Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang

13 September 2019   10:50 Diperbarui: 13 September 2019   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari merambat turun menjemput senja. Melipat keriuhan dan kegemparan menjadi senyap. Bersamaan dengan jalanan yang lengang bertabur debu-debu. Sisa-sisa alat peraga, kertas, kardus, dan sampah lainnya masih berserakan.

Gelap menyusul turun. Beriringan dengan raungan suara knalpot dari lalu lalang kendaraan. Mengiringi tatapan-tatapaan kosong para pedagang yang tak mau beranjak pergi dengan debar batin terkoyak.

***

Suara Fadly terdengar parau. Bibirnya terlihat kering. Lidahnya mengerak putih. Kepanikan benar-benar menguras energi. Ia sadar, tak ada yang bisa diperbuat. Setidaknya mengubah keadaan pascainsiden, sore ini. Semua barang dagangannya lenyap. Hanya tersisa dua terpal plastik. Berikut tali tampar yang biasa dipakai mengikat barang dagangan.

Fadly sejatinya sadar dengan segala risiko dari profesi yang dilakoni sekarang. Setelah ia berhenti bekerja dari perusahaan perakitan mobil, dua pekan lalu. Bahwa ia menjajakan produk aksesoris buatannya di tempat yang tak semestinya. Berjualan tempatnya di pasar, bukan di jalanan. Tapi redupnya kondisi pasar dan tingginya harga sewa stan membuatnya tak punya banyak pilihan.

Bukan hanya itu. Fadly juga merasa amat bersalah. Kenapa kejadian ini harus disaksikan Ilham. Ya, bocah itu sepantasnya tak berada di sini. Anak-anak seusianya harusnya tak menyaksikan aksi kekerasan yang brutal. 

Seharusnya, Fadly bisa mewujudkan impian-impian indah. Yang selalu ia ceritakan sebagai alasan ketika ia memutuskan untuk berwiraswasta. Menjadi pribadi mandiri. Tidak menggantungkan hidup pada manusia. 

Menjadi saudagar. Yang berpeluh keringat menggapai kesuksesan. Seperti kisah para saudagar dan pengusaha sukses yang berulang-ulang diceritakan sebagai dongeng sebelum tidur. 

Seperti kisah Abdurrahman bin Auf, saudagar muslim terkaya. Seorang sahabat Rasulullah yang dermawan. Yang selalu murah hati membantu kaum papa. Tanpa pamrih. Dia yang tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk berjihad di jalan Allah.

 Atau kisah Steve Jobs, pendiri Apple. Yang memulai usaha dari sebuah garasi dengan barang-barang berserakan. Pria yang selalu berupaya menyebarkan energi positif. Menjauhkan syak wasangka. Sampai ia selalu menyitir berakali-kali melontarkan pernyataan Steve Jobs jika kesuksesan tak ada yang instan.

Juga dengan Chairul Tanjung. Pengusaha yang memulai usaha sejak mahasiswa. Berbekal mesin fotokopi bekas di kampus Universitas Indonesia. Dan kini, cita-citanya mewarisi sang ayah memiliki media, tergapai. Bahkan bisa dibilang melapaui. Hingga ia dinobatkan sebagai lima besar pengusaha terkaya Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun