Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mintalah Karcis Parkir, Jangan Pernah Takut

12 Agustus 2023   21:47 Diperbarui: 13 Agustus 2023   07:36 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosialisasi gerakan minta karcis parkir di Taman Bungkul. foto: diskominfo surabaya

Suatu siang, saya memarkir motor di sebuah pelataran pertokoan di Surabaya. Sedikitnya lebih 50 motor kendaraan roda dua parkir di situ. Motor-motor tersebut ditata rapi. Bukan hanya di pelataran toko, tapi juga meluber di badan jalan.

Tiap pengguna jasa parkir yang datang selalu disambut dengan juru parkir (jukir), yang dalam pengamatan saya ada tiga orang. Motor yang parkir diminta tidak dikunci setir.

Bisa ditebak kalau hal Itu sengaja dilakukan agar mereka bisa cepat memindah motor bila ada yang keluar-masuk.

Untuk bayar parkirnya, jukir meminta ketika kendaraan mau keluar. Di genggaman tangan ada karcisnya resmi dari dinas perhubungan dan beberapa lembar uang pecahan Rp 50 ribu, Rp 20 ribu, Rp 10 ribu, dan Rp 2.000.

Nah, ketika akan keluar, jukir meminta saya membayar uang parkir. Saya lalu menyodorkan lembaran uang Rp 2.000. Saya sengaja tak beranjak dulu karena belum mendapat karcis parkir.

Setelah saya minta, jukir akhirnya menyobek karcis parkir itu kemudian diberikan kepada saya tanpa berucap sepatah kata pun.

Saya agak puas mendapat karcis parkir dengan nominal yang sama seperti yang tertera di karcis parkir.

Saya tak tahu, apakah banyak orang melakukan seperti saya: berani minta karcis parkir kepada jukir. Yang saya tahu, banyak yang tak kelewat memperkarakan. Alasannya sederhana, mereka tak ingin ribet apalagi ribut.

Hanya soal uang dua ribuan harus bersitegang dengan jukir. Harus eyel-eyelan. Maka, pilihannya hanya diam. Membiarkan tindakan jukir yang tak memberi karcis kepadanya.

Sementara praktik di lapangan, masalah parkir ini kerap tak terkontrol. Banyak jukir bersikap ugal-ugalan. Bukan hanya masalah karcis, tapi juga menarik uang jasa parkir melebihi ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku.

Di kawasan Ampel, saya pernah agak kaget ketika ditarik uang parkir motor Rp 5 ribu. Karena niat mbayari tiga teman lain yang bawa, jadinya uang Rp 50 ribu yang saya serahkan kemudian dikembalikan Rp 30 ribu. Itu pun tak ada selembar karcis parkir yang diberikan.

Dalam Pasal 19 Perda Surabaya Nomor 3 Tahun 2018 disebutkan, bahwa petugas parkir berkewajiban memberikan karcis parkir, tanda bukti, atau tanda bayar yang resmi dan sah kepada pengguna jasa parkir serta menuliskan nomor kendaraan yang parkir untuk setiap kali parkir.

***

Di Surabaya kini lagi ramai membahas masalah parkir. Gara-garanya, Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menyampaikan pernyatan keras.

Eri meminta kepada seluruh warga Surabaya gak usah membayar retribusi parkir apabila tak diberikan karcis.

"Kalau ada parkir yang bayarnya tidak ada karcis, jangan dibayar, di manapun. Nanti tolong kalau ada yang bayar, kasih uangnya, foto (juru parkir) kasih ke saya. Tapi saya minta warga Surabaya jangan pernah mau bayar," kata Eri dalam keterangan pers, Senin (7/8/2023).

Bagaimana kalau jukir memaksa minta uang? Eri meminta agar warga segera menghubungi Command Center (CC) 112, layanan darurat milik Pemkot Surabaya.

Di CC 122 itu disiapkan aparat gabungan Pemkot Surabaya. Ada dari Satpol PP, Bakesbang Linmas, petugas kesehatan yang di-backup polisi.

Saya pernah memanfaatkan CC 122 itu. Ketika mengalami insiden kecelakaan di Jalan Gubeng. Lumayan sigaplah. Aparat yang bertugas cukup cepat menangani. Kebetulan yang saya alami tidak kelewat berat, sehingga gak sampai dirujuk ke rumah sakit.

Kenapa Eri sampai geram? Ternyata, dia ngaku mendapat pesan WA. Isinya pengaduan dari warga. Eri tidak disebutkan namanya. Warga itu mengeluh. Katanya, saat parkir di depan RS Siloam (dekat Kantor BPJS Kesehatan), dia tak diberi karcis.

Eri juga mengingatkan kepada seluruh jukir agar tidak narik uang parkir melebihi ketentuan yang berlaku.

Dia juga mengancam menindak jukir mokong dan jukir liar. Jukir di bawah pembinaan Dinas Perhubungan Surabaya diberi sanksi tindak pidana ringan (Tipiring) dan sekaligus dicabut dari petugas parkir.

Apakah ada efek jera? Belum. Yang jelas dampaknya tidak kelewat masif. Masih banyak jukir yang tidak memberikan karcis. Entah karena tidak tahu informasi atau memang mokong.

Tiga hari setelah pernyataan keras wali kota, aparat dinas perhubungan turun ke lapangan. Mereka melakukan sosialisai gerakan minta karcis parkir. Sala satunya di Taman Bungkul.

Sosialisasi tak hanya menyasar kepada para jukir, tetapi juga kantong-kantong parkir yang berada di tepi jalan Surabaya. Kepada beberapa pengguna jasa di Taman Bungkul disampaikan, supaya minta karcis parkir.

Laporan Dinas Perhubungan Surabaya, saat ini terdapat sekitar 1.300 titik parkir tepi jalan yang berada di bawah pengelolaannya. Titik-titik parkir tersebut, lokasinya tersebar di seluruh wilayah Surabaya.

Kalau sepanjang jalan atau tepi jalan umum ada parkir, tidak ada rambu larangan P, berarti itu resmi. Tetapi kalau di kawasan perumahan, itu milik aset pengembang dan bukan menjadi kewenangannya.

***

Saya selalu antusias membahas masalah parkir ini. Karena sejak dulu, urusan ini gak kelar-kelar. Rasanya berat sekali menyelesaikannya.

Padahal untuk menemukan faktanya sangat mudah. Coba saja aparat menyaru jadi warga yang menggunakan jasa parkir, pasti banyak jukir yang melanggar!

Ada beberapa catatan saya. Pertama, sejak dulu, Dinas Perhubungan terlihat kedodoran mengatur perparkiran. Baik dari segi piranti kebijakan, finansial, maupun ketertiban.

Kedua, para jukir sengaja "mendaur ulang" karcis parkir, sehingga bisa digunakan sekian kali. Jadinya, jukir bisa mengeruk keuntungan besar dari karcis parkir yang didaur ulang tersebut.

Tepatnya jika tidak memberikan karcis, maka uang parkir yang dibayar oleh pengguna jasa, otomatis masuk ke kantong pribadi jukir.

Ketiga, dalam memungut retribusi parkir, Dinas Perhubungan menggunakan jasa katar (koordinator jukir). Para katar ini hampir semua memiliki titik parkir. Secara otomatis mereka mengelola dan mendapatkan finansial.

Para katar ini tentu sangat paham dengan potensi lahan perparkiran. Lantas, sudah sejalankah antara potensi parkir dan setoran yang diserahkan para katar ke dinas perhubungan?

Keempat, lemahnya pengawasan menjadikan potensi kebocoran parkir sangat besar. Terlebih karcis merupakan salah satu alat kontrol akumulasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi parkir.

Rasanya sungguh mengherankan, persoalan kebocoran retribusi parkir kok tidak pernah terurai dengan baik hingga sekarang, baik dari sisi faktor teknis maupun non teknis. Bahkan kecenderungannya ada yang "melegalisasi" terhadap pungutan retribusi yang ilegal.

Kelima, solusi mengatasi kebocoran ini sejatinya juga terang berderang. Bisa menggunakan model parkir prabayar. Tiap masyarakat bisa mengurus stiker atau semacamnya guna digunakan membayar parkir. Cara mendapatkannya bekerja sama dengan Samsat setempat.

Satu lagi, memberlakukan parkir elektronik (e-parking). Dengan e-parking, pemilik kendaraan tak perlu memberi uang tunai. Ada sensor yang bisa mendeteksi plat nomor kendaraan.

Lewat cara digital sejatinya jauh ampuh menekan peluang kebocoran dan mempercepat pelayanan.

Dengan begitu, kita sangat berharap penataan masalah parkir dilakukan secara serius dan tegas. Bukan hanya muncul sesaat, lalu hilang seperti yang sudah-sudah. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun