Mohon tunggu...
Nur DhuhaniaAhaddina
Nur DhuhaniaAhaddina Mohon Tunggu... Dokter - Medical doctor

Full time mother and wife Part timer medical doctor

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Bukan Pilihan (Part 8)

10 Januari 2020   14:45 Diperbarui: 10 Januari 2020   14:48 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Hani masib rebahan santai di dalam tenda. Matanya sudah terlalu mengantuk untuk tidak terpejam. Sebersit rasa takut gara-gara cerita teman-temannya tadi siang sedikit mengganggunya. Tapi dia tidak ambil pusing. Baginya kenikmatan tidur itu mengalahkan apapun.

Arif berpatroli mengelilingi tenda-tenda yang berdiri berwarna warni. Dia mengarahkan senternya ke setiap sudut.

"Rif, kayaknya aku nggak usah tanya kamu mau patroli di mana. Aku sama Cahyo ke arah tenda cowok. Kamu sama Aan di sini aja. Ya seandainya kamu mau menikmati malam romantis lagi, ada Aan yang mencegah melakukan hal-hal yang diinginkan", Fajar masih sempat menggoda Arif sebelum kakinya beranjak ke arah kumpulan tenda putra.

Arif hanya diam saja. Mau menyangkal apa lagi, omongan Fajar memang sangat tepat.

Entah apa yang membimbing kaki Arif. Tanpa sadar dia bergerak ke arah tenda putri kelas 1.4. Di situ ada dua tenda untuk dua regu. Satu diketuai Anis satu lagi Sari ketuanya. Arif tidak perlu lama-lama untuk tahu di mana tenda Hani. Dia berdiri di kejauhan diam-diam mengamati siluet yang tampak tertidur dari luar tenda.

Hani asyik saja tidur, tidak perasaan jika ada yang mengamatinya. Nyenyak saja tidurnya karena lelah yang teramat sangat karena kegiatan tadi siang. Hani masih saja terbuai mimpi saat didengarnya suara seperti kehebohan yang luar biasa. Jeritan anak-anak perempuan bersahutan. Hani terlalu malas untuk ambil peduli. Ditutupnya kedua telinga dengan ransel agar tak terganggu dengan kehebohan tadi.

Arif tersentak dengan jeritan yang tiba-tiba terdengar. Dia segera menghampiri sumber suara. Di sana sudah ada tiga temannya yang lain sedang menenangkan seorang gadis yang tampak sangat ketakutan. Siswa lain yang ditugasi jaga tenda berhamburan keluar, penasaran apa yang telah terjadi.

"Kenapa, Dik?", Fajar bertanya. Sementara Cahyo berusaha menghubungi seksi kesehatan dengan walkie talkie di genggamannya.

"Sssaaayaaa ttaaattaakuutt.." hanya kata-kata terbata yang keluar dari mulut Farida. Ketakutan masih sangat menguasainya. Gelas air putih yang disodorkan Ira teman sekelasnya diminumnya pelan-pelan. Lumayan menenangkan dirinya yang masih diliputi ketegangan.

Farida tidak mampu berkata-kata lagi. Tubuhya mendadak lunglai dan jatuh pingsan. Cahyo dan Aan membantu mengangkat Farida untuk dibawa ke pos senior. Fajar masih tinggal di situ untuk mencari tahu penyebab Farida histeris.

Terkuak penyebabnya karena Farida merasa melihat penampakan sesosok berbaju putih dan berambut panjang awut-awutan. Sosok itu menyeringai ke arah Farida. Dan saat berbalik tak disangka punggungnya bolong. Tentu saja Farida ketakutan setengah mati.

Kehebohan pun melanda semua anak yang di situ. Tidak ada yang berani sendirian di dalam tenda. Apalagi anak perempuan. Banyak diantara mereka mulai menangis dan berpelukan.

"Gimana enaknya, Rif. Kalau di sini ga kondusif lagi deh kayaknya. Pada takut semua. Mending semua dibawa ke lapangan aja deh", Fajar buka suara

Arif melongok-longok mencoba mencari sesosok gadis yang sedari tadi diawasinya. Tidak ambil peduli dengan kalimat Fajar.

"Eh, Bro. Woi, nyari siapa sih? Dari tadi aku ngomong sama sekali nggak ada tanggapan",  Fajar kesal dengan tingkah Arif.

"Eh iya, maaf. Yasudah gimana baiknya aja menurutmu. Aku manut lah."

"Yowes, yuk kita antar mereka ke lapangan. Tenda biarkan kosong lah, ya. Siapa juga yang mau nyolong tenda", Fajar sudah mulai berjalan tapi dilihatnya Arif masih berdiri terpaku.

"Ya Allah, Arif. Ngapain sih? Ayo jalan! Ngomong sama orang kasmaran itu beneran ngeselin, deh!"

"Halah apaan sih, Jar", Arif terus berjalan mengekori Fajar.

"Eh, sebentar, Jar. Aku balik tenda. Perasaanku kok nggak enak ya. Kayak ada yang ketinggalan", langkah Arif mendadak berhenti.

"Alaah! Itu kasihmu yang ketinggalan. Anak 1.4", teriakan Fajar dari kejauhan tidak mengusik Arif. Setengah berlari ia kembali ke tempat tenda-tenda didirikan.

Hani masih tertidur lelap. Tidak sadar kalau tinggal seorang diri di situ. Dia terbangun saat merasa mendengar bunyi dan geli di kakinya seperti ada sesuatu yang merambati.

"Huwaaaa!!! Ya Allah", jantung Hani hampir terloncat keluar. Kakinya lunglai tidak bisa digerakkan demi dilihatnya seekor makhluk hitam panjang merayap di situ. Mukanya pun pucat pasi. Mau berteriak pun lidahnya kelu. Hanya mampu terduduk kaku.

Arif mendengar teriakan Hani dari kejauhan. Segera berlari secepatnya menuju arah sumber suara.

Sesampai di depan tenda, segera disibakkannya kain yang menghalanginya. Arif pun menahan nafas, melihat apa yang ada di ujung kaki Hani.

Dari pengetahuan dan pengalamannya ular berwarna gelap dan berkepala segitiga termasuk golongan tidak berbisa. Dengan santainya Arif mengambil kantong kain seadanya dan ular kecil itu dipegang dan dimasukkan kantong. Dibawanya pergi agak jauh sebelum dilepaskannya ular tidak berdosa ke dalam rerimbunan pohon dan semak yang seharusnya jadi tempat tinggalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun