Rasa dan warna baru kehadiran BPD berawal dari kritikan atas peran LMD yang seharusnya sebagai lembaga kontrol dan penyalur aspirasi masyarakat desa. Akan tetapi dalam kenyataanya hanya jadi alat legitimasi dan justifikasi kepala desa. Kondisi ini tidak lepas dari penunjukkan anggota LMD yang dilakukan kepala desa.
Bahkan, menurut catatan IRE-Ford Foundation (2001) terkooptasinya LMD juga karena posisi ketua dan sekretaris LMD bahkan dijabat oleh kepala desa dan sekretaris desa (ex officio). Sehingga, meskipun posisi kepala desa dan LMD sejajar, institusi LMD sendiri tidak bisa menjadi alat kontrol yang efektif terhadap kinerja pemerintahan desa.
Kondisi ini diperparah dengan bentuk pertanggungjawaban LMD yang keatas, kepada kepala desa, bukan kepada masyarakat. Konsep ABS (asal bapak senang) akhirnya juga tumbuh berkembang.
Fungsi LMD yang kemudian berganti menjadi BPD dalam UU No 6/2014 diperbaharui sehingga seperti menjadi semacam badan legislatif. Dimana proses pemilihanya dilakukan secara demokratis, mewakili daerah serta tidak bolehnya anggota BPD untuk mengerjakan proyek desa. Fungsi BPD juga dilarang terlibat langsung dalam penyelanggaraan pemerintahan sebagaima UU No 32/2004. Tetapi, mengatur musyawarah desa, pengawas, pengontrol, dan memiliki hak berpendapat terhadap pemerintahan desa. Atas peranya inilah, fungsi BPD sangat krusial dalam mengatur perencanaan pembangunan desa
Peranserta dari BPD juga sangat penting sebagai alat penyeimbang pemerintahan desa. Penguatan peran BPD juga ditujukan agar hubungan antara BPD dan kepala desa terjadi hubungan yang dominatif diantara satu dan yang lain, kolutif maupun konfliktual. Tetapi hubungan yang terjadi bersifat kemitraan, BPD yang kuat dan cerdas juga menjadi penyambung aspirasi masyarakat.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H