Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dewi Kidul

27 Oktober 2019   03:26 Diperbarui: 27 Oktober 2019   15:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bukan kali ini saja Bagas mendengar pengakuan menyeramkan. Ya, dari mereka yang melihat lukisannya. Yang dipajang di serambi rumah. Karya seni Bagas itu disebut-sebut berbau magis. Bisa membuat dada menggigil.

Dengar saja penuturan Mimi. Putri sulung paman Bagas, Senoadji. Baru-baru ini, membeber cerita ngeri. Mimi bilang, saat berada di serambi, ia merinding. Sekujur tubuhnya seperti disapu angin lembut. Berasa ada yang membelai rambutnya.

Mimi juga mengaku mendengar erangan. Suaranya terputus-putus. Tak bisa ia takar secara jelas., suara perempuan atau laki-laki. Yang diucapkan samar, sebut Mimi.

Mimi tertahan dengan hati bergemuruh. Ketakutan pun berkelebat. Beberapa menit, ia lihat sekeliling ruangan dengan gemetaran. Batin Mimi berbisik, pasti ada yang menggodanya. Tapi perkiraannya tak terbukti. Lampu senter handphone-nya tak cukup membantu menemukan titik sumber suara yang seolah-olah menyeru.

Mimi melongok ke sudut-sudut ruangan. Ia cari ke kolong-kolong. Barang-barang elektronik yang teronggok di meja. Tak satu pun bisa memberikan petunjuk datangnya suara itu.

Ketika perasaannya terus didera kecemasan, Mimi terkesiap melihat lukisan karya Bagas. Ah, benarkah dari ini? batinnya berontak. 

Sayup-sayup, ia rasakan ada bisikan lagi . Kali ini, Mimi terdorong menyentuh lukisan itu, namun tangan Mimi berasa berat.

Semua keluarga yang dengar cerita Mimi terdiam. Beberapa orang kemudian menyuruh Mimi berhenti. Yang lain. Bagas yang mendengarnya malah senyum-senyum sendirian.

Bagas meragukan cerita Mimi. Bukan berarti ia tak percaya hal gaib. Baginya, cerita dan bualan tak bisa ditakar. Gaib itu ada. Gaib itu keniscayaan. Namun bukan berarti bisa menaklukan hati dan pikiran manusia. Tuhan memberi kelebihan dan kekuatan manusia melalui insting dan nalarnya.

"Kalau Mimi yakin suara dari lukisan, itu sih halusinasi. Pikiran dan hati lagi nggak nyambung," Bagas membatin.

Sebelumnya, Bagas juga pernah dengar pengakuan Karno, teman SMA-nya. Kala bertandang ke rumahnya, Karno merasa ada yang ganjil ketika mengamati lukisan karya Bagas. Karno melihat pesona yang jauh di luar kewajaran.  "Apa yang kau maksud di luar kewajaran?" Bagas penasaran

Karno tak bisa menjelaskan detail. Dia hanya bilang, semua itu bisa dirasa bila yang melihat bisa memosisikan diri sebagai objek. Karena begitulah syarat mengapresiasi karya seni yang punya getaran magis. Butuh intuisi yang kuat.

Bahkan, aku Karno, saking lamanya memandangi, bukan cuma nuansa estetika yang tercecap. Libidonya juga meninggi. Karno sangat ingin bercinta dengan sosok perempuan dalam di lukisan itu. 

Bagas menyeringai. Halusinasi lagi, tuding dia. "Kamu sudah lama menduda, kawan. Segeralah menikah. Dari pada mengomentari yang nggak jelas."

"Nggak Gas, ini soalnya.."

"Sudahlah , makin banyak kamu komentar, makin kabur. Aku jadi ingat cita-citanya dulu kan jadi ilusionis," sindir Bagas.

Yang ini lain lagi. Suatu malam, Bagas tertegun melihat sikap Intan. Bocah berusia tiga setengah tahun. Intan menangis keras sambil tangannya menunjuk-nunjuk lukisan dia . Seluruh keluarga Bagas panik. Mereka kuwalahan menenangkan bocah itu. Tangis Intan teramat janggal.

"Barangkali kamu harus berkompromi, Gas. Saya sangat menghargai bila kamu tidak memajang lukisan lagi di serambi. Terserah, mau kamu pajang di mana. Pokoknya jangan di serambi," pinta Rafika, ibu Bagas.

Bagas menyerah. Lukisan yang belum sempurna itu pun dilorot. Dipindah ke gudang. Dekat mobil VW keluaran 1972 buatan Jerman peninggalan ayahnya. Ini upaya terakhir. Menghidari penghakiman orang-orang atas lukisannya. Dia berharap tak ada yang menyangkut-pautkan seni dengan mistisisme. Bagi dia, mistisisme ada karena ketidakmampuan manusia menegakkan jati dirinya.

Namun, pengorbanan Bagas belum cukup. Seharian ini Intan merengek. Suhu badannya meninggi. Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Tidur tak jenak. Keluarga Bagas panik. Dan, lagi-lagi, keluarga curiga penyebabnya lukisan itu . 

Dengan berat hati, Bagas menggulung lukisan itu. Disimpan dalam boks besi bekas menyimpan barang-barang otomotif.

***

Bagas tak sengaja menemukan beberapa kliping artikel koran. Saat bersih-bersih rak buku. Cukup lama tersimpan. Saking lamanya, beberapa tulisan yang tercetak ada yang terlihat buram.

Agustus 1999. Di Jakarta, dilaporkan pemusnahan benda-benda pusaka dari pengusaha Laut Selatan. Tak cuma itu, di sana juga hadir sejumlah pakar, ulama, dan ruhaniawan yang mengaku punya kemampuan dan ahli dalam bidang metafisik. Beberapa di antara mereka ada menyebut penguasa Laut Selatan adalah Nyi Roro Kidul.

Selang beberapa hari, respons masyarakat mengalir. Polemik panjang terjadi. Ada luiping surat pembaca, kalau persepsi penguasa Laut Selatan itu keliru. Penguasa Laut Selatan bukan Nyi Roro Kidul, tapi Kanjeng Ratu Kidul. Status Kanjeng Ratu Kidul merupakan raja/penguasa di Laut Selatan. Sedang Nyi Roro Kidul adalah patihnya.

Ada lagi, Nyi Roro Kidul disebut kreasi Raja Jawa untuk menakut-nakuti rakyat. Yang ditulis, Roro berasal dari bahasa Jawa artinya perawan (tidak menikah). Sedang kidul artinya selatan.

Bagas mengeryitkan dahi. Menarik juga membaca polemik Nyi Roro Kidul. Selama ini, tak banyak yang dia tahu. Paling cuma cerita orang-orang gardu. Atau nonton film yang diperankan Suzanna.

Berhari-hari, Bagas membayangkan wajah Nyi Roro Kidul. Yang kemudian bisa dibeber dalam kanvas. Hingga, Rabu malam, dia memutuskan pergi ke Laut Selatan. Ia nekat meninggalkan pekerjaan di klinik kesehatan berhar-hari.

Bagas memang cowok keras hati. Jika niatnya bulat, pantang diredam. Selepas SMA, Bagas tak berhasrat melanjutkan kuliah. Dia ingin jadi pelukis saja. Hanya, niat itu tak diurungjkan lantaran dia tak berani melawan titah Rafika.

Di Laut Selatan, Bagas ingin melihat sosok Nyi Roro Kidul. Melakoni ritual poso mutih. Untuk memantapkan laku spiritual. Bagas makan nasi putih tanpa dicampur apa pun. Minum air minum mentah. Bagas juga bersemadi.

Tiga hari di Laut Selatan. Bagas belum memulai melukis. Lebih banyak berdiam diri. Menatap hamparan laut. Hari ketujuh , Bagas merasa merasa punya energi besar. Ia memulai melukis.  Tangannya ringan memainkan kuas. Setengah sehari, lukisan itu hampir jadi.

Di bagian akhir, Bagas tak bisa melanjutkan. Dia merasakan tubuhnya lemah. Bagas muntah darah, sebelum ditolong beberapa nelayan.  Hingga, ia putuskan pulang dengan membawa lukisan setengah jadi itu.

***

Bagas menjawab telepon. Suara seorang perempuan menyapanya. Dia teman dekatnya saat SMA. Namanya Dewi Ambarwati.  

"Singkatnya gini, Gas. Aku tahu kamu pelukis hebat. Aku boleh minta bantuan, ya. Ngedukung pameran di galeri milik ayahku. "

"Aku yang nanggung semua akamodasi dan transportasimu," rayu Dewi.

Bagas tersenyum. Penghargaan yang tak pernah ia dengar. Terlebih dari perempuan yang pernah mencuri hatinya.  

"Wi, aku senang. Tapi aku gak bisa ikut. Tapi aku punya satu lukisan yang bisa kamu bawa. Anggap sebagai hadiah. Aku cuma minta satu syarat, jangan kau tulis namaku."

"Bener, Gas. Kamu baik sekali. Eee.."

"Kamu gak usah ngambil. Aku yang kirim, Minta alamatmu, ya."

 Hati Dewi berbunga-bunga saat membuka lukisan kiriman Bagas, sehari setelah ia menelpon dia. Di ruang pameran, lukisan itu dipajang dekat selasar.  Beberapa kolektor tertaik ingin memiliki . Tawarannya lumayan tinggi. Namun Dewi belum mau melepaskan.    

Yang bikin Dewi girang, banyak pengunjung bilang lukisan itu mirip dirinya. Oh, my god, begitu batinnya berguman.

Dewi belum memberi judul lukisan itu. Berikut siapa yang melukisnya. Karena ia hanya cantumnya nomor 07.

Jeda pameran, Dewi me-WhatsApp Bagas. Gas, tau gak, banyak mau beli lukisanmu. Tapi biarin aja dulu. Eh, kamu kasih judul, tahun pembuatan, sekalian deskripsinya, dong. 

Bagas membaca pesan Dewi. Dia ikut bahagia. Dia bayangkan lembutnya tatapan mata perempuan berlesung pipit itu. Sangat menentramkan hati. 

Hampir satu jam Bagas tak membalas meski Dewi beruilangkali menanyakan jawaban. Bagas menyerah. Dia pun mengirim pesan: Aku sungguh tak berhasrat memberi judul atau label apa pun tentang lukisan itu. Ia kuanggap tamat. Kalau kini kau memaksa, satu-satunya yang tersisa di benakku adalah menyebut namamu. Dan tempat lukisan kubuat.

Dewi Kidul... 

 

(agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun