Pada titik ini penting untuk membangun demokrasi ala desa sebagaimana disebut Mohammad Hatta harus berpedoman pada 5 hal yakni : rapat, mufakat, gotong royong, hak mengadakan protes bersama dan hak menyingkir dari daerah.
Demokrasi desa menjadi simpul penting bagi rakyat untuk mengakses sumber daya negara yang dikelola desa karena kewenangan dalam asas rekognisi dan subsidiaritas.
Selain proses pemilihan kepala desa yang demokratis, UU Desa juga memuat prinsip-prinsip dasar pengelolaan desa yang bersifat strategis melalui musyawarah desa yang tidak hanya melibatkan Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tetapi tokoh masyarakat (Psl 54). Perencanaan pembangunan desa juga wajib dilakukan melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa (Psl 80 ayat 2)
Kontrol terhadap kinerja pemerintahan desa juga akan terpantau melalui BPD yang memiliki wewenang untuk mengawasi dan meminta keterangan penyelenggaraan desa (Psl 61). Masyarakat desapun berhak mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan desa (Psl 82 ayat 1). Bahkan secara tegas, seluruh aktivitas desa wajib untuk disampaikan kepada publik melalui sistem informasi desa (Psl 86).
Prinsip dasar yang menjadikan desa bisa mandiri jauh dari korupsi, demokratis dan bermartabat.
Selain itu tradisi gotong royong dan musyawarah sebagai ikon demokrasi asli nusantara harus dihidupkan. Menurut Hatta, demokrasi asli nusantara yang terus bertahan dibawah feodalisme karena di banyak tempat di Nusantara, tanah sebagai faktor produksi yang terpenting bukanlah kepunyaan raja, melainkan dimiliki bersama oleh masyarakat desa. Karena pemilikan bersama atas tanah desa ini, hasrat tiap-tiap orang untuk memanfaatkan tanah ini harus mendapatkan persetujuan kaumnya.
Hal inilah yang mendorong tradisi gotong royong dalama memanfaatkan tanah bersama yang merembet pada urusan-urusan lainya, termasuk mengenai hal-hal pribadi seperti mendirikan rumah. Ada hidup seperti itu membawa kebiasaan bermusyawarah menyangkut kepentingan umum, yang diputuskan secara mufakat.
Tradisi ini secara prinsipil telah mengakar dalam jiwa masyarakat desa. Demokrasi desa yang diletakkan dalam semangat kegotongroyongan, kekeluargaan serta musyawarah mufakat akan dapat membangun desa secara harmonis jauh dari korupsi.
BPD dan Harapan
Asas rekognisi dan subsidiaritas memang memberikan kuasa yang begitu absolut bagi pemerintah desa untuk mengatur kebijakan pembangunan secara lokal. Namun, apabila ditilik lebih dalam, UU juga memberikan ruang “check and balances” yang seimbang agar pemerintah desa/kepala desa tidak semena-mena mengelola desanya.
Peranan penyeimbang tersebut lahir dari fungsi Badan Permusyawartan Desa (BPD). Kehadiran BPD sendiri bermula dari amanat UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah.