Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pulang

13 September 2019   10:50 Diperbarui: 13 September 2019   11:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: serikatnews.com

"Ayo kembali, Nak. Lelaki sejati itu selalu kembali ke rumah. Dalam keadaan apa pun. Sejauh mana pun dia pergi. Jadi pemenang atau pecundang. Membawa hasil atau tidak. Sedih maupun gembira. Sudahlah, sekarang saatnya temui ibumu. Kamu tahu, dia pasti cemas menanti kehadiranmu."

Fadly meraih tangan Ilham, putra sulungnya, yang berderai air mata. Bocah dua belas tahun itu masih menggigil ketakutan. Napasnya tersengal-sengal. Mulutnya bergetar dan terkunci. Keringat dingin membasahi seragam sekolahnya hingga lusuh. Bekal air mineral yang tersisa di saku tasnya tak cukup membuat dirinya tenang. Berkali-kali Fadly menepuk punggungnya. Berusaha menenangkannya.

Ilham beringsut. Duduk berjongkok dengan melipat kedua tangannya di dada. Melihat dari sudut gang, di bawah rindang pohon trembesi. Matanya terus bergerak, menyasar orang-orang di sekitarnya. Sementara Fadly berdiri tepat di depan Ilham dengan posisi melindungi. Keduanya tetap siaga tanpa mengucap sepatah kata.  

 Sore yang brutal. Ketika kerumunan orang semburat. Sesaat setelah kedatangan ratusan aparat trantib dari dua arah berlawanan. Mereka merampas semua barang dagangan ratusan pedagang. Aksi kejar-kejaran tak terhindarkan. 

Kepanikan mendera seketika. Menyesakkan dada. Teriakan dan suara tangisan saling bersautan. Di antara mereka harus terpelanting di jalanan. Bertahan dan melawan. Itu saja pilihannya. 

Mat Radji mencoba menghadang. Pria paro baya yang dianggap "penguasa lahan" menghampiri aparat. Dia merengej minta diberi tenggat waktu. Paling tidak untuk mengemasi barang-barang dagangan. Namun upayanya tak membuahkan hasil. Tak mengubah apa pun. Aparat kukuh melanjutkan aksi pembongkaran. Mengambil paksa barang-barang dagangan. Membongkar lapak-lapak semipermanen yang berderet mengular.

"Tolong, Pak. Kasih kami waktu, satu jam saja," pinta Mat Radji.

 "Gak ada, gak ada. Semua harus bersih, sekarang" sergah Sunarto, komandan trantib, seraya memberi instruksi anak buahnya segera bertindak. 

Negosiasi mentah. Aparat menyambar semua barang pedagang. Tanpa ampun. Keandaan memanas. Memantik reaksi pedagang untuk bergerak melakukan perlawanan.

"Allahu Akbar.., gak usah takut. Lawan...!"

"Kita cari makan di sini... Kita bukan maling..."

"Ini kesewenang-wenangan. Bapak harusnya melindungi kami. Bukan membela cukong-cukong itu."

Rentetan teriakan pedagang makin nyaring. Memekakkan telinga. Saling bersahutan.  

"Betul.. betul.."

"Jangan bela cukong. Kami pewaris sah negeri ini."

Para pedagang makin bersungut-sungut. Kali ini bukan cuma caci-maki, tapi batu-batu berterbangan. Menyasar petugas. Situasi memanas. Aparat trantib memburu pelaku pelemparan. Pedagang lain menghalau. Keributan pun pecah.

Perlawanan menjurus kasar. Merangsang aparat berbuat beringas. Kali ini, bukan cuma aksi dorongan, tapi pukulan, dan tendangan secara kasar dilakukan aparat. Ayunan pentungan aparat trantib melayang-layang. Menumbuk tubuh beberapa pedagang yang berusaha bertahan. Para pedagang pun kocar-kacir. Berlarian menyelamatkan diri.

"Mundurr.. mundurr.."

"Hey, Pak, kenapa saya dipukul. Bapak jangan arogan. Saya gak bersalah, Pak..," teriak Nashir sembari memegangi kepalanya dengan darah segara bercucuran hingga merembes ke bajunya.

"Apa..!! Mau melawan melawan kamu, Hahh..!"

"Majuuu.. Bawa semuanya. Yang pakai kaos ijo, ya dia ambil barangnya..."

Ibarat pertarungan David melawan Goliath. Hasil akhirnya bisa ditebak. Aparat trantib terlalu perkasa untuk dilawan. Semua pedagang tersudut. Terlumpuhkan. Belasan di antara mereka diamankan. Diangkut ke dalam truk dengan pengawalan ketat.

Matahari merambat turun menjemput senja. Melipat keriuhan dan kegemparan menjadi senyap. Bersamaan dengan jalanan yang lengang bertabur debu-debu. Sisa-sisa alat peraga, kertas, kardus, dan sampah lainnya masih berserakan.

Gelap menyusul turun. Beriringan dengan raungan suara knalpot dari lalu lalang kendaraan. Mengiringi tatapan-tatapaan kosong para pedagang yang tak mau beranjak pergi dengan debar batin terkoyak.

***

Suara Fadly terdengar parau. Bibirnya terlihat kering. Lidahnya mengerak putih. Kepanikan benar-benar menguras energi. Ia sadar, tak ada yang bisa diperbuat. Setidaknya mengubah keadaan pascainsiden, sore ini. Semua barang dagangannya lenyap. Hanya tersisa dua terpal plastik. Berikut tali tampar yang biasa dipakai mengikat barang dagangan.

Fadly sejatinya sadar dengan segala risiko dari profesi yang dilakoni sekarang. Setelah ia berhenti bekerja dari perusahaan perakitan mobil, dua pekan lalu. Bahwa ia menjajakan produk aksesoris buatannya di tempat yang tak semestinya. Berjualan tempatnya di pasar, bukan di jalanan. Tapi redupnya kondisi pasar dan tingginya harga sewa stan membuatnya tak punya banyak pilihan.

Bukan hanya itu. Fadly juga merasa amat bersalah. Kenapa kejadian ini harus disaksikan Ilham. Ya, bocah itu sepantasnya tak berada di sini. Anak-anak seusianya harusnya tak menyaksikan aksi kekerasan yang brutal. 

Seharusnya, Fadly bisa mewujudkan impian-impian indah. Yang selalu ia ceritakan sebagai alasan ketika ia memutuskan untuk berwiraswasta. Menjadi pribadi mandiri. Tidak menggantungkan hidup pada manusia. 

Menjadi saudagar. Yang berpeluh keringat menggapai kesuksesan. Seperti kisah para saudagar dan pengusaha sukses yang berulang-ulang diceritakan sebagai dongeng sebelum tidur. 

Seperti kisah Abdurrahman bin Auf, saudagar muslim terkaya. Seorang sahabat Rasulullah yang dermawan. Yang selalu murah hati membantu kaum papa. Tanpa pamrih. Dia yang tak segan-segan mengeluarkan hartanya untuk berjihad di jalan Allah.

 Atau kisah Steve Jobs, pendiri Apple. Yang memulai usaha dari sebuah garasi dengan barang-barang berserakan. Pria yang selalu berupaya menyebarkan energi positif. Menjauhkan syak wasangka. Sampai ia selalu menyitir berakali-kali melontarkan pernyataan Steve Jobs jika kesuksesan tak ada yang instan.

Juga dengan Chairul Tanjung. Pengusaha yang memulai usaha sejak mahasiswa. Berbekal mesin fotokopi bekas di kampus Universitas Indonesia. Dan kini, cita-citanya mewarisi sang ayah memiliki media, tergapai. Bahkan bisa dibilang melapaui. Hingga ia dinobatkan sebagai lima besar pengusaha terkaya Indonesia.

Namun yang terjadi justru kepahitan. Di saat Ilham makin termotivasi membantu dirinya berdagang, petaka datang mendera. Semua rencananya berantakan. Fadly terbirit-birit menyelematkan diri dari kejaran aparat trantib.   

 "Ayah kan berdagang, kenapa diusir?" Ilham bertanya penuh keheranan.

"Kenapa barang-barang kita dirampas?"

"Apa salah ayah?"

"Ayah salah tempat, Nak. Ayah belum punya uang buat menyewa stan," Fadly memberi alasan.

"Situasinya sulit, Nak. Ayah tak bisa melawan. Ketahuilah anakku, ini semua salah ayah." Fadli mengelus punggug bocah berlesung pipit itu, penuh kasih.

"Terus kita dapat uang dari mana lagi, ayah?"

"Semua barang kita habis."

"Bukankah Allah akan menolong kita, ayah?"

"Itu kan yang ayah ucapkan kalau kita mau bersungguh-sungguh. Mau berusaha?"

"Bukankah mereka akan mendapat balasan, ayah. Bapak-bapak itu membawa barang milik ayah?"

Fadly terdiam. Kedua tanganya lantas memeluk Ilham. Dengan suara lembut ia mengingatkan nasihat-nasihat yang pernah ia nukilkan. Terutama usai shalat berjamaah di rumahnya.

"Musibah adalah ujian, anakku. Ujian ini masih jauh lebih berat dirasakan banyak orang selain kita. Jika bersabar lah. Ujian ini  akan menjadi karunia. Yang tidak mengenakkan hari ini bisa berbuah menyenangkan di lain waktu."

Fadly melanjutkan. "Kejadian hidup ini jangan membuat kamu bersedih, anakku. Kesedihan akan membuat kita jadi pendengki. Itu sifat orang-orang putus asa, anakku," ucap Fadly.

Kejadian hari ini jangan pernah membuat dirimu jadi pendendam, anakku. Karena itu akan menggelapkan masa depanmu. Walau pun pahit, tapi telanlah. Yakinlah semuanya pasti berlalu. Menguap seperti gelembung embun pagi tatkala fajar menyapa.

"Jadilah pemaaf. Karena kelak kebaikan akan datang," suara Fadly terdengar lebih pelan.     

***

"Ayo kembali, Nak. Lelaki sejati tak pernah kehabisan akal berbuat yang terbaik. Lelaki sejati selalu berjalan dengan kepala tegak di muka bumi. Berjalan dengan mengepalkan tangan. Lelaki sejati tidak akan pernah menyerah sampai napasnya terhenti. Lelaki sejati harus mampu menaklukkan semua derita, meleyapkan awan kesedihan, dan menggantungkan cita-cita setinggi angkasa..."

Tangan Ilham mendekap rapat punggung Fadly. Disandarkannya kepala dalam dekapan ayahnya. Mereka menyisir pedestrian yang bertabur ornamen keramik mengkilat. Gedung-gedung pencakar langit, apartemen, hotel, mal, dan perkantoran seolah jadi saksi bisu menatap tapak-tapak kaki mereka.   

Dingin menyergap. Jaket kain tetoron lusuh tak cukup menahan sapuan tajam angin malam itu. Lambung yang lengket menahan lapar. Tenggorokan yang berasa kering. Berhenti berharap akan datangnya keajaiban di menit-menit akhir. Membiarkan semuanya berjalan apa adanya.

Fadly membatin. Hari ini aku memang gagal. Tapi aku harus menginsyafinya. Setidaknya ada hikmah . Aku harus berdamai dengan keadaan. Belajar menerima kenyataan. Meski itu tak mengenakkan. (agus wahyudi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun