Di pasar tradisional, meski kotor dan becek, mereka sangat senang mendatanginya. Karena persepsi mereka, di pasar ada etos kerja, mereka yang bekerja siang dan malam, dan tanggung jawab.
Beberapa hari lalu, saya ikut mendampingi kunjungan mahasiswa dan dosen Federation University of Australia. Mereka antusias diajak ke kawasan Ampel, Makam Belanda Peneleh, dan blusukan ke Sumur Jobong di Kampung Pandean.
Kedua, model kerja sama dengan investor atau pihak ketiga. Sampai sekarang Pemerintah Kota Surabaya belum menjelaskan secara detail. Siapakah yang menjadi operatornya? Di mana posisi pegiatan seni budaya jika THR-TRS setelah selesai direvitalisasi?
Di Surabaya ada Dewan Kesenian Surabaya (DKS). Lembaga tersebut dibentuk oleh SK Wali Kota Surabaya. Punya kantor di kompleks Balai Pemuda Surabaya
Awalnya, DKS sering menjadi mitra untuk berkegiatan. Namun belakangan agak jarang terlihat berkolaborasi lagi. Lantas, bagaimana menempatkan posisi DKS tersebut?
Ketiga, keberadaan Hi-Tech Mall. Sampai sekarang Hi-Tech Mall masih ada di kompleks THR. Hanya aktivitas pedagangnya sudah sangat jauh berkurang. Bisa dibilang sepi.
Para pedagang Hi-Tech Mall sudah banyak yang pindah di mal lain. Di antaranya di ITC Mega Grosir, Kaza City Mall, dan Plaza Marina. Selain di mal, mereka juga aktif berjualan online.Â
Beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Surabaya menyatakan akan melakukan optimalisasi aset eks gedung Hi-Tech Mall dalam bentuk sewa. Jika sudah ada pihak ketiga yang menyewa, Hi-Tech Mall bisa cepat difungsikan sebagaimana mestinya.
Pola yang bisa mengintegrasikan aktivitas bisnis dengan seni dan budaya harus segera dirumuskan. Setidaknya ada dialog yang sehat, sehingga kepentingan keduanya bisa berjalan beriringan.
Surabaya perlu menghidupkan ruang-ruang berekspresi. Menyediakan wahana seni dan budaya adalah salah satunya.
Masyarakat butuh oase yang menyejukkan dan menyehatkan. Karena sesuai fitrahnya, manusia memiliki emosi, imajinasi atau perasaan untuk menikmati dan berkarya dengan segala keindahannya. (agus wahyudi)