Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mbah Progo, Pancasila, dan Buku Pramoedya

5 Juni 2021   17:10 Diperbarui: 5 Juni 2021   18:40 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
H Moch Said alias Mbah Progo. foto:golkaria.blogspot.com

Saya sungguh beruntung punya dua guru. Satu guru politik, yakni H. Moch. Said (kini sudah meninggal). Karib disapa Mbah Progo. Satu lagi, guru jurnalistik, namanya Dahlan Iskan. Mantan bos Jawa Pos Group dan kini mendirikan Disway. 

H. Moch. Said atau Mbah Progo adalah tokoh terkemuka di Jawa Timur.  Pria kelahiran Lamongan, 13 Mei 1921 itu, pernah menjabat Ketua DPRD Jawa Timur, Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Sebutan akrab Mbah Progo tersebut lantaran dia memang tinggal di Jalan Progo 10-14, Surabaya. Lokasinya tepat di belakang Taman Bungkul yang legendaris.

Rumah Mbah Progo cukup besar. Ada tiga rumah yang ia punyai. Rumah bekas peninggalan Belanda. Hanya satu yang ditempati. Dua rumah sisanya dipakai kantor.

Mbah Progo tokoh terkemuka dan disegani. Banyak politisi, birokrat, petinggi TNI dari level regional dan nasional yang sowan ke Mbah Progo. Dari minta petuah sampai lobi politik.

Sebagai politisi Golkar saat itu, Mbah Progo sangat piawai bertutur. Bicaranya lancar. Wawasannya luas. Dia menguasai betul materi yang dibicarakan.

Salah satu pejabat tinggi yang menemuinya adalah Akbar Tandjung. Yang pernah menjabat Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPR RI. Kalau lagi melawat ke Jawa Timur hampir pasti dia akan berkunjung ke rumah Mbah Progo.

Ketika dalam satu sesi wawancara, saya pernah menanyakan sosok Mbak Progo kepada Akbar Tandjung. Akbar bilang kalau Mbah Progo adalah guru politiknya. "Saya sangat menghormati beliau," ucap dia.

Gatot Sudjito (anggota DPR RI, kini sudah almarhum) mengatakan, dari dulu Mbah Progo memang selalu jadi jujugan pejabat tinggi.

"Ibaratnya kalau mereka ke Jawa Timur harus ngunduh kaweruh (memetik ilmu) dulu ke Mbah Progo." 

Gatot juga mengaku murid Mbah Progo. Di era 1980-an, saat itu dia menjabat Ketua DPD Golkar Surabaya dan Ketua KNPI Jawa Timur, acap berhubungan langsung dengan Mbah Progo. Baik secara kelembagaan maupun personal.

Sisi lain dari Mbah Progo, jelas Gatot, adalah sikap sembodonya. Dia punya kekuatan finansial memadai. Bahkan berlebih. Selain sebagai pemimpin parpol. Mbah Progo punya Candra Wilwatikta (taman budaya yang telah dikenal dengan pergelaran sendra tarinya), pengelola Universitas Wijaya Kusuma, Rumah Makan Dewi Sri, dan masih banyak lagi.

Gaya kepemimpinan Mbah Progo terlihat sangat lekat dengan kultur Jawa. Yang berkecenderungan feodalistik dan paternalistik. Makanya, mereka yang ingin dekat dengannya harus benar-benar menyelami karakternya.

Mbah Progo dikenal memiliki ketajaman mengamati masalah sosio-politik dan geo-politik di Jawa Timur. Khususnya menyangkut kawasan Mataraman dan Tapal Kuda. Tak salah banyak orang belajar dan menggali informasi darinya. 

***

Dahlan Iskan. foto:mobillistrik.net
Dahlan Iskan. foto:mobillistrik.net

Saya tak perlu menceritakan tentang sosok Dahlan Iskan. Karena banyak sekali referensi tentang dia. Ibaratnya, Dahlan orang yang terkenal. Dia pernah menjabat Dirut PLN dan Menneg BUMN.       

Yang ingin saya ceritakan adalah hubungan Mbah Progo dan Dahlan Iskan. Keduanya adalah sahabat karib. Meski keduanya berbeda profesi dan preferensi. Bahkan bisa dibilang berseberangan. Mbah Progo di dunia politik, Dahlan asyik dengan dunia jurnalistik.

Dahlan mengenal Mbah Progo cukup lama. Semasa masih menjabat ketua DPRD Jawa Timur dan Ketua DPD Golkar Jawa Timur. Saking akrabnya, hubungan Dahlan dan Mbah Progo seperti bapak dan anak.

Dahlan biasa bicara terbuka dengan Mbah Progo. Seperti saat Dahlan menggoda Mbah Progo seperti ini: "Pak, kalau suara masyarakat di bawah, orang-orang yang dekat dengan Pak Said pasti masuk surga, sebab mereka sudah lama masuk neraka."

Mendengar itu, Mbah Progo pun terkekeh-kekeh. Guyonan Dahlan itu dianggap sangat menghibur. Di tengah banyak avonturir dan komprador politik yang berebut kekuasaan dengan mendekati Mbah Progo saat itu.

Meski sangat akrab, Mbak Progo juga pernah marah dengan Dahlan. Gara-garanya pemberitaan Jawa Pos, koran yang dipimpin Dahlan. Kala itu, Jawa Pos gencar memberitakan tentang kiprah Golkar sebagai partai penguasa. Yang membuat Mbah Progo "tersinggung".

"Abang ijone Jawa Pos aku wis weruh. Aku isok nutup Jawa Pos. (semua hal tentang Jawa Pos saya tahu. Saya bisa membredel Jawa Pos)," begitu kata Mbah Progo.

Dahlan yang mendengar ancaman itu segera menemui Mbah Progo. Mbah Progo saat itu menghadiri acara penataraan P4 di Pandaan, Pasuruan.

"Pak Said saya ini orang kecil. Kalau Jawa Pos dibredel, saya nderek (ikut) Pak Said saja," tutur Dahlan merendah.

Spontan, amarah Mbah Progo reda. Senyum Mbah Progo pun mengembang. Mbah Progo menyadari gak sampai hati mewujudkan ancamannya itu. Dia Hanya reaksi sesaat. 

Mbah Progo tak pernah lagi mengungkit-ungkit peristiwa itu. Belakangan, dia malah merekom Dahlan ke panggung politik. Dan, Dahlan pun menjadi anggota MPR dari Utusan Golongan, 1987-1992.

***

Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)
Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.(KOMPAS.com/ HERU MARGIANTO)

Ada lagi, pengalaman lucu yang pernah dialami Dahlan Iskan.  Ketika Dahlan sering berkunjung ke rumah Mbah Progo. Terlebih saat Mbah Progo lebih banyak melakukan aktivitas di rumah.

Di rumah, Dahlan melihat Mbah Progo masih suka membaca buku. Tumpukan buku-buku terlihat di mejanya. Belum terhitung yang di rak buku. Dahlan berpikir, di usianya yang telah beranjak senja, ketika lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, Mbah Progo punya banyak waktu untuk membaca.

Suatu ketika, seperti yang diceritakan Dahlan kepada saya, dia datang lagi ke rumah Mbah Progo. Kali ini, dia membawa sejumlah buku-buku karya Pramoedya Ananta Toer.

Dahlan bilang ke Mbah Progo kalau buku-buku karya Pram (begitu biasa menyebutnya) sangat bagus. Ceritanya menarik. Datanya kuat. Cara menulisnya juga sangat apik. 

Dahlan lalu menyodorkan beberapa buku, antara lain Arus Balik, Arok Dedes, dan Bumi Manusia. Pikir Dahlan, masa dari tahun ke tahun hanya belajar Ketuhanan Yang Maha Esa atau mungkin pendidikan kewarganegaraan.

"Sekali-kali baca buku karya orang yang dituding komunis atau mungkin atheis," seloroh Dahlan, lalu tersenyum.

Lalu, apa respons Mbah Progo? Dahlan menceritakan kalau Mbah Progo tak banyak komentar. Hanya terdiam. Dia hanya melihat cover buku, membaca back cover dan beberapa lembar isinya namun hanya sekilas. Buku-buku itu kemudian diletakkan di meja.

Dahlan senyum-senyum saja melihat reaksi Mbah Progo. Dia pun tak melanjutkan membahas buku-buku Pram. Mengalihkan dengan mengajak bicara topik lain. 

Menanyakan aktivitas keseharian Mbah Progo. Juga membahas masalah-masalah aktual yang terjadi saat itu. 

Hal itu diyakini Dahlan, jauh lebih menyenangkan hati Mbah Progo. Ketimbang membicarakan buku-buku Pram yang dianggap Dahlan fenomenal tersebut.

Ketika Dahlan pamit pulang. Mbah Progo menahannya. "Sebentar," ucap Mbah Progo, kemudian dia beranjak dari tempat duduknya..

Mbah Progo masuk ke dalam kamarnya. Beberapa saat, dia keluar dengan membawa buku-buku, kemudian diberikan kepada Dahlan. Buku-buku  tentang Pancasila dan berisi doktrin P4 (Pengetahuan Penghayatan Pengamalan Pancasila).

Rupanya, Mbah Progo ingin "membalas" dengan memberi buku-buku tersebut. Tentu saja Dahlan menerimanya dengan tangan terbuka. Membawa pulang pemberian Mbah Progo itu.

Suatu hari, Dahlan berkunjung lagi ke rumah Mbah Progo. Dahlan sengaja membawa buku-buku Pram lagi. Buku-buku itu diberikan Mbah Progo. Reaksi Mbah Progo sama seperti sebelumnya. Diam, dan hanya membolak-balik sekilas isi buku.

Ketika Dahlan pulang, Mbah Progo kembali memberi "balasan" dengan memberikan buku-buku tentang Pancasila kepada Dahlan. Lucunya, kejadian sampai berlangsung tiga kali.

Kenapa Mbah Progo bersikap seperti itu? Entahlah. Namun belakangan diketahui, buku-buku Pram menggoda hati Mbah Progo. Dia pun membacanya. Ketika Mbah Progo sakit, buku-buku Pram terlihat berserakan di ranjangnya.

Pengakuan Mbah Progo, ada realitas yang kurang dipahami oleh Pemerintah Orde Baru. Mbah Progo juga mendapat setting kehidupan yang menyentuh setelah membaca buku-buku Pram.

Hingga Mbah Progo wafat, istrinya, Musfijah, mengumpulkan buku-buku Pram tersebut. Buku-buku tersebut kemudian diserahkan ajudannya, Adi Arudji, untuk dikembalikan kepada Dahlan Iskan. (agus wahyudi)

     

 

   

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun