Bagi saya, kebahagiaan usai menikah adalah punya momongan. Yang tentu bisa bikin semua keluarga bangga. Yang merangsang kerabat berebut menggendongnya. Gak penting dia cowok atau cewek. Pokoknya bayi yang sehat, nggemesin, dan montok.
Makanya, di tahun pertama pernikahan kami yang dilangsungkan pada 13 Agustus 1999, hati saya berbunga-bunga. Ini menyusul kabar dari istri jika dia telat datang bulan. Kebahagiaan makin membuncah manakala dia sodorkan hasil test pack, alat tes kehamilan. Di mana menunjukkan dua garis merah. Artinya, istri positif hamil!
Alhamdulillah. Begitu saya dan istri berucap syukur. Harapan yang ditunggu-tunggu akhirnya terkabul. "Tapi harus periksa ke dokter dulu. Memastikan, Mas," ucap dia dengan rona ceria.
Kami lantas pergi ke klinik. Tak meleset ternyata. Hasil pemeriksaan medis, istri positif hamil. Kami mendapat resep obat. Dokter menyarankan istri untuk tidak kerja kelewat berat.
Awalnya, semua berjalan normal-normal saja. Seperti lazimnya perempuan hamil, istri juga merasakan mual, gak enak makan, perut kembung, nyeri punggung bagian bawah, dan gampang lelah. Kalau pun ngidam, makanan paling sering dia minta adalah manisan mangga dan pangsit mie ayam.Â
Masa itu, kami sudah mengontrak rumah di Kampung Simolawang, Surabaya. Kami kerjakan semua urusan rumah tangga sendiri. Memasak, mencuci, nyetrika, dan masih banyak lagi. Di rumah kontrakan itu tempat menjemur pakaian ada di lantai dua.
Mamasuki bulan kedua kehamilan, cobaan itu datang. Saat sedang mengutak-atik computer di ruang depan, saya mendengar suara istri berteriak dan merintih.
"Aduh...."
"Ya Allah.."
"Ayah, ayah..."
Sontak, saya tercekat. Saya lihat istri duduk selonjor di lantai sambil memegangi perutnya. Rupanya dia baru turun tangga usai menjemur pakaian. Istri mengeluh perutnya sakit. Melilit hebat. Perutnya kaku.
Tanpa pikir panjang, saya bergegas membawa dia ke rumah sakit. Saya ambil selimut dari almari. Saat membopong istri keluar rumah, ada seorang pria melihat, lalu bertanya apa yang terjadi. Kemudian menawarkan mobilnya untuk dipakai membawa istri saya ke rumah sakit. Pria itu ternyata tamu tetangga sebelah. Saya tak tahu namanya. Dia bergegas mengantarkan saya dan istri ke RSUD dr Soetomo di Jalan Karangmenjangan, Surabaya.Â
Di depan pintu masuk rumah sakit, saya menurunkan istri. Saya dibantu tenaga medis membawa istri dengan kursi roda. Sebelum mendaftar ke loket, saya hampiri pria itu. Saya ambil beberapa lembar rupiah dari dompet. Saya berikan kepada dia. Bukan untuk ongkos sih, tapi sebagai tanda ucapan terima kasih, begitu pikir saya. Namun pria itu menolak. Dia mendoakan agar istri saya cepat pulih. Ketika tahu dia telah pergi, saya baru sadar belum sempat bertanya siapa namanya. Dan, hingga sekarang, saya tak pernah bertemu lagi dengan dia. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikannya.
Penanganan medis di RSUD dr Soetomo lumayan cepat. Hasil pemeriksaan medis, istri saya dipastikan mengalami keguguran. Dia harus menjalani rawat inap. Saya tak kuasa menahan sedih dan berusaha mengikhlaskan.
***
Memasuki tahun kedua pernikahan. Belum ada tanda-tanda kehamilan istri saya. Tanpa sepengetahuan saya, istri beberapa kali menggunakan test pack. Hasilnya nihil alias negatif. Saya sempat beli test pack dengan merek berbeda. Berharap kemungkinan ada yang lebih akurat. Namun hasilnya tetap sama: negatif!
Kami disarankan datang ke Dr Bambang Sukaputra Sp.OG (k), spesialis kandungan. Yang memberi rekom Nany Wijaya (saat itu menjabat Direktur Jawa Pos). "Banyak yang berhasil (hamil, red)," kata Nany.Â
Saya kemudian datang ke tempat praktik Dr Bambang di Jalan Pucang Anom, Surabaya. Mengikuti saran dan menebus resep obat yang diberikan dia. Setahun berjalan, belum menunjukkan kemajuan. Dr Bambang mengaku sudah optimal. Perlakuannya sama seperti kepada pasien-pasiennya yang kemudian berhasil hamil.Â
Tapi, kenapa istri saya belum juga hamil? Yang bikin saya kaget jawaban Dr Bambang seolah "memvonis". "Piye, jeng. Wong ya sudah semua dilakukan. Obatnya juga yang terbaik. Gimana lagi."
Ketika itu, Dr Bambang memberi alasan, jika penyebab sulitnya hamil lantaran sel telur istri kecil. Sulit berkembang. Peluang lain dilakukan teropong. Atau bisa dijajaki ikut program bayi tabung! Saya cuma terdiam mendengar penjelasan dia.
Hari demi hari kami memikirkan program bayi tabung. Cari uang dari mana? Gaji jurnalis ditambah gaji istri yang berkerja sebagai perawat puskemas jelas gak cukup. Sementara, kerabat yang  tahu masalah kami, menawarkan berbagai pengobatan alternatif. Seperti minum air mineral yang telah didoai kiai, minum madu randu, minum jamu dengan ramuan khusus, dan mendatangi dukun pijat. Wis, pokoke akeh lah (Jumlahnya banyak, red).
Sebagian tawaran itu kami ikuti. Tapi malah membuat kami bingung. Merasa tertekan. Antara yakin dan ragu. Bahkan, saking judegnya kami sering "cekcok" gara-gara menerima atau menolak tawaran pengobatan alternatif.
Hingga tahun ketiga pernikahan, masih belum ada tanda-tanda kehamilan. Saya dan istri pasrah. Jika memang ini kehendak-Nya, kami terima. Kami pun sudah ancang-ancang mengadopsi anak.
Kami sepakat "puasa" bicara kehamilan. Kami juga putuskan tak datang lagi ke tempat praktik Dr Bambang Sukaputra. Sekarang, menjalani dan menikmati hidup. Membebaskan semua beban pikiran. Santai-santai saja. Gak kelewat ribet.
Kala itu, saya benar-benar merasakan betapa penting arti kesehatan. Dalam bermuhasabah (merenung), saya sepantasnya bersyukur. Ujian belum diberi momongan itu mah kecil. Sebab, banyak orang yang hidup berkecukupan tak bisa menikmati hidup lantaran sehari harus minum puluhan obat dan bolak-balik ke rumah sakit. Â
Mumpung masih sehat, saya pun mulai mengurangi aktivitas keluyuran malam. Begadang. Seperti kebiasaan jurnalis. Jika gak urgen bener, saya memilih beraktivitas produktif di rumah. Menulis, membaca buku, menata tanaman, dan lainnya. Bahkan, kebiasaan merokok pun ikut berhenti.
Saya juga membiasakan tidur sebelum jam 11 malam. Bangun pagi, shalat subuh, lalu senam pagi atau jogging. Â Pemenuhan kebutuhan bergizi dan nutrisi juga menjadi perhatian. Kebetulan, istri sangat paham dengan semua itu. Â Â
Enam bulan lebih kami nggak ke dokter kandungan. Bagi kami, datang ke dokter malah bikin stres, hehe.. Ya, takut dengar kata-kata begini: "Lha piye jeng, gak bisa berkembang..." Â
Dalam beberapa kali kesempatan, saya dan istri juga ambil cuti. Berlibur berdua. Gak jauh-jauh, sih. Yang sering ke Pandaan, Malang dan Batu. Pulang bawa sedikit oleh-oleh untuk dibagikan ke saudara dan tetangga. Itu sudah cukup membuat kami bahagia.
***
Siang itu, saat sedang liputan seminar di Hotel Tunjungan, istri menelepon. Dia mengabarkan positif hamil. Ah, benarkah? Saya gembira namun masih perlu memastikan secara medis. Malam hari, kami pergi ke tempat praktik Dr Bambang Sukaputra. Mengabarkan hasil tes kahamilan yang positif.
Waktu itu, Dr Bambang kaget. Setengah gak percaya, "Saya harus periksa dulu, jeng."
Dr Bambang takut istri saya mengalami hamil anggur. Hamil anggur di luar kandungan. Istilah medisnya mola hodatidosa. Pada kondisi ini, terjadi produksi jaringan berlebihan yang seharusnya membentuk plasenta. Produksi berlebihan ini membentuk gambaran seperti anggur kecil-kecil.
Jawaban Dr Bambang itu membuat saya terdiam. Kegembiraan saya sontak hilang. Beberapa saat, Dr Bambang memeriksa kandungan istri saya. Gak sampai 10 menit, dia kembali. Dan memastikan kalau istrinya memang hamil. Plong...
Tanpa banyak berkomentar, Dr Bambang kemudian memberi resep obat penguat kandungan. Kami diminta rutin check up. Sebulan sekali.
Di usia kehamilan 4 bulan, Dr Bambang memberitahu pada hasil USG ada pendaharahan. Dia lalu memberi obat lagi untuk menguatkan janin. Dua bulan berikutnya, posisi bayi terlihat melintang. Tak ingin risiko, dr Bambang memprediksi pesalinan istri akan dilakukan dengan operasi Caesar. Untuk jaga-jaga, saya diminta meneken surat persetujuan operasi Caesar. Â Â
Istri saya melahirkan di Klinik Pura Raharja, tiga bulan kemudian. Di mana, Dr Bambang juga bertugas di sana. Saya seperti bermimpi tatkala melihat anak pertama lahir sehat. Kegembiraan makin bertambah manakala saya tahu Dr Bambang bermurah hati memberi diskon 50 persen lebih untuk biaya persalinan istri. Semoga, kebaikan Dr Bambang dibalas Allah SWT.
Waktu itu, urusan berobat selalu saya bayar cash. Tidak dikaver asuransi. Sekarang saya tahu ada Sun Medical Platinum. Yang dilengkapi berbagai manfaat seperti perlindungan asuransi kesehatan hingga Rp 7,5 miliar, fasilitas cashless, dan diterima di rumah sakit rekanan yang terdaftar baik di Indonesia maupun mancanegara.
Fitur-fitur lain Sun Medical Platinum termasuk klaim yang dibayarkan sesuai dengan tagihan, ruangan pribadi, pendapat dari ahli medis, serta berbagai pilihan manfaat lainnya yang dapat dipilih oleh nasabah, mulai dari perlindungan rawat jalan, perawatan gigi dan manfaat melahirkan yang lengkap.
Sun Medical Platinum juga dapat memenuhi kebutuhan perlindungan kesehatan premium. Dilengkapi dengan fasilitas administrator layanan medis 24 jam untuk melakukan registrasi rumah sakit yang dapat diakses via aplikasi klaim Medikliks dengan smartphone di seluruh dunia.
***
Dua tahun kemudian istri saya hamil lagi. Saya kembali ke tempat praktik Dr Bambang Sukaputra. Check up rutin sebulan seperti biasa. Persalinan anak kedua juga dilakukan melalui operasi Caeser. Namun kasusnya berbeda. Bukan posisi melintang, melainkan air ketuban sedikit. Bahasa medisnya oligohidramnion.
Anak kedua saya lahir sehat. Dr Bambang meminta istri saya tidak hamil lagi. Berikut dia menawarkan untuk di steril. "Masa dua gak cukup, jeng," cetus Dr Bambang, lalu tersenyum.
Kami memutuskan tidak mengikuti saran Dr Bambang. Istri lebih memilih untuk KB spiral. Saya manut saja. Hingga sekarang, istri tidak mengalami masalah. Â
Pengalaman ini  acap kali saya ceritakan kepada pasangan suami istri yang belum dikarunia momongan. Sebagai motivasi. Juga membesarkan hati mereka agar terus berusaha dan pantang menyerah.
Banyak kejadian yang awalnya diprediksi dokter sulit, namun akhirnya bisa hamil. Saya percaya, masalah kelahiran, kematian, jodoh, dan rezeki mutlak kehandak Sang Khalik. Kun fayakun. Jika Dia berkehendak, maka jadilah. Seperti "vonis" medis soal kehamilan yang ditakutkan itu, ujungnya tak terbukti. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H