perenungan saya.

Suatu ketika, salah satu rekan kerja senior mendorong untuk menuliskan karya ilmiah, hasilnya agak lumayan. Setidaknya ada satu makalah yang diterima dan diseminarkan di tingkat nasional. Setelah itu, selesai.

Waktu itu, saya berpikir menjadi 'tukang lapangan' lebih menyenangkan. Saya tidak perlu menjadi penuang gagasan dalam bentuk tulisan.

Kami tinggal mendengar dan menjalankan gagasan-gagasan yang sudah diputuskan.  Tidak perlu tulis - tulis, "Mari kita bicarakan dan mari kita laksanakan".

Lambat laun pengalaman karya pendidikan bersama guru - guru hebat di tempat awal saya bekerja menjadi menumpuk. Menjadi bendel kenangan usang yang hanya bisa diceritakan. Dinikmati sendiri, tanpa arti memberikan inspirasi.

Berawal dari Pandemi

Dengan adanya pandemi, jam kehidupan pun berubah. Detak - detaknya terasa begitu lambat ketika volume kerja - mengajar berkurang di tempat yang baru.

Kami diharuskan berada rumah sekian bulan. Hembusan sejuk angin kebosanan pun lambat laun meninak-bobokkan.

Mungkin dari sekian banyak orang, saya termasuk beruntung memiliki pasangan yang dipercaya menjadi "penjaga gawang" sebuah sekolah besar. Jadilah tugas antar - jemput menjadi hiburan. Setidaknya aktivitas itu menjadikan saya agak berarti.

Mungkin inilah hidup, apa yang telah ditinggalkan kini datang dan apa yang telah datang nantinya ditinggalkan. Ibarat sebuah roda yang akan menggilas penentang sebagai rintangan dan memberikan tantangan bagi yang ikhlas mengikuti arah perputarannya.

Memulai Nulis

Demikianlah kisah saya mulai menulis. Tanpa informasi lengkap, masuklah saya ke kompasiana. Sebuah ballroom tempat para penulis jagoan berdansa. Yang membuat saya senang, mereka berendah - hati memberi semangat dengan berbagi tulisan agar artikel kami semakin baik.

Setelah lebih sebulan saya pun sadar. Rupa - rupanya saya masih anak culun yang sedang menawarkan kembang gula jahe. Gembira berangkat dari rumah, membawa kembang gula nostalgia.

Pemahaman saya tentang menulis sangatlah terbatas. Saya masih berada di lingkaran paparan informasi, tutur pengalaman, dan sedikit berani beropini.

Mungkin dari ketiganya, yang paling mudah untuk dialirkan ke layar 13,5' adalah bertutur tentang pengalaman. Menulisnya tidaklah membutuhkan waktu lama. Menjadi lama kalau kita merekayasa.

Saya masih teringat di dua - tiga tulisan awal yang saya buat. Bagaimana seluruh badan bergetar luar biasa ketika dini hari masih menuliskan peristiwa mistis yang sebenarnya berkali - kali saya alami di lintas raya jawa. Seolah - olah 'mereka' sedang mengetuk pintu, bertamu ke rumah, dan ingin diceritakan dalam kesenyapan malam.

Teringat pula, bagaimana hati membiru dalam lingkaran idealisme ketika mencoba menyajikan sisi kemanusiaan yang berkeadilan dan beradab.

Pikiran begitu asyik berukir kata, berkolaborasi dengan jari - jemari (atau memperbudaknya?)  untuk berganti menekan tuts - tuts perangkai kata.

Berkualitas, Belajar Sepanjang Hayat, dan Merdeka

Tidak terbayangkan sebelumnya, ternyata saya sudah cukup dalam masuk ke dunia menulis. Sampailah akhirnya pada minggu ini (awal Desember 2021), saya membaca tulisan tiga kompasianer tentang menulis.

Tiga kata bermakna yang tersimpul, yaitu: (1) berkualitas, (2) belajar sepanjang hayat, dan (3) merdeka.

Bagi saya, menyajikan tulisan berkualitas itu masih setara dengan membakar energi dengan berlari keliling lapangan sepakbola 15 kali. Bagi penulis, yang baru terjun di "cabang olahraga" ini memang wajib berlatih dahulu.

Belajar sepanjang hayat itu sama dengan aktivitas mencuci piring dan perabotan dapur di saat pagi atau malam hari. Sabar satu per satu diasah dan dibilas.

Sedangkan merdeka berarti mendapatkan hak untuk bebas mengatur diri sendiri dengan bertanggung - jawab.

Jika boleh beropini, saya ingin memerdekakan diri dulu dalam menulis. Membiarkan diri bebas menyajikan karya, asalkan itu jujur dari sebuah pengalaman. Asal itu benar dari berita benar.

Dengan kemerdekaan yang saya peroleh, saya berharap termotivasi untuk belajar sepanjang hayat.

Saat tulisan ini sedang dirangkai, saya baru mulai belajar dari orang benar yang bermurah hati. "Kelemahan artikel bapak terletak di penulisan teras", katanya.

Belajar sepanjang hayat juga saya dedikasikan untuk menginspirasi putri kami yang gemar menulis, namun tidak mau dipublikasi.

Setelah merdeka dan belajar sepanjang hayat, semoga harapan menyajikan artikel yang berkualitas dapat tercapai. Begitulah kira - kira jalan pikiran saya sebagai penulis pemula.

Makna Seorang Penulis

Meminjam skemata pengetahuan tentang efek fotolistrik Einstein, bagi saya, seorang penulis dan karyanya dapat dianalogikan sebagai “gelombang” dan “partikel”.  

Sebagai gelombang, ia dipantulkan, dibiaskan, didifraksikan, dipolarisasikan, dan diinterferensikan agar melahirkan optika keindahan. Contohnya fenomena fatamorgana, pelangi, dan jejak spektrum pancar atau serap yang khas pada masing – masing jenis  ‘materi’.

Ketika sampai kepada titik berarti sebagai ‘kuanta’, ia telah mencapai keberhasilan sebagai pemecah misteri radiasi.

Dengan melampaui frekuensi ambang, paket – paket energi ‘kuanta’ “menginspirasi” elektron yang bermuatan negatif untuk ‘lepas’ dan ‘bergerak’ dari elektroda negatif ke arah elektroda positif.

Kira – kira kalau diartikan, tulisan itu sebuah produk pantulan diri. Tulisan dapat membiaskan arah pemikiran. Sifat difraksi/kelenturan pada tulisan memungkinkannya masuk ke jiwa melalui mata, tulisan dapat mempolarisasikan – memilah citra hingga memberikan keredupan yang menyejukkan, dan tulisan pun dapat menginterferensikan citra menjadi lebih terang, abu – abu atau bahkan gelap.

Tulisan yang berkualitas akan mampu membebaskan seseorang dari frekuensi ambang keraguan dan melesatkannya ke arah tujuan yang lebih positif.

Penutup

Sebagai pendidik, saya tahu keinginan saya yaitu menjadi seperti ‘kuanta’. Tetapi sebagai anak culun yang masih menjajakan kembang gula jahe, saya belum tahu sekarang berada di posisi mana. Mungkin kegembiraanlah yang dicari dengan memulai menuliskan pengalaman sambil mensyukurinya.

Aktual, bermanfaat, inspirasi, menarik, unik, atau menghibur merupakan sebuah apresiasi yang setara. Namun akhirnya kembali kepada tujuan dasar, agar apa yang telah dikerjakan tidaklah sia – sia.

  • Bandung, 4 Desember 2021
  • Direvisi sekilas atas kebaikan teman, 13 Desember 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun