Atau, menyebut rombengan saya itu kalau ditukar nilainya setara dolar. Kalau seperti itu kan hasilnya pasti gede. "Pasti rombengan yang elite," kata beberapa teman yang masih dengan rasa penasaran.
Saya sungguh menyadari kegundahan mereka. Seperti yang saya rasakan sebelum resign. Bagaimana menahan perasaan tertekan lantaran sudah tak sejalan dengan harapan dan impian. Bekerja pun tak bisa sepenuh hati.
Dengan beberapa alasan yang melatarbelakangi. Yang merasa stuck, gaji gak naik-naik, tidak sesuai passion, lingkungan kerja toxic, merasa dipimpin orang zalim, dan masih banyak lagi.
*** Â Â
Seperti Pepatah Jawa, "Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang."Â (Hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat).
Pendeknya, jangan membanding-bandingkan kehidupan seseorang dengan orang lain, karena apa yang dipandang belum tentu seindah atau semudah yang tampak.
Jangan mudah menyimpulkan dari apa yang terlihat oleh mata. Namun lihatlah juga dari apa yang tak terlihat melalui mata hati.
Termasuk berlaku bagi diri saya yang tak seindah yang mereka lihat dan bayangkan. Tidak seperti yang mereka persepsikan. Karena faktanya banyak halangan dan cobaan yang harus dilalui.
Pun dengan banyaknya kegagalan yang saya alami. Kerugian yang harus saya tanggung dalam waktu lama. Banyak sekali. Tapi saya berusaha sekuat tenaga tak mengeluh, karena hal itu tak akan menyelesaikan persoalan. Ujungnya, saya hanya bisa mengucap syukur bisa mendapat penghasilan dari kemampuan yang saya miliki.
Saya ceritakan pada mereka, saya memulai aktivitas menulis dari nol. Bisa ikut kelas jurnalistik tapi gak bayar karena rela jadi kru untuk membantu panitianya. Bisa bertahan kuliah dengan mengandalkan honorarium menulis di beberapa media massa.
Saya mulai bekerja sebagai jurnalis di media komunitas. Bentuknya tabloid. Oplahnya gak lebih 5.000 eksemplar. Masa itu, jumlah tersebut tergolong sedikit.