***
Suatu hari, H. Syafi'i pernah ditemui KH. Nurhasan Al Ubaidah Lubis, pimpinan Darul Hadits. Sebagai muslim, H Syafi'i menerima dengan tangan terbuka kedatangan Nurhasan Al Ubaidah itu.
Dari pembicaraan, Nurhasan Al Ubaidah lalu menyampaikan niatnya untuk mengajak H. Syafi'i bergabung dengan Darul Hadits. "Namun kakek kami menolak," beber Abdul Rachman.
Dalam perjalanan, H. Syafi'i tidak melanjutkan aktivitas usahanya. Apotek Bahagia miliknya lebih dulu dijual. Dia memang ingin membagi harta kekayaan yang dimiliknya untuk untuk 11 anaknya.Â
Sementara rumah di Jalan Peneleh Nomer 37 dijual tahun 1982 setelah H. Syafi'i meninggal dunia. Yang membeli Hasan Abeldan. Dia punya usaha percetakan. Dia dikenal pengusaha dan pengurus Muhammadiyah.
"Hanya kakek berpesan sebelum meninggal, kalau rumah itu boleh dijual, tapi masjid tidak boleh dibongkar," kata Rachman yang kini tinggal di Jakarta.
Rumah yang dulu dipakai usaha konveksi itu oleh Syafi'i tersebut akhirnya diganti menjadi usaha percetakan yang memiliki label Karunia. Â
"Keluarga kami mengamini wasiat Mbah Pi'i (H.Syafi'i, red). Makanya, ayah tidak mau membongkar Masjid Bahagia itu," ungkap Rusdi Kurniawan, anak kedua H. Hasan Abdan.
Rusdi lalu mengungkapkan, saat mengelola Masjid Bahagia itu ayahnya dibantu Abdillah (dulu menjabat ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Surabaya).
Ada lagi yang juga aktif membantu, namanya M Jasin. Dia pejabat di Pemerintah Kota Surabaya, sempat menjabat sebagai Sekretaris Kota Surabaya era Wali Kota Sunarto Sumoprawiro.