Kehidupan mereka berubah sejak hari itu. Tanpa seorang ayah yang bekerja mencari uang, Nayla dan ibunya mengalami kesulitan. Hingga keperluan hidup sehari-harinya mulai kritis. Ibu Nayla memutuskan untuk menjadi seorang nelayan menggantikan suaminya. Mereka membuat perahu kecil. Tak sebesar milik ayahnya dulu. Tapi perahu itu cukup kuat.
Ia gunakan perahu kecil itu melaut saat senja tiba sampai pagi buta baru merapat, sebagaimana suaminya dulu. Sementara Nayla menggantikan posisi ibunya yang biasa mencari kayu bakar ke hutan, merawat kebun jagung, dan rempah-rempah milik ibunya.
Hari silih berganti, hingga genap hitungan tahun. Tahun pun demikian, hingga umur Nayla menginjak lima belas tahun. Tumbuh menjadi gadis remaja yang cantik jelita. Namun kesedihan atas kehilangan ayahnya masih tersisa, tapi Nayla bisa melaluinya dengan baik. Nayla tumbuh sebagaimana gadis-gadis lainnya. Hingga suatu hari. Entah kenapa, lagi-lagi peri hutan mendadak enggan untuk bernyanyi, putri duyung malas tak bersenandung. Langit berubah kelam menakutkan.
"Ibu jangan pergi, Nayla takut". Nayla membujuk ibunya agar mengurungkan niatnya untuk melaut malam itu.
"Tidak, nak. Ibu harus melaut, bekal kita menipis".
"Nayla mohon, Bu. Ibu jangan pergi. Di luar gelap sekali". Nayla terus membujuk ibunya berkali-kali. Namun ibunya tetap nekad melaut menerobos ombak ganas.
Malam itu pula, badai hebat mengamuk di lautan. Di rumah Nayla menggigil ketakutan. Masalalu itu terekam kembali di otak Nayla, empat tahun silam saat ayahnya hilang telan samudera. Nayla takut hal serupa akan terjadi pada ibunya. Dan benar, sungguh malang nasib Nayla. Besok pagi saat Nayla berdiri menunggui ibunya di tepi pantai, perahu kecil milik ibunya itu tak pernah terlihat. Malang nian nasibnya. Menyedihkan. Nayla menangis. Nayla jatuh berlutut di atas pasir pantai meratap memanggil ibunya.
"Ibu, jangan tinggalkan Nayla sendirian".
Sejak itu, Nayla tidak lelah menunggui ibunya pulang. Berdiri di tepi pantai. Lupa makan. Lupa tidur. Terus saja begitu sepanjang hari dibakar terik matahari. Sepanjang malam ditimpa air hujan yang turun deras. Hingga sebulan berlalu, kondisi Nayla berubah menyedihkan.
Nayla merasa semuanya sia-sia. Nihil. Nayla pun memutuskan untuk bertanya pada seseorang tentang ayah ibunya. Ia berangkat menerobos hutan-hutan lebat pulau. Ia ingin bertanya pada peri hutan. Ia tak kenal lelah, terus berjalan melewati anak duri, melewati semak belukar, dan melawan binatang buas. Namun Nayla tetap nekad. Ia harus bertemu dengan peri hutan. Ia pun berhasil. peri hutan yang amat cantik itu tersenyum menyambutnya.
"Wahai Nayla anak yang malang. Ada apa kamu jauh-jauh datang kesini". Nayla memeluk kaki peri hutan itu.
 "Di mana ayah dan ibuku. Kenapa mereka tega meninggalkanku sebatang kara". Nayla memohon. Peri hutan tersenyum bijak. Ia memberi tahu, kalau kepergian ayah ibunya itu, semata-mata hanya untuk menjemput kebahagiaan Nayla. Nayla berteriak.
Â
"Aku tidak bahagia akan kepergian mereka . Lihatlah! Aku berubah menjadi kurus kering, pucat pasi". Peri hutan mengelus-ngelus rambut Nayla yang kotor dan acak-acakan.
Â