Sontak, saya tercekat. Saya lihat istri duduk selonjor di lantai sambil memegangi perutnya. Rupanya dia baru turun tangga usai menjemur pakaian. Istri mengeluh perutnya sakit. Melilit hebat. Perutnya kaku.
Tanpa pikir panjang, saya bergegas membawa dia ke rumah sakit. Saya ambil selimut dari almari. Saat membopong istri keluar rumah, ada seorang pria melihat, lalu bertanya apa yang terjadi. Kemudian menawarkan mobilnya untuk dipakai membawa istri saya ke rumah sakit. Pria itu ternyata tamu tetangga sebelah. Saya tak tahu namanya. Dia bergegas mengantarkan saya dan istri ke RSUD dr Soetomo di Jalan Karangmenjangan, Surabaya.Â
Di depan pintu masuk rumah sakit, saya menurunkan istri. Saya dibantu tenaga medis membawa istri dengan kursi roda. Sebelum mendaftar ke loket, saya hampiri pria itu. Saya ambil beberapa lembar rupiah dari dompet. Saya berikan kepada dia. Bukan untuk ongkos sih, tapi sebagai tanda ucapan terima kasih, begitu pikir saya. Namun pria itu menolak. Dia mendoakan agar istri saya cepat pulih. Ketika tahu dia telah pergi, saya baru sadar belum sempat bertanya siapa namanya. Dan, hingga sekarang, saya tak pernah bertemu lagi dengan dia. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.
Penanganan medis di RSUD dr Soetomo lumayan cepat. Hasil pemeriksaan medis, istri saya dipastikan mengalami keguguran. Dia harus menjalani rawat inap. Saya tak kuasa menahan sedih dan berusaha mengikhlaskan.
***
Memasuki tahun kedua pernikahan. Belum ada tanda-tanda kehamilan istri saya. Tanpa sepengetahuan saya, istri beberapa kali menggunakan test pack. Hasilnya nihil alias negatif. Saya sempat beli test pack dengan merek berbeda. Berharap kemungkinan ada yang lebih akurat. Namun hasilnya tetap sama: negatif!
Kami disarankan datang ke Dr Bambang Sukaputra Sp.OG (k), spesialis kandungan. Yang memberi rekom Nany Wijaya (saat itu menjabat Direktur Jawa Pos). "Banyak yang berhasil (hamil, red)," kata Nany.Â
Saya kemudian datang ke tempat praktik Dr Bambang di Jalan Pucang Anom, Surabaya. Mengikuti saran dan menebus resep obat yang diberikan dia. Setahun berjalan, belum menunjukkan kemajuan. Dr Bambang mengaku sudah optimal. Perlakuannya sama seperti kepada pasien-pasiennya yang kemudian berhasil hamil.Â
Tapi, kenapa istri saya belum juga hamil? Yang bikin saya kaget jawaban Dr Bambang seolah "memvonis". "Piye, jeng. Wong ya sudah semua dilakukan. Obatnya juga yang terbaik. Gimana lagi."
Ketika itu, Dr Bambang memberi alasan, jika penyebab sulitnya hamil lantaran sel telur istri kecil. Sulit berkembang. Peluang lain dilakukan teropong. Atau bisa dijajaki ikut program bayi tabung! Saya cuma terdiam mendengar penjelasan dia.
Hari demi hari kami memikirkan program bayi tabung. Cari uang dari mana? Gaji jurnalis ditambah gaji istri yang berkerja sebagai perawat puskemas jelas gak cukup. Sementara, kerabat yang  tahu masalah kami, menawarkan berbagai pengobatan alternatif. Seperti minum air mineral yang telah didoai kiai, minum madu randu, minum jamu dengan ramuan khusus, dan mendatangi dukun pijat. Wis, pokoke akeh lah (Jumlahnya banyak, red).