Tabloid komunitas itu akhirnya gulung tikar setelah penerbitan yang kelima. Faktornya klise, biaya operasional tak nyucuk (sebanding) dengan pendapatan yang diperoleh.
Hingga kemudian saya bergabung di media mainstream, tahun 1997. Dari status magang selama 1,5 tahun sampai diangkat menjadi karyawan. Saat kerja awal gajinya gak sampai Rp 100 ribu sebulan. Masa itu, uang segitu untuk hidup membujang saja bisa dibilang kurang. Melakoninya kerja di media massa hingga belasan tahun sampai mempensiunkan diri.
Juga tak seperti yang mereka kira. Saya pernah menjajal usaha. Menjadi pedagang, menyewa stan di pasar. Investasinya dari uang tabungan dan dapat kredit usaha rakyat (KUR). Barang yang saya jual berupa aksesoris dan garmen.
Dua tahun lebih menjalani usaha. Ujungnya pahit. Usaha bangkrut. Barang habis, uang juga tak berbekas. Saya tidak tahu bagaimana kok bisa begitu hasil akhirnya.
Belakangan saya baru paham kalau saya tidak bisa mengontrol usaha itu. Barang dagangan yang keluar tidak dicek secara benar. Hanya percaya pada karyawan saja.
Saya juga pernah bikin usaha dengan beberapa teman. Semacam event organizer. Mengerjakan beberapa project dengan dukungan dari instansi dan sponsor. Hasilnya lumayan juga.
Tapi ending-nya usaha tersebut bubar juga. Karena persoalan krisis kepercayaan. Lagi-lagi urusan uang. Uang bisa membuat semuanya berantakan. Hubungan pertemanan pun menjadi retak. Seperti gelas pecah yang berserakan.
Tak salah bila Ian Antonto menciptakan lagu berjudul Uang yang hits dibawakan lady rocker, Nicky Astria.
Memang uang bisa bikin orang senang bukan kepalang/Namun uang bisa juga
Bikin orang mabuk kepayang
Lupa sahabat/lupa kerabat/Lupa saudara/Mungkin juga lupa ingatan
***
Ketika pembicaraan mulai rada serius, saya selalu bertanya begini, "Sudah kamu pikir bener ta mau resign? Kamu berani menghadapi dunia baru, orang-orang baru, dan mungkin hasil yang sebelumnya baru kamu rasakan ketika sudah menjalani?"