Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buku Harian Alia

9 Oktober 2019   16:47 Diperbarui: 9 Oktober 2019   16:53 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbacalah di lembar keduabelas. Tulisan tangan dengan huruf latin. Beberapa katanya tercoret tebal. Tapi untuk membacanya masih bisa dicerna. Di halaman itu tertempel foto diri. Guntingannya tidak merata. Bagian bawahnya terputus. Di sudut halaman ada gambar sebuah mata. Mirip sketsa. Garisnya tak beraturan.

Yang pasti pesan gamblang:

Mata elangku, 

Seandainya di unjung napasku kelak kita berpisah, aku sepenuhnya relakan engkau pergi. Hari ini pun jika engkau pergi, aku ikhlas. Pergilah sejauh mungkin yang engkau kehendaki. Temukan cinta yang lain. Sampai Sang Khalik menjemputku. Bagiku, sudah teramat cukup bagiku menulis namamu. Dan kujahit cintamu dalam binar mataku."
Alia, Ramsay Health Care Australia, June, 21 2019.

Cyril tak menyangka menemukan buku harian itu. Di rongga almari bercampur tumpukan nota, invoice keperluan rumah tangga. Buku itu terjatuh begitu saja, ketika tertubruk tangan Cyril saat menarik kaus singlet merah yang terpanggang dalam deretan hanger.

Agak mengherankan, pikir Cyril. Buku harian itu tersandar di tempat yang mudah dijangkau. Padahal, Alia selalu rapi menyimpan barang-barangnya. Barangkali Alia sudah bosan. Atau dia sengaja meletakkannya agar Cyril membacanya.

Cyril terdiam. Dia melirik Alia yang masih terlelap. Tasbih mungil masih tertambat melingkar di jari-jemarinya. Matanya terlihat sembab, bekas sisa lelehan air mata. Dilipatnya kursi roda yang teronggok di samping ranjang, setelah ia rekatkan sandal kulit di lantai. Kursi roda itu lalu ia letakkan di samping meja yang penuh tumpukan obat dan resep. Ia menahan sekuat tenaga agar tak mencuat suara secuil pun di dalam kamar itu. Cyril sangat tak ingin Alia terusik.

Pandum menunjuk 01.25. Cyril ngeloyor pergi ke ruang tengah. Dinyalakannya wood lamp, lampu berbahan kayu dia beli dari perajin di Klaten. Seluruh aksesoris rumah itu memang didominasi bahan dari kayu. Furnitur, rak buku, meja, almari, juga lantainya. Selain ruang tamu, ruangan itu juga difungsikan sebagai perpustakaan. Hiasan deretan buku, majalah, tabloid. Juga ada bendelan makalah-makalah yang sebagian besar dari dunia kedokteran.

Cyril melepas penat, duduk menyendiri. Memadangi langit-langit atap apartemennya. Juga hamparan wajah kota yang dihiasi gedung-gedung menjulang tinggi. Kadang, separo malam bisa ia habiskan dengan melahap buku-buku hingga matanya berat.

 Sebelumnya, diraihnya remote control. Ia pencet tutsnya, melacak channel radio. Didapatinya sebuah lagu lawas yang diputar di sebuah stasiun radio swasta. Cyril sangat karib dengan lagu tersebut. Tapi ia belum tahu judulnya. Ia dengarkan lamat-lamat.

 "Akhirnya", begitu Cyril ingat judul lagu tersebut. Ciptaaan Deddy Dhukun, dipopulerkan Oddie Agam era 90-an. Kemudian dirilis lagi oleh Gigi tahun 2000-an.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun