Dia juga mengancam menindak jukir mokong dan jukir liar. Jukir di bawah pembinaan Dinas Perhubungan Surabaya diberi sanksi tindak pidana ringan (Tipiring) dan sekaligus dicabut dari petugas parkir.
Apakah ada efek jera? Belum. Yang jelas dampaknya tidak kelewat masif. Masih banyak jukir yang tidak memberikan karcis. Entah karena tidak tahu informasi atau memang mokong.
Tiga hari setelah pernyataan keras wali kota, aparat dinas perhubungan turun ke lapangan. Mereka melakukan sosialisai gerakan minta karcis parkir. Sala satunya di Taman Bungkul.
Sosialisasi tak hanya menyasar kepada para jukir, tetapi juga kantong-kantong parkir yang berada di tepi jalan Surabaya. Kepada beberapa pengguna jasa di Taman Bungkul disampaikan, supaya minta karcis parkir.
Laporan Dinas Perhubungan Surabaya, saat ini terdapat sekitar 1.300 titik parkir tepi jalan yang berada di bawah pengelolaannya. Titik-titik parkir tersebut, lokasinya tersebar di seluruh wilayah Surabaya.
Kalau sepanjang jalan atau tepi jalan umum ada parkir, tidak ada rambu larangan P, berarti itu resmi. Tetapi kalau di kawasan perumahan, itu milik aset pengembang dan bukan menjadi kewenangannya.
***
Saya selalu antusias membahas masalah parkir ini. Karena sejak dulu, urusan ini gak kelar-kelar. Rasanya berat sekali menyelesaikannya.
Padahal untuk menemukan faktanya sangat mudah. Coba saja aparat menyaru jadi warga yang menggunakan jasa parkir, pasti banyak jukir yang melanggar!
Ada beberapa catatan saya. Pertama, sejak dulu, Dinas Perhubungan terlihat kedodoran mengatur perparkiran. Baik dari segi piranti kebijakan, finansial, maupun ketertiban.
Kedua, para jukir sengaja "mendaur ulang" karcis parkir, sehingga bisa digunakan sekian kali. Jadinya, jukir bisa mengeruk keuntungan besar dari karcis parkir yang didaur ulang tersebut.