Tepatnya jika tidak memberikan karcis, maka uang parkir yang dibayar oleh pengguna jasa, otomatis masuk ke kantong pribadi jukir.
Ketiga, dalam memungut retribusi parkir, Dinas Perhubungan menggunakan jasa katar (koordinator jukir). Para katar ini hampir semua memiliki titik parkir. Secara otomatis mereka mengelola dan mendapatkan finansial.
Para katar ini tentu sangat paham dengan potensi lahan perparkiran. Lantas, sudah sejalankah antara potensi parkir dan setoran yang diserahkan para katar ke dinas perhubungan?
Keempat, lemahnya pengawasan menjadikan potensi kebocoran parkir sangat besar. Terlebih karcis merupakan salah satu alat kontrol akumulasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi parkir.
Rasanya sungguh mengherankan, persoalan kebocoran retribusi parkir kok tidak pernah terurai dengan baik hingga sekarang, baik dari sisi faktor teknis maupun non teknis. Bahkan kecenderungannya ada yang "melegalisasi" terhadap pungutan retribusi yang ilegal.
Kelima, solusi mengatasi kebocoran ini sejatinya juga terang berderang. Bisa menggunakan model parkir prabayar. Tiap masyarakat bisa mengurus stiker atau semacamnya guna digunakan membayar parkir. Cara mendapatkannya bekerja sama dengan Samsat setempat.
Satu lagi, memberlakukan parkir elektronik (e-parking). Dengan e-parking, pemilik kendaraan tak perlu memberi uang tunai. Ada sensor yang bisa mendeteksi plat nomor kendaraan.
Lewat cara digital sejatinya jauh ampuh menekan peluang kebocoran dan mempercepat pelayanan.
Dengan begitu, kita sangat berharap penataan masalah parkir dilakukan secara serius dan tegas. Bukan hanya muncul sesaat, lalu hilang seperti yang sudah-sudah. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H