Pada awal semester, saya bersyukur bisa bergabung di Suara Indonesia, koran grup Jawa Pos. Meski saat itu masih berstatus magang karena saya masih kuliah.
Uang dari bekerja sebagai jurnalis lumayan membantu untuk kebutuhan hidup. Dan yang pasti, saya tidak meminta uang ibu lagi untuk bayar kuliah.
Berkat doa dan dukungan ibu, saya menuntaskan kuliah. Â Saat itu, saya sudah menikah dan istri sedang mengandung anak pertama. Â Â Â
Saya mengajak ibu saat diwisuda. Saya ajak dia melihat keriuhan dan upacara wisuda yang sakral. Ibu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Melihat saya menggenggam ijazah dan memakai toga.
Sepanjang berjalan, ini menggandeng erat tangan saya. Dia juga yang menggiring saya untuk photo session. Hasil foto dibawa pulang dan dibingkai, lalu dipasang di rumah.
*** Â
Di rumah, ibu masih punya kesibukan di toko kelontong. Toko itu awalnya cukup besar. Omzetnya sehari lumayan besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan periuk nasi dan biaya sekolah kami.
Namun seiring perjalanan waktu, omzet toko itu makin merosot. Ini seiring makin menjamurnya ritel modern. Di mana banyak orang menggeser aktivitas belanja di ritel-ritel tersebut.
Semua anak-anaknya menganjurkan ibu untuk menutup toko itu. Toh, saban bukan dia sudah mendapat uang dari semua anaknya. Kalau mau disewakan saja. Biar bisa jadi passive income. Ibu gak perlu capek-capek menungguinya.
Namun ibu menolak. Ibu tak mempermasalahkan toko itu gak ramai. Karena dia memakai toko itu untuk mengajar mengaji orang-orang yang masih malu datang ke masjid.