Frandy Agustinus, peneliti EBC lainnya, menegaskan mal adalah salah satu wahana wisata masayarakat. Di mana mal menyediakan berbagai fasilitas hiburan, tempat nongkrong, dan tempat belanja.
"Kalau kemudian di mal ada rumah sakit, tentu kita bisa bertanya, bagaimana jaminan kesehatannya," ujar dia.
Bagi dia, berkunjung di mal harus memberikan kenyamanan, terjamin kebersihan, dan di masa pandemi ini banyak orang akan memilih tempat yang memiliki sirkulasi udara yang bagus.
Hikma Ilmia Fitri, peneliti EBC lainnya, mengatakan, tahun kedua pandemi pengunjung di mal mulai menunjukkan peningkatan. "Hanya kalau soal transaksi masih belum," cetusnya.
Fitri mengelola dua tenant di mal di Surabaya. Menjual produk-produk fashion. Dia menikmati kondisi di mal di masa pandemi. Dari Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mewajibkan mal buka pukul 12.00 sampai 19.00. Ketika Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), mal buka pukul 10 pagi, tutup pukul 8 malam. Sedang saat PPKM Mikro buka pukul 10 pagi, tutup pukul 9 malam.
"Meski dibatasi, tapi kita bayar sewanya tetap. Tidak ada kelonggaran. Tidak ada skema yang meringankan tenant," aku Fitri.
Fitri mengaku tahun pertama pandemi benar-benar memukul usahanya. Pasalnya, adanya pembatasan itu sangat berdampak pada pendapatan. Betapa tidak, pengunjung mal biasanya ramai pada jam 18.00 sampai jam 9 malam. Sementara pada jam-jam tersebut mal harus tutup.
"Kita dipaksa buka, sementara kunjungan sepi," keluhnya.
Daya Beli Masih Tinggi
Belum bergairahnya aktivitas di mal di masa pandemi karena dipengaruhi faktor daya beli masyarakat yang menurun?