Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kartini dan Kenangan Lagu Sampul Surat

21 April 2021   19:15 Diperbarui: 21 April 2021   19:20 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu bersama kakak perempuan menunaikan ibadah Umroh, 2018.foto:dok/pribadi

Memilih mengucapkan terima kasih kepada ibuku. Tepat di Hari Kartini. Ketika banyak orang mengunggah pahlawan perempuan di Indonesia itu. Ibuku, Siti Zulaichah. Dialah pahlawanku.  

Ibuku perempuan hebat. Mengorbankan semua hidupnya untuk anak-anaknya. Sejak ayahku, Mianto, meninggal tahun 1986, ibu berjuang keras membesarkan anak-anaknya.

Kami delapan bersaudara. Ketika ayah meninggal, tiga orang kakak sudah bekerja. Sementara lima orang lainnya, termasuk saya yang bungsu, masih sekolah.  

Ibu sangat mengutamakan urusan pendidikan anak-anaknya. Karenanya, dia selalu mendorong kami bisa kuliah sampai lulus. Bukan hanya meraih gelar kesarjanaan, tapi juga punya ketrampilan.

Ibu tak pernah mengeluh soal biaya. Pernah dua kakak perempuan saya yang a sama-sama diterima di perguruan tinggi negeri (PTN). Satu di Institut Pertanian Bogor (IPB), satunya di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. 

Kala itu, dana awal untuk masuk kuliah cukup besar. Ibu merelakan uang tabungan untuk menutupi biaya masuk PTN tersebut. Karena belum cukup, ibu juga merelakan satu motor yang biasa kami pakai bergantian, dijual.

Perjuangan ibu tak sia-sia. Anak-anaknya bisa mewujudkan impian bisa menempuh pendidikan sampai perguruan tinggi. Meski dalam perjalanannya harus nyambi kerja.

Ibu diapit anak dan menantu.foto:dok/pribadi
Ibu diapit anak dan menantu.foto:dok/pribadi
Saya sendiri tergolong telat kuliah. Empat tahun setelah lulus SMA, tahun 1990, saya baru masuk kuliah. Setelah bekerja serabutan. Menjadi helper di perusahaan dinamo, penjaga gudang kontraktor di Ajinomoto, sales buku, dan lainnya.

Waktu masuk kuliah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris Universitas Muhammadiyah Surabaya, saya menerima uang dari ibu.

Uang itu hanya cukup untuk pendaftaran dan SPP beberapa bulan saja. Selebihnya saya harus mencari sendiri. Terhitung, 4 tahun setelah lulus SMA saya masuk perguruan tinggi.

Saya memaksimalkan keterampilan menulis. Saya juga aktif di kegiatan kemahasiswaan. Hasilnya, saya punya peluang menapaki karir organisasi. Banyak relasi. Banyak teman.

Pada awal semester, saya bersyukur bisa bergabung di Suara Indonesia, koran grup Jawa Pos. Meski saat itu masih berstatus magang karena saya masih kuliah.

Uang dari bekerja sebagai jurnalis lumayan membantu untuk kebutuhan hidup. Dan yang pasti, saya tidak meminta uang ibu lagi untuk bayar kuliah.

Berkat doa dan dukungan ibu, saya menuntaskan kuliah.  Saat itu, saya sudah menikah dan istri sedang mengandung anak pertama.      

Saya mengajak ibu saat diwisuda. Saya ajak dia melihat keriuhan dan upacara wisuda yang sakral. Ibu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Melihat saya menggenggam ijazah dan memakai toga.

Sepanjang berjalan, ini menggandeng erat tangan saya. Dia juga yang menggiring saya untuk photo session. Hasil foto dibawa pulang dan dibingkai, lalu dipasang di rumah.

***  

Ibadah di Tanah Suci bareng menantu dan anak perempuan.foto:dok/pribadi
Ibadah di Tanah Suci bareng menantu dan anak perempuan.foto:dok/pribadi
Ketika semua anak-anak sudah bekerja dan punya rumah, ibu memilih tetap di rumah induk. Rumah yang dulu kami tempati bersama. Di rumah itu ibu ditemani kakak perempuan yang sudah berkeluarga.

