Nama Amien Rais kembali santer jadi perbincangan publik. Penyebabnya apa lagi kalau bukan rencana dia mendirikan partai baru. Amien akan segera meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN). Itu juga dikuatkan dengan keputusan Hanafi Rais, putra sulung Amien Rais, mundur dari PAN dan anggota DPR RI periode 2019-2024.
Rasanya agak janggal bin aneh jika Amien Rais harus meninggalkan PAN. Karena partai berlogo matahari terbit itu didirikan dengan susah payah di era reformasi. Dengan platform modern yang saat itu banyak mencuri perhatian banyak kalangan. Bahkan, salah satu isu Negara Federal yang dilontarkan Amien Rais, sempat menjadi perdebatan publik lantaran dianggap membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tahun 1998, saya ikut "mengawal" embrio pendirian PAN di Jawa Timur. Bukan sebagai fungsionaris maupun aktivis, tapi sebagai jurnalis. Masa itu, salah satu pelopornya, Djoko Susilo (mantan Dubes Swiss, kini sudah almarhum).
Saya juga mendapat tugas dari Suara Indonesia (sekarang menjadi Radar Surabaya) untuk meliput aktivitas Amien Rais di Jawa Timur. Di masa itu, beberapa kali saya ikut pertemuan Amien Rais. Dari pertemuan yang bersifat terbuka sampai yang tertutup. Juga keriuhan ketika Amien Rais dihadang sekelompok orang. Dari kabar Amien pergi diam-diam dibonceng motor menghindari kerumunan massa pendemo dirinya.Â
Suatu ketika di era reformasi, Amien Rais mengisi acara diskusi di Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Saya mengikuti acara yang tidak ada pemberitahuan ke publik. Aula PWM Jatim tempat berlangsungnya acara penuh sesak. Masa itu, Amien Rais memang jadi media darling. Banyak pernyataan dia yang layak muat karena menggugah keingintahuan publik. Apalagi dia disebut sebagai calon presiden dan tokoh reformasi.
Di sesi tanya jawab, saya berkesempatan mengajukan pertanyaan. "Nama Pak Amien santer disebut bersedia dicalonkan menjadi presiden. Menurut pengamat politik Eep Safullah Fatah, kalau Pak Amien mundur berarti mengkhianati demokrasi?"
Amien tersenyum mendengar pertanyaan saya. Dalam tanggapannya dia bercerita diskusi di YLBHI Jakarta. Saat itu, paranormal Permadi merangsek ke depan, lalu menyampaikan "tantangan", apakah Pak Amien bersedia dicalonkan jadi presiden? Amien spontan menjawab, "Insya Allah saya siap." Â Sejak itu, nama Amien Rais makin populer. Hingga dia mendirikan PAN dan menjadi ketua umum, 17 Agustus 1998.
Usai diskusi, di tengah kerumunan orang, saya sempat bersalaman dengan Amien Rais. Dia kemudian memeluk pundak saya seraya berucap, "Saya suka ada diskusi seperti ini. Tolong lebih ditingkatkan. Kalau bisa ada diskusi buku untuk membuka cakrawala pemikiran kita."
Saya sempat menulis opini di Jawa Pos soal pendirian PAN. Saya juga melontarkan kritik terhadap langkah Amien Rais yang tergopoh-gopoh dalam pendirian partai itu. Terutama kaitan dengan Muhammadiyah. Di mana sebelum PAN lahir, Amien masih menjabat ketua umum PP Muhammadiyah.Â
Banyak yang protes terkait artikel yang saya tulis. Sebagian orang menganggap saya gak paham politik dan "tidak membela" Amien Rais. Saya menjawab, kalau tidak sepaham silakan menanggapi melalui tulisan. Menulis opini tandingan. Tulisan berbalas tulisan. Jelas itu lebih indah.Â
Pernah saya mengejar berita eksklusif hingga menunggu Amien Rais di Bandara Juanda. Ketika itu, hanya saya dan Adi Sutarwijono (jurnalis Surya yang sekarang jadi ketua DPRD Surabaya) bisa masuk di ruang VIP Bandara Internasional Juanda.
Saat itu, Amien Rais bicara banyak hal soal kondisi bangsa mutakhir. Microcassette voice recorder saya letakkan di dekat kursi duduk Amien. Saya tak tahu kalau pembicaraan itu off the record. Hingga Amien tahu kalau ada yang merekam. Amien gak marah. Dengan bahasa sopan, dia hanya meminta rekaman dihapus. Â
***
Ketika Amien Rais sudah menjadi Ketua Umum PAN, saya berkenalan dengan Hanafi Rais. Perkenalan itu membuahkan pertemuan dan diskusi. Hingga akhirnya, Hanafi mengajak membentuk kelompok diskusi. Namanya, Jaringan Intelektual Muda Indonesia (JIMI).
Ada beberapa orang yang terlibat di kepengurusan JIMI. Di antaranya A. Hermas Thony (sekarang Wakil Ketua DPRD Surabaya). Charles Meikyansah (kini anggota DPR RI), Anna Lutfi (eks anggota DPRD Jatim, adik Anas Urbaningrum), Windiarto Kardono (kini Wasekjend PAN), dan saya diplot menjadi sekjen.
Salah satu kegiatan JIMI adalah menggelar diskusi tentang bertajuk "Pemilu dan Demokratisasi Indonesia" di Surabaya. Yang menjadi pembicara, Prof. Ichlasul Amal (guru besar UGM) dan Haryadi (dosen Unair).
Di mata saya, Hanafi sosok yang sederhana dan humble. Bicaranya datar, tidak meledak-ledak. Agak berbanding terbalik dengan sosok ayahnya yang sangat retorik dan lugas. Hanafi juga lebih terkesan sosok pendiam. Orang yang rakus membaca buku. Punya pengetahuan tentang politik dan tata kelola pemerintah yang luas.
Saya memprediksi, Hanafi memang dipersiapkan Amien Rais untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di PAN. Hanafi adalah anak ideologis dan biologis PAN. Bekal keilmuannya cukup bagus. Hanya butuh pengalaman dan jam terbang. Dan peluangnya makin terbuka setelah dia terpilih menjadi anggota DPR RI. Raising star-lah.
Namun kenyataan berkata lain. Hanafi memilih mundur. Alasannya, seperti yang ditulis dalam surat, pasca Kongres PAN pada Februari 2020, dia memiliki harapan PAN bisa menegakkan prinsip keadilan, menjaga keutuhan, dan kebersamaan kader. PAN, menurut Hanafi, telah melewati kongres yang sarat kekerasan dan mencoreng wajah partai.
Hanafi juga menyatakan mundur karena berbeda prinsip dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Dia kini benar-benar di barisan pembela ayahnya, Amien Rais. Meski adiknya, Mumtaz Rais, tidak sependapat dengan langkah Hanafi dan memilih tetap di PAN.
Isu partai politik baru akan didirikan Amien Rais bakal terus menggelinding. Ada yang yakin Amien Rais bakal mendeklarasikan partai baru karena kecewa dengan PAN. Namun ada pula yang meragukan karena Amien Rais kelewat mencintai PAN.
Amien Rais dan PAN adalah dua mata uang yang tak bisa dipisahkan. Dia bisa mewarnai suksesi kepemimpinan nasional. Menjadi king maker memenangi kontestasi pemilihan presiden.
Namun, seiring berjalannya waktu, Amien harus berhadapan dengan dinamika politik yang berubah cepat. Kekalahan di beberapa kontestasi pilpres, berikut kegagalan mendukung Prabowo Subianto menjadi presiden, merupakan catatan sejarah. Jika kehendak subjektif acap kali tak selaras dengan realitas objektif.
Semoga, Pak Amien menghitung benar niatnya berpisah dari partai yang dilahirkannya. Â (agus wahyudi)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H