Terbacalah di lembar keduabelas. Tulisan tangan dengan huruf latin. Beberapa katanya tercoret tebal. Tapi untuk membacanya masih bisa dicerna. Di halaman itu tertempel foto diri. Guntingannya tidak merata. Bagian bawahnya terputus. Di sudut halaman ada gambar sebuah mata. Mirip sketsa. Garisnya tak beraturan.
Yang pasti pesan gamblang:
Mata elangku,Â
Seandainya di unjung napasku kelak kita berpisah, aku sepenuhnya relakan engkau pergi. Hari ini pun jika engkau pergi, aku ikhlas. Pergilah sejauh mungkin yang engkau kehendaki. Temukan cinta yang lain. Sampai Sang Khalik menjemputku. Bagiku, sudah teramat cukup bagiku menulis namamu. Dan kujahit cintamu dalam binar mataku."
Alia, Ramsay Health Care Australia, June, 21 2019.
Cyril tak menyangka menemukan buku harian itu. Di rongga almari bercampur tumpukan nota, invoice keperluan rumah tangga. Buku itu terjatuh begitu saja, ketika tertubruk tangan Cyril saat menarik kaus singlet merah yang terpanggang dalam deretan hanger.
Agak mengherankan, pikir Cyril. Buku harian itu tersandar di tempat yang mudah dijangkau. Padahal, Alia selalu rapi menyimpan barang-barangnya. Barangkali Alia sudah bosan. Atau dia sengaja meletakkannya agar Cyril membacanya.
Cyril terdiam. Dia melirik Alia yang masih terlelap. Tasbih mungil masih tertambat melingkar di jari-jemarinya. Matanya terlihat sembab, bekas sisa lelehan air mata. Dilipatnya kursi roda yang teronggok di samping ranjang, setelah ia rekatkan sandal kulit di lantai. Kursi roda itu lalu ia letakkan di samping meja yang penuh tumpukan obat dan resep. Ia menahan sekuat tenaga agar tak mencuat suara secuil pun di dalam kamar itu. Cyril sangat tak ingin Alia terusik.
Pandum menunjuk 01.25. Cyril ngeloyor pergi ke ruang tengah. Dinyalakannya wood lamp, lampu berbahan kayu dia beli dari perajin di Klaten. Seluruh aksesoris rumah itu memang didominasi bahan dari kayu. Furnitur, rak buku, meja, almari, juga lantainya. Selain ruang tamu, ruangan itu juga difungsikan sebagai perpustakaan. Hiasan deretan buku, majalah, tabloid. Juga ada bendelan makalah-makalah yang sebagian besar dari dunia kedokteran.
Cyril melepas penat, duduk menyendiri. Memadangi langit-langit atap apartemennya. Juga hamparan wajah kota yang dihiasi gedung-gedung menjulang tinggi. Kadang, separo malam bisa ia habiskan dengan melahap buku-buku hingga matanya berat.
 Sebelumnya, diraihnya remote control. Ia pencet tutsnya, melacak channel radio. Didapatinya sebuah lagu lawas yang diputar di sebuah stasiun radio swasta. Cyril sangat karib dengan lagu tersebut. Tapi ia belum tahu judulnya. Ia dengarkan lamat-lamat.
 "Akhirnya", begitu Cyril ingat judul lagu tersebut. Ciptaaan Deddy Dhukun, dipopulerkan Oddie Agam era 90-an. Kemudian dirilis lagi oleh Gigi tahun 2000-an.
Kusadari akhirnya/Kerapuhan imanku/Telah membawa jiwa dan ragaku/ke dalam dunia yang tak tentu arah
Kusadari akhirnya/Kau tiada duanya/Tempat memohon beraneka pinta/Tempat berlindung dari segala marabahaya.
Oh Tuhan mohon ampun/Atas dosa dan dosa selama ini/ aku tak menjalankan perintahMu/Tak pedulikan namaMu/Tenggelam melupakan diriMu...
Oh Tuhan mohon ampun/Atas dosa dan dosa/Sempatkanlah aku bertobat hidup di jalanMu/Tuk penuhi kewajibanku/ Sebelum tutup usia kembali padaMu...
***
Tak banyak yang berubah. Buku bergambar snoopy berukuran 1216 cm. Sampulnya plastik utuh. Pelipit warna emas di tiap sudutnya masih menempel rapi. Hanya lembar di bagian dalamnya terlihat agak lusuh. Cyril yakin Alia sering membuka, menulis, dan membacanya.
Chyril tak menyangka Alia masih menyimpan buku harian yang nyaris ia lupakan tersebut. Enam belas tahun lebih. Buku yang ia berikan saat Alia berulang tahun ke-20. Ketika itu, Cyril membungkusnya dalam kertas koran yang tidak kelewat rapi. Di atasnya ia tuliskan kalimat pendek dengan spidol biru, "Buat Alia, dara manis yang selalu berpikir besar."
Dulu, buku harian itu dihadiahkan Cyril dengan satu harapan : Alia akan selalu mengenang dirinya. Menulis nama, cerita-cerita tentang kebersamaan mereka, atau menempelkan foto-foto dirinya.
Suatu ketika, Cyril pernah menggoda Alia. "Kira-kira, apa saja yang sudah kamu tulis, setelah sekian lama aku memberikanmu buku harian itu, Al?"
Alia masygul. Dia tak mungkin menjawab. Seperti halnya gadis-gadis lain yang mampu memoles ungkapan hatinya dalam kabut asmara. Hanya seuntai senyuman yang meluncur dari bibir Alia. Jawaban non verbal itu pun sudah teramat cukup bagi Cyril. Meski ia terus berkubang dalam keingintahuan.
Memori itu kini berbekas di mesin otak Cyril. Gadis manis begigi gingsul. Pemilik mata lentik nan lincah. Kebersahajaan dalam bertutur. Tangan yang tak pernah diam bila berkehendak. Hati yang gampang luluh melihat penderitaan kaum papa.
Cyril makin asyik membacanya. Cerita di kampus. Sewaktu anak-anak fakultas kedokteran rebutan mendapat fotokopian makalah. Kali pertama Cyril melihat Alia yang datang tergopoh-gopoh. Dengan napas terengah-tengah serta mengusung tas ransel hitam di lengannya. Cyril tak sadar matanya terus menajam, memerhatikan gadis tersebut.
Melihat kedatangan Alia yang kebingungan, Cyril pun berlagak bak sinterklas. Ia berikan foto kopian makalah yang ia peroleh lebih dulu. Alia tersipu menerimanya. Tak kuasa menolak. Di antara kebutuhan dan keterkejutan atas kebaikan Cyril. Kala itu, Cyril tak minta imbalan. Hanya minta diberi nomer telepon seluler Alia.
Rentang waktu tak kelewat jauh. Rumah Alia didatangi kurir, mengantar bunga mawar putih. Dalam selendang yang dilipatkan di tangkainya, tertulis pesan singkat:
 "Selamat ulang tahun, bidadariku."Â
Cyril.
Sontak, Alia bingung. Gugup. Karena hari itu bukan hari ulang tahunnya. Bergegas ia menghubungi Cyril. Apalagi kalau bukan untuk bertanya soal kiriman bunga itu. Namun, kontak Alia tak jua mendapat jawaban lantaran Cyril menonaktifkan telepon selulernya. Alia makin penasaran, hingga memaksanya menyanggong Cyril di kampus. Alia baru sadar kalau Cyril sengaja menggodanya. Ia teramat ingin mendengar suara dari kepanikan Alia.
Musim semi di Erlangen, 2000. Kota kecil dekat Nurnberg, Jerman. Bulan madu kedua mereka sangat berkesan. Menumpangi Volks Wagen keluaran 1962, 1200 cc, Cyril dan Alia menyisir kota. Jalanan dipenuhi rontokan bunga flamboyan. Menyaksikan panorama nan elok. Pucuk-pucuk cemara dan pinus menjuntai. Berjajar rapi di tepi jalan. Dinding-dinding batu tersusun rapi di gedung-gedung gymnasium. Kokoh dan megah. Rona arsitektur cathedral gothic yang menyejukkan mata. Mantel yang tebal tak cukup mengusir dingin yang menukik tajam.
Kala itu, Alia sempat membeber perasaannya yang dipendamnya bertahun-tahun. Bahwa ia berulang kali bermimpi mendekap seorang bayi. Mendengar ledakan tangisnya.
"Mungil, yang setiap malam mengatar tidurku. Seperti melodi rindu yang indah," tutur Alia, lalu beringsut dalam pelukan Cyril. Cyril tak kuasa menjawab. Hanya tersenyum getir.
***
Emosi Cyril terkerek meninggi. Dia tak menyangka bisa menjadi sangat melankolis.Perasaan yang sebenarnya selalu ingin ia jauhi seperti halnya pria mapan yang sophisticated, berpengalaman dalam hal-hal diniawi.
Yang tak mau bergantung pada keadaan dan menyerahkan nasib. Mengedepankan akal budi dan mampu keputusan yang jitu dalam situasi genting sekali pun.
 "Sungguh, baru sekarang aku benar-benar merasakannya. Sesuatu dalam batin yang terus memenjara," Cyril bergumam. Tangannya masih tetap mendekap buku harian itu.
Cyril yakin takdir bisa diubah. Jikalau manusia bersungguh-sungguh ingin mengubahnya, keniscayaan itu akan tiba. Terus beranjak mencari peluang dan kesempatan. Memersiapkan diri segala sesuatunya, bukan menunggu kesempatan.
Seperti sebuah skenario film dan sinetron, begitu kata Cyril, takdir itu berjalan. Kapan waktunya di atas, kapan di bawah. Jika ada yang berhalangan, sebuah peran bisa digantikan. Rotasi kehidupan yang misterius namun nyata dirasakan manusia. Bak semesata yang berjalan dengan keteraturannya.
Dan kini, Cyril diuji dengan keyakinannya itu. Mungkinkan bidadarinya bisa menjauhi takdir? Menjauhi dari segala rutinitas kuratif. Dengan puluhan kali menjalani kemoterapi. Yang bisa berminggu-minggu mendekam di ICU. Rambut yang terus rontok helai demi helai.
Malam begitu panjang. Belum ada panggilan hati untuk menjawab itu semua. Masa depan yang masih gaib. Di antara bimbang dan gundah, Cyril tersadar jika ia telah mengalpakan Sang Pencipta, hingga yang melewatkan cobaan ini penuh kepura-puraan. Diambilnya air wudlu, lalu membeber sajadah. Dijadikannya takbir untuk memohon pertolongan dan ampunan. Ditundukkannya semua kesombogan dalam ruku dan sujud.
Cyril berdoa bisa menutup berkas-berkas masa lalu dengan semua kegetirannya dan genangan air mata. Semua kesedihan dan bencana. Semua kepahitan dan keresahan. Cyril mengecup kening Alia, seraya berdoa bisa memulai sebuah kehidupan baru. (agus wahyudi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H