Jumlahnya tidak ingat, tapi lumayan banyaklah. Begitu ketika ditanya berapa banyak orang yang pernah mengajak saya berdiskusi terkait keinginan untuk resign (mengundurkan diri). Bahkan ada yang merencanakan "banting setir" atau career switch. Â
Kenapa memilih saya? Karena mereka menganggap saya nyaris gak banyak masalah setelah resign dari perusahaan media, 2011. Bekerja selama enam belas tahun sebagai jurnalis. Hingga menduduki puncak karir dengan menjabat pemimpin redaksi. Â
Di mata mereka, saya kok terlihat adem ayem saja. Mulus-mulus saja melakoni kegiatan pasca resign. Ikhlas-ikhlas saja menjalani keadaan. Menerima yang telah menjadi keputusan.
Mereka juga mengaku mengamati akun media sosial saya. Tidak ada postingan yang berisi ngudo roso (curhat). Atau berkomentar dan memberi penilaian buruk terhadap perusahaan di mana saya pernah bekerja di sana. Justru mereka sering melihat saya bersama kawan baru, komunitas baru, dan aktivitas baru.
Ada satu lagi yang bikin teman-teman saya penasaran. Ya, setiap ditanya, apa sih aktivitas saya sekarang. Saya bilang, "Lagi ngrombeng."
Apa itu ngrombeng? Bagi orang Surabaya, menyebut ngrombeng itu untuk mewakili mereka yang punya kegiatan memungut barang-barang bekas alias rongsokan. Barang bekas lalu disulap menjadi uang. Gampangnya begitulah.
Tentu saja banyak yang menyeringai mendengar jawaban saya tersebut. Sebagian lainnya menyatakan tidak percaya sama sekali. Menganggap saya tidak serius. Ada juga yang mengira kalau saya lagi "pencitraan". Merendahkan diri, menaikkan mutu, begitu kelakar mereka.
Saya pun hanya senyum-senyum saja mendengar berbagai respons mereka. Seraya manggut-manggut sambil menikmati betapa mereka semakin kepo dengan jawaban-jawaban yang saya lontarkan.
Lucunya, ada yang saking gak sabarnya, rela mencari  informasi kepada teman-teman saya lainnya. Intinya sama, apa sih yang yang saya lakukan, bekerja di mana saya sekarang, kok kalau ditanya bilangnya lagi ngrombeng.
Kadang saya juga ngakak sendiri. Semisal, ada yang tiba-tiba nyerocos kalau barang yang saya rombeng itu bentuknya berupa semacam kapal tongkang atau kapal pesiar.
Atau, menyebut rombengan saya itu kalau ditukar nilainya setara dolar. Kalau seperti itu kan hasilnya pasti gede. "Pasti rombengan yang elite," kata beberapa teman yang masih dengan rasa penasaran.
Saya sungguh menyadari kegundahan mereka. Seperti yang saya rasakan sebelum resign. Bagaimana menahan perasaan tertekan lantaran sudah tak sejalan dengan harapan dan impian. Bekerja pun tak bisa sepenuh hati.
Dengan beberapa alasan yang melatarbelakangi. Yang merasa stuck, gaji gak naik-naik, tidak sesuai passion, lingkungan kerja toxic, merasa dipimpin orang zalim, dan masih banyak lagi.
*** Â Â
Seperti Pepatah Jawa, "Urip iku mung sawang sinawang, mula aja mung nyawang sing kesawang."Â (Hidup itu hanya tentang melihat dan dilihat, jadi jangan hanya melihat dari apa yang terlihat).
Pendeknya, jangan membanding-bandingkan kehidupan seseorang dengan orang lain, karena apa yang dipandang belum tentu seindah atau semudah yang tampak.
Jangan mudah menyimpulkan dari apa yang terlihat oleh mata. Namun lihatlah juga dari apa yang tak terlihat melalui mata hati.
Termasuk berlaku bagi diri saya yang tak seindah yang mereka lihat dan bayangkan. Tidak seperti yang mereka persepsikan. Karena faktanya banyak halangan dan cobaan yang harus dilalui.
Pun dengan banyaknya kegagalan yang saya alami. Kerugian yang harus saya tanggung dalam waktu lama. Banyak sekali. Tapi saya berusaha sekuat tenaga tak mengeluh, karena hal itu tak akan menyelesaikan persoalan. Ujungnya, saya hanya bisa mengucap syukur bisa mendapat penghasilan dari kemampuan yang saya miliki.
Saya ceritakan pada mereka, saya memulai aktivitas menulis dari nol. Bisa ikut kelas jurnalistik tapi gak bayar karena rela jadi kru untuk membantu panitianya. Bisa bertahan kuliah dengan mengandalkan honorarium menulis di beberapa media massa.
Saya mulai bekerja sebagai jurnalis di media komunitas. Bentuknya tabloid. Oplahnya gak lebih 5.000 eksemplar. Masa itu, jumlah tersebut tergolong sedikit.
Tabloid komunitas itu akhirnya gulung tikar setelah penerbitan yang kelima. Faktornya klise, biaya operasional tak nyucuk (sebanding) dengan pendapatan yang diperoleh.
Hingga kemudian saya bergabung di media mainstream, tahun 1997. Dari status magang selama 1,5 tahun sampai diangkat menjadi karyawan. Saat kerja awal gajinya gak sampai Rp 100 ribu sebulan. Masa itu, uang segitu untuk hidup membujang saja bisa dibilang kurang. Melakoninya kerja di media massa hingga belasan tahun sampai mempensiunkan diri.
Juga tak seperti yang mereka kira. Saya pernah menjajal usaha. Menjadi pedagang, menyewa stan di pasar. Investasinya dari uang tabungan dan dapat kredit usaha rakyat (KUR). Barang yang saya jual berupa aksesoris dan garmen.
Dua tahun lebih menjalani usaha. Ujungnya pahit. Usaha bangkrut. Barang habis, uang juga tak berbekas. Saya tidak tahu bagaimana kok bisa begitu hasil akhirnya.
Belakangan saya baru paham kalau saya tidak bisa mengontrol usaha itu. Barang dagangan yang keluar tidak dicek secara benar. Hanya percaya pada karyawan saja.
Saya juga pernah bikin usaha dengan beberapa teman. Semacam event organizer. Mengerjakan beberapa project dengan dukungan dari instansi dan sponsor. Hasilnya lumayan juga.
Tapi ending-nya usaha tersebut bubar juga. Karena persoalan krisis kepercayaan. Lagi-lagi urusan uang. Uang bisa membuat semuanya berantakan. Hubungan pertemanan pun menjadi retak. Seperti gelas pecah yang berserakan.
Tak salah bila Ian Antonto menciptakan lagu berjudul Uang yang hits dibawakan lady rocker, Nicky Astria.
Memang uang bisa bikin orang senang bukan kepalang/Namun uang bisa juga
Bikin orang mabuk kepayang
Lupa sahabat/lupa kerabat/Lupa saudara/Mungkin juga lupa ingatan
***
Ketika pembicaraan mulai rada serius, saya selalu bertanya begini, "Sudah kamu pikir bener ta mau resign? Kamu berani menghadapi dunia baru, orang-orang baru, dan mungkin hasil yang sebelumnya baru kamu rasakan ketika sudah menjalani?"
Sebagai ilustrasi, saya biasanya memberikan beberapa perspektif yang mungkin bisa membantu mereka berpikir lebih jernih sebelum mereka memutuskan mau hengkang atau resign.
Pertama, faktor lingkungan kerja. Ini yang sering mereka keluhkan. Orang-orang yang tidak asyik, kurang ramah, individualis, dan sebagainya. Ini memang sangat subjektif. Karena bisa jadi, diri kita yang terlambat atau belum bisa beradaptasi.
Jadi, mestinya bisa mengoreksi diri. Kalau pun Anda bayangkan di tempat kerja baru tidak akan menemuinya, saya kok yakin hal itu tak akan terjadi. Tetap saja akan Anda menemui orang yang tidak suka dengan Anda, tidak pas kepribadian Anda, bersaing dengan Anda, dan seterusnya. Â Â Â
Kedua, pikirkanlah usia dengan target hidup yang ingin dicapai. Memang relatif sulit, tapi setidaknya bisa jadi catatan diri sendiri. Tidak sekadar mengandalkan nyali.
Jika usia sudah di atas 35 tahun, misalnya. rasanya perlu mempertimbangkan seberapa kuat dan seberapa cepat bisa bertarung di tempat kerja baru. Ini bila Anda masih menggunakan kemampuan dan ketrampilan yang sama. Artinya, bekerja di bidang yang sama.
Ketiga, mereka yang merasa tidak ingin lagi bekerja sebagai karyawan. Ingin bikin usaha sendiri. Bisa membuka lapangan kerja sendiri. Termotivasi kisah sukses para pengusaha yang mereka baca dari buku-buku inspiratif. Â
Sungguh tidak masalah. Cita-cita yang bagus. Tentu dengan konsekuensi harus belajar dan mengasah ketrampilan dan kemampuan di luar bidang yang dikerjakan semula. Â
Lalu pertanyaan, bagaimana menemukan partner yang baik dan cocok? Karena sebagian besar kegagalan bisnis disebabkan adalah gagalnya menjahit potensi yang ada. Juga, bagaimana mengatasi klien-klien yang brengsek atau punya niat buruk kepadamu.
Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN yang juga pengusaha, pernah memberi nasihat kepada saya. Dia bilang, kalau lihat pengusaha itu jangan dari suksesnya saja, tapi belajarlah dari kegagalannya. Dari dari situ Anda bisa mengambil jalan keluar bisa menemui masalah nanti.
So, saya selalu bilang bukan ingin menggurui, kalau masih ragu dan tidak yakin dengan keputusanmu, jangan pernah berpikir untuk resign dulu. Bekerjalah dengan sepenuh hati, meski ada orang yang selalu iri dan dengki kepadamu.
Tapi, bila Anda yakin pilihan membuka usaha adalah yang terbaik, maka laksanakanlah dengan keyakinan penuh. Gantunglah asa setinggi untuk meraih hasil terbaik. Banyak kisah dan bukti keberhasilan mereka yang mau beralih profesi.
Saya sepenuhnya yakin keberuntungan itu selalu berpihak pada orang yang bersungguh-sungguh. Rezeki itu selalu datang kepada orang yang konsisten atau istikamah melakukan pekerjaannya, kendati mereka tak pernah tahu kapan datangnya. (agus wahyudi) Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H