Di rumah, ibu masih punya kesibukan di toko kelontong. Toko itu awalnya cukup besar. Omzetnya sehari lumayan besar. Cukup untuk memenuhi kebutuhan periuk nasi dan biaya sekolah kami.

Namun seiring perjalanan waktu, omzet toko itu makin merosot. Ini seiring makin menjamurnya ritel modern. Di mana banyak orang menggeser aktivitas belanja di ritel-ritel tersebut.

Semua anak-anaknya menganjurkan ibu untuk menutup toko itu. Toh, saban bukan dia sudah mendapat uang dari semua anaknya. Kalau mau disewakan saja. Biar bisa jadi passive income. Ibu gak perlu capek-capek menungguinya.

Namun ibu menolak. Ibu tak mempermasalahkan toko itu gak ramai. Karena dia memakai toko itu untuk mengajar mengaji orang-orang yang masih malu datang ke masjid.

Ibu berada di bandara Internasional Juanda sebelum berangkat umroh.foto:dok/pribadi
Ibu berada di bandara Internasional Juanda sebelum berangkat umroh.foto:dok/pribadi
Ada puluhan murid ibu dari berbagai usia yang datang mengaji. Dari yang membaca Iqra sampai Alquran. Mayoritas murid ibu dari orang-orang sekitar rumah.

Bukan hanya itu saja. Toko itu juga dijadikan ibu sebagai tempat biro jodoh. Sejak lama ibu punya kebiasaan mentaarufkan mereka yang masih jomblo. Mereka yang mencari pasangan hidup.

Banyak yang ditaarufkan ibu berhasil sampai ke jenjang pernikahan. Tapi ada juga yang tidak berhasil alias tidak berjodoh. Ibu hanya bisa berdoa yang terbaik.   

Tahun 2015, ibu menunaikan ibadah haji. Tidak ada yang mendampingi. Ketika di dalam pesawat terbang, ibu didatangi beberapa pramugari. Setelah menyapa dengan salam,  mereka lalu memerkenalkan diri.

Sejurus kemudian, para pramugari itu memberikan secarik kertas berisi tulisan nama-nama. Para pramugari ini minta didoakan agar segera menemukan jodoh.

"Lho, kamu cantuk-cantik kok masih cari jodoh?"

"Ah, ibu. Doakan ya, bu."

 Ibu menerima selembar kertas itu, lalu dimasukkan di dalam tas. Ibu mendoakan semua orang di Tanah Suci.

 

***

Ibu di ultah ke-75 tahun.foto:dok/pribadi
Ibu di ultah ke-75 tahun.foto:dok/pribadi
Tepat di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70, saya menemui ibu di rumah induk. Seperti biasa, saya mengajak ibu tetap bersemangat agar segera sembuh.

Ibu cukup lama sakit. Kakinya sulit digerakkan. Makannya juga agak susah. Kepalanya sering berasa barat. Pusing. Ibu terbiasa tidur-tiduran di ranjang.

Saat itu, tiba-tiba, Ibu ingin dibantu duduk. Dia tahu Hari Proklamasi. Dia ingat masa-masa perjuangan.  

Ibu kemudian bernyanyi. Meski sakit, lirik dan syair yang dinyanyikan terdengar jelas. Lagu-lagu lawas yang ia ingat. Saya merekam beliau menyanyi dengan smartphone.

 Salah satu lagu yang dinyanyikan berjudul Sampul Surat. Lagu tersebut sempat dinyanyikan Lilis Surjani, kemudian dipopulerkan lagi oleh Sundari Sukoco.

Sepuluh tahun yang telah lalu/Di waktu pagi yang cerah/Datanglah sepucuk surat/yang telah lama kunantikan

Betapa riang rasa hatiku/ Tak dapat kuceritakan Segera kubuka sampulnya/Dengan penuh pengharapan....

Ibu meninggal di usia 75 tahun. Di saat semua anak-anaknya sudah mentas. Sudah berumah tangga. Semua anaknya mengaku bangga. Terlebih bisa memenuhi keinginan ibu: naik haji dan umroh. Ibu, semoga engkau mendapat terbaik di sisi Allah SWT. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun