Dua jam lebih kami mengobrol. Robert lalu mengajak ke ruang utama. Kami melihat sajian makanan yang tersaji dan ditata rapi di atas meja panjang.
"Kalau Imlek gini pastinya ada lima makanan yang wajib ada, ayam, bebek, babi, bandeng, dan kepiting," jelas Robert.
Selain lima menu itu, juga ada kue tok, kue wajik, lapis legi, dan beberapa makanan tradisonal lainnya. Ada juga jeruk, rambutan, dan tebu.
Kami juga diajak melihat proses membakar uang. Ketika itu, Robert dan Hubert menata uang palsu, emas palsu, dan pakaian palsu di dalam bejana.
Tradisi yang dilakukan secara turun-temurun selama ribuan tahun. Uang yang digunakan bukan uang asli yang biasa digunakan bertransaksi di kehidupan sehari-hari.
Saya sempat bertanya, makna tradisi membakar uang ini? "Biar rezekinya diganti," ucap Robert, lalu tersenyum.Â
Di kalangan orang Tionghoa, tradisi membakar uang menggunakan uang palsu, diyakini dapat memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang telah meninggal di akhirat.
Uang bisa membeli kebahagiaan bahkan di akhirat. Sehingga dengan membakar uang palsu bisa memastikan bahwa leluhurnya memiliki banyak uang di dunia setelah kematian.
Pun membakar uang arwah juga merupakan bentuk pemujaan terhadap para leluhur yang mana leluhur punya kekuatan untuk mempengaruhi kekayaan atau nasib anggota keluarganya yang masih hidup.
Api melahap habis barang-barang itu di bagian samping Rumah Abu Han. Kami kemudian pamit undur diri, di saat matahari mulai meninggi. (agus wahyudi)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H