Saya diplot menulis Manten Pegon. Tradisi upacara atau prosesi pernikahan Surabaya. Yang mulai populer di era kolonial sekitar abad ke-19. Memiliki keunikan dan sangat identik dengan karakteristik masyarakat Surabaya yang multikultural, egaliter, dan terbuka.
Kilau Manten Pegon kian hari kian meredup. Masyarakat Surabaya makin jarang yang menggunakan Manten Pegon untuk melaksanakan pesta pernikahan. Hanya sebagian kecil, itu pun yang tinggal di beberapa kawasan pinggiran.
Kantong-kantong berkesenian di Surabaya juga tidak bergairah. Bahkan sebagian sudah tidak ada lagi. Dulu, Surabaya punya Akademi Seni Rupa Surabaya (Aksera). Berdiri sejak tahun 1967-1972. Yang mendirikan para seniman Surabaya.
Sejarahnya, Aksera mewadahi calon seniman dalam bentuk pendidikan formal. Serta banyak mencetak seniman besar yang mewarnai khasanah dunia seni rupa Indonesia, di antaranya, Thalib Prasojo, Hardi, Dwijo Sukatmo, Nunung WS, Ari Setiawan, dan lainnya.
Aksera sebelumnya melakukan aktivitas di Balai Pemuda. Kemudian pindah di kawasan Dukuh Kupang. Keberadaan Aksera tidak kelewat cemerlang sekarang. Pemerintah Kota Surabaya juga tak tergerak untuk menyelamatannya.
***
Kini, THR dan TRS dalam proses revitalisasi. Salah satu tujuannya untuk mewadani aktiviitas seni dan budaya. Menyediakan tempat untuk para pegiat seni dan budaya.
Ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, penataan baru THR-TRS tersebut harus dibarengi konsep yang matang. Jangan sampai hanya mengejar target, penataan THR-TRS yang baru nanti tidak banyak manarik dan tidak merangsang publik untuk datang.
Pemerintah Kota Surabaya perlu mendengar masukan komunitas maupun pegiat seni dan budaya. Juga para pelaku usaha yang bergerak di sektor pariwisata.
Ada pengalaman seorang teman. Dia biasa mengantar turis dari kapal pesiar. Bagi wisatawan asing, tak ada yang menarik dari keriuhan di mal. Justru tempat-tempat tersembunyi seperti di pasar tradisional, makam tua, blusukan di kampung yang membuat mereka antusias datang.