Eep mengaku sering mendapat ide ketika sedang nyetir mobil. Dia sering mendikte istrinya untuk mencatat apa saya yang terlintas di benaknya karena takut lupa.
Â
5. Punya prime time yang konsisten
Ada teman bilang begini: menulis dipengaruhi faktor mood. Kalau suasana batinnya beku, emosi gak stabil, perasaanya lagi tak menentu, sulit menungkan dalam karya.
Okay, memang mood dibutuhkan. Tapi ada saatnya kita juga harus melawan mood yang jelek (bad mood). Artinya, kita tak bisa membiarkan perasaan kita larut dalam suasana batin yang buruk. Karena mood sendiri adalah keadaan emosional yang timbul hanya untuk sementara.
Banyak cerita dari pengarang, penulis, seniman yang tidak bisa berkarya karena bad mood. Karyanya tidak jelek, tapi tidak banyak. Pada akhirnya, kehidupan sosial ekonominya berantakan. Â
Dalam hal ini saya sepakat dengan Dewi Lestari, penulis perempuan yang banyak melahirkan karya-karya bestseller. Dee, julukan dia, punya waktu khusus untuk menulis. Punya waktu bermeditasi.
Dee menentukan kapan waktu menulis, kapan lagi off. Dia rela berhenti sejenak untuk menulis dan menyempatkan waktunya bersama keluarganya. Dee punya deadline. Punya target. Â
Begitu pun yang saya lakukan. Saya punya kebiasaan menulis setelah salat dhuha. Kemudian bergeser setelah salat tahajud. Artinya, ada prime time. Waktu yang paling favorit untuk menulis. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H