Menurut Mizan Lazim, dari 15 tenaga pendidik di Madrasah Mufidah, gaji terendah sebesar Rp 750 per bulan, sedang gaji tertinggi sebesar Rp 2 juta sebulan.
"Ya, tentu tidak sebanding dengan sekolah-sekolah lain," aku dia.
Keterbatasan finansial itu membuat pengelola Madrasah Mufidah harus putar otak lebih keras. Di satu sisi, mereka dituntut menambah siswa dan memperbaiki kualitas sekolah. Sementara budget promosi sangat terbatas. Jangankan untuk iklan atau bikin event, untuk cetak leaflet promosi sekolah saja mereka harus berhitung benar.
Meski terbilang gajiya relatif kecil, namun hampir sepuluh tahun lebih tidak ada guru Madrasah Mufidah yang resign alias mengundurkan diri.
"Ada satu sih, mundur karena bekerja di luar kota, tapi kemudian ingin bergabung kembali. Saya bilang kebutuhan sekarang tidak nambah guru, tapi nambah siswa," ucap Mizan, lalu tersenyum.
Dari kecilnya pendapatan itu, banyak guru Madrasah Mufidah yang mengajar les. Itu dilakukan di luar aktivitas sekolah yang masuk pukul 07.00 dan pulang pukul 13.20.
"Para guru bisa lembur di sini sampai jam 10 malam. Mereka ngajar les setelah selesai mengajar di sekolah," beber Mizan.
Pengajaran di Madrasah Mufidah telah melahirkan siswa-siswa bertalenda. Khususnya pelajaran membaca Alquran. Beberapa siswa madrasah mampu memenangi lomba tahfidz dan tartil yang diadakan diluar sekolah. Beberapa piala yang ditunjukkan salah satunya Lombah Tahfidz yang diadaan SD Al Irsyad Surabaya.
"Di sini ada delapan guru yang khusus mengajar Alquran," sebut dia.
Madrasah Mufidah sudah berusia 100 tahun alias satu abad, terhitung sejak didirikan tahun 1922. Dengan segala keterbatasan, madrasah ini mampu bertahan di tengah persaingan sekolah yang ketat. Â Seperti namanya, Mufidah yang terus menebar manfaat dan berguna bagi masyarakat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H