Mohon tunggu...
Ahan Syahrul Arifin
Ahan Syahrul Arifin Mohon Tunggu... Direktur Sang Gerilya Institue -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengelola Pembaharuan Desa

20 Oktober 2015   17:44 Diperbarui: 20 Oktober 2015   17:44 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Tulisan ini versi lengkap dari tulisan  saya yang dimuat di Koran Jakarta, dengen judul "Mendorong Pembaharuan Desa. Ini adalah versi lengkap dan judulnya belum diganti oleh redakturnya.

Semoga jadi bahan yang menarik untuk kompasianer diskusi, diskusi soal desa :D

 

Konflik pengelolaan desa menemukan titik temu. Kewenangan pengelolaan desa berada di 2 Kementerian; Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri. Keduanya berbagai tugas mengenai aspek pembangunan dan pemerintahan desa.

Pembangunan berskala desa memang harus menjadi perhatian serius, sebab menyangkut hampir semua permasalahan mendasar bangsa. Mulai dari kualitas tenaga kerja yang rendah, bayi kurang gizi, ibu hamil resiko tinggi, ketertinggalan, keterbelakangan, anak putus sekolah, urbanisasi, pelayanan kesehatan buruk, kesenjangan pendapatan hingga tingkat kemiskinan yang tinggi.

Tertinggalnya wajah pembangunan desa dapat diteropong dari angka kemiskinan yang jauh lebih tinggi daripada di kota. Pada September 2014, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 13,76 persen, sementara di perkotaan sebesar 8,16 persen (BPS, 2011).

Lahirnya UU No 6/2014 tentang Desa menjadi harapan permasalahan utama yang membelit bangsa bisa segera terobati. Ditengah arus optimisme mengenai pembangunan Indonesia dari desa, kekhawatiran mengenai tumbuhnya “raja-raja” kecil dari desa dan aktor-aktor korupsi baru juga menyeruak ke permukaan. Apalagi ditengarai, kualitas SDM aparatur desa tidak sepenuhnya mumpuni.

Stimulus Demokrasi Desa

Kekhawatiran tersebut wajar adanya, namun jangan sampai menyurutkan peluang kesejahteraan masyarakat dari penerapan UU Desa. Terkait kekhawatiran anggaran desa akan dijadikan ruang korupsi bagi kepala desa. Kekhawatirakan tersebut jangan dibesar-besarkan.

Menurut anggapan penulis, kekhawatiran dilandaskan dari besarnya kewenangan desa karena asas rekognisi dan subsidiaritas. Asas yang memberikan jaminan atas keragaman desa, kedudukan dan kewenangan desa dalam mengatur jalanya pemerintahan desa. Asas yang berkonsekuensi, desa memiliki anggaran sendiri dalam mengelola pembangunan desa.

Kewenangan yang besar untuk desa melalui asas rekognisi dan subsidiaritas yang membuat posisi desa memiliki hubungan yang setara dengan negara. Desa bukan lagi pemerintah semu yang jadi katalisator proyek ataupun wilayah administratif. Tetapi desa memiliki otonomi dalam mengelola kebijakan pembangunan.

Pada titik ini penting untuk membangun  demokrasi ala desa sebagaimana disebut Mohammad Hatta harus berpedoman pada 5 hal yakni : rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah.

Demokrasi desa menjadi simpul penting bagi rakyat untuk mengakses sumber daya negara yang dikelola desa karena kewenangan dalam asas rekognisi dan subsidiaritas. 

Selain proses pemilihan kepala desa yang demokratis, UU Desa juga memuat prinsip-prinsip dasar pengelolaan desa yang bersifat strategis melalui musyawarah desa yang tidak hanya melibatkan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tetapi tokoh masyarakat (Psl 54). Perencanaan pembangunan desa juga wajib dilakukan melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (Psl 80 ayat 2)

Kontrol terhadap kinerja pemerintahan desa juga akan terpantau melalui BPD yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan meminta keterangan penyelenggaraan desa (Psl 61). Masyarakat desapun berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa (Psl 82 ayat 1). Bahkan secara tegas, seluruh aktivitas desa wajib untuk disampaikan kepada publik melalui sistem informasi desa (Psl 86).

Prinsip dasar yang menjadikan desa bisa mandiri jauh dari korupsi, demokratis dan bermartabat.

Selain itu tradisi gotong royong dan musyawarah sebagai ikon demokrasi asli nusantara harus dihidupkan.  Menurut Hatta, demokrasi asli nusantara yang terus bertahan dibawah feodalisme karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa. Karena pemilikan bersama atas tanah desa ini, hasrat tiap-tiap orang untuk memanfaatkan tanah ini harus mendapatkan persetujuan kaumnya.

Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalama memanfaatkan tanah bersama yang merembet pada urusan-urusan lainya, termasuk mengenai hal-hal pribadi seperti mendirikan rumah. Ada hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum, yang diputuskan secara mufakat.

Tradisi ini secara prinsipil telah mengakar dalam jiwa masyarakat desa. Demokrasi desa yang diletakkan dalam semangat kegotongroyongan, kekeluargaan serta musyawarah mufakat akan dapat membangun desa secara harmonis jauh dari korupsi.

BPD dan Harapan

Asas rekognisi dan subsidiaritas memang memberikan kuasa yang begitu absolut bagi pemerintah desa untuk mengatur kebijakan pembangunan secara lokal. Namun, apabila ditilik lebih dalam, UU juga memberikan ruang “check and balances” yang seimbang agar pemerintah desa/kepala desa tidak semena-mena mengelola desanya.

Peranan penyeimbang tersebut lahir dari fungsi Badan Permusyawartan Desa (BPD). Kehadiran BPD sendiri bermula dari amanat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Rasa dan warna baru kehadiran BPD berawal dari kritikan atas peran LMD yang seharusnya sebagai lembaga kontrol dan penyalur aspirasi masyarakat desa. Akan tetapi dalam kenyataanya hanya jadi alat legitimasi dan justifikasi kepala desa. Kondisi ini tidak lepas dari penunjukkan anggota LMD yang dilakukan kepala desa.

Bahkan, menurut catatan IRE-Ford Foundation (2001) terkooptasinya LMD juga karena posisi ketua dan sekretaris LMD bahkan dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (ex officio). Sehingga, meskipun posisi kepala desa dan LMD sejajar, institusi LMD sendiri tidak bisa menjadi alat kontrol yang efektif terhadap kinerja pemerintahan desa.

Kondisi ini diperparah dengan bentuk pertanggungjawaban LMD yang keatas, kepada kepala desa, bukan kepada masyarakat. Konsep ABS (asal bapak senang) akhirnya juga tumbuh berkembang.

Fungsi LMD yang kemudian berganti menjadi BPD dalam UU No 6/2014 diperbaharui sehingga seperti menjadi semacam badan legislatif. Dimana proses pemilihanya dilakukan secara demokratis, mewakili daerah serta tidak bolehnya anggota BPD untuk mengerjakan proyek desa. Fungsi BPD juga dilarang terlibat langsung dalam penyelanggaraan pemerintahan sebagaima UU No 32/2004. Tetapi, mengatur musyawarah desa, pengawas, pengontrol, dan memiliki hak berpendapat terhadap pemerintahan desa.  Atas peranya inilah, fungsi BPD sangat krusial dalam mengatur perencanaan pembangunan desa

Peranserta dari BPD juga sangat penting sebagai alat penyeimbang pemerintahan desa. Penguatan peran BPD juga ditujukan agar hubungan antara BPD dan kepala desa terjadi hubungan yang dominatif diantara satu dan yang lain, kolutif maupun konfliktual. Tetapi hubungan yang terjadi bersifat kemitraan, BPD yang kuat dan cerdas juga menjadi penyambung aspirasi masyarakat.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun