Mohon tunggu...
AGUS WAHYUDI
AGUS WAHYUDI Mohon Tunggu... Jurnalis - setiap orang pasti punya kisah mengagumkan

Jurnalis l Nomine Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Wayang Boneka

2 September 2019   09:57 Diperbarui: 4 September 2019   12:45 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto:pariwisatabandung.info 

 

Keterkejutan mendadak pecah di ruang belakang rumah peninggalan Belanda, pagi itu. Membuyarkan kesunyian yang selalu terjaga bersama desahan angin yang akrab menemani burung-burung manyar yang ceria menatap cakrawala.

Suara agak berat dan serak tiba-tiba terdengar memekik keras. Pria paro baya datang, menyeruak masuk setelah membanting pintu. Langkahnya tergopoh-gopoh. Sorot mata penuh amarah. Seolah merontokkan semua embun pagi yang bercengkerama hangat dengan rerumputan usai gerimis membasuh lembut perut bumi.

Pemandangan yang sungguh ganjil. Dengan rona mukanya memerah, pria yang setahun terakhir membiarkan janggutnya ditumbuhi rambut-rambut kasar itu, menatap tajam bocah yang duduk bersila di depannya. 

Kedua tangannya menggenggam erat seperti ingin meremas buah apel. Kedua mulutnya pun terkatup dan bergetar. Beriringan dengan sorot kedua kelopak matanya yang keriput.

Suruh siapa kamu membuka ini, siapa! Beraninya masuk ke sini, kamu! ucapan Waskita terdengar keras dengan rona penuh kecurigaan seraya tangannya menujuk sebuah kotak kayu dengan boneka-boneka isinya berserakan di lantai.

Bocah tersebut tertegun. Seluruh aktivitasnya seketika terhenti. Kedatangan Waskita dengan amuk hati yang menyala-nyala, membuatnya syok. Bocah itu tak kuasa beranjak dari posisi duduknya. 

Tubuhnya berasa berat, tertahan oleh kekagetan yang menggiringnya dalam ketakutan yang sangat. Dia masih duduk bersila dengan tangan memegang dua boneka-boneka berbalut kain lusuh.

Bocah itu sungguh tak percaya dengan apa yang ditatapnya sekarang. Pria yang selalu ia kagumi dan cintai. Pria yang kerap membuatnya terus tersenyum di kala hatinya sedih. 

Menyayangi serta memedulikan dirinya ketika ayah dan ibunya berkubang dengan pekerjaan berat untuk memenuhi periuk nasi keluarganya. Pria yang kerap menemaninya tertidur sambil membisikkan cerita-cerita indah.

Ya, pria itu kini datang dengan rupa amat sangat tak bersahabat. Wajah yang terenggut oleh dorongan jiwa serasa terampas. Suaranya terus meninggi. Pandangan dan kecurigaan yang sarat prasangka.

Lesung, begitu bocah bertubuh agak bongsor karib disapa. Pekan liburan, ia bermain dengan boneka-boneka yang berwujud manusia dan hewan berukuran 40 centimeter. Boneka-boneka itu ia pungut dari kotak kayu berukuran 100 x75 x 50 cm yang baru ia temukan dari balik pintu kamar.

Kotak itu sebelumnya terkunci dengan gembok warna perak yang tertempel di bagian tengahnya. Lesung membongkarnya setelah beberapa menit mencari kunci di sekeliling kamar, lalu menemukannya teronggok di dekat lemari besi.

Sunguh menyenangkan. Seperti perasaan banyak bocah seusianya. Karena Lesung bisa khayalkan tokoh-tokoh superhero pujaannya, wanita-wanita yang menggemaskan, para pelaku kejahatan yang akhirnya tak berkutik setelah ditumpas para satria penyelamat bumi. Lesung juga menirukan peran dan karakter dari manusia-manusia yang dia anggap berjasa, atau juga manusia-manusia yang sangat ia benci.

Kali pertama ia jumpai boneka-boneka tersebut, Lesung sempat bertanya dalam hati, untuk siapa boneka-boneka ini disimpan? Kenapa sang paman tak memberikan boneka-boneka itu kepadanya? Lesung berusaha berbaik sangka. 

Ia tahu pamannya sering memberi kejutan. Seperti saat ia naik kelas, sang paman memberinya wayang dan kaus bergambar gatut kaca . Mungkin paman menunggu aku berulang tahun ya, yang ketiga belas. 

Kan, mestinya ulang tahunku akan dirayakan pada hari Jumat pekan depan? Ah, biarlah nanti paman akan mengetahuinya sendiri. Paling tidak, sekarang aku sudah memegangnya, pikir Lesung dengan dua bola mata menerawang.

Hati Lesung tentu gembira. Koleksi mainnya bakal bertambah. Dia pun tak memermasalahkan, meski tak satu pun boneka yang terbuat dari kain tersebut tidak terlihat baru. Semuanya lusuh dan dibedaki debu. Jelas betul jika boneka-boneka itu sudah lama tak disentuh. 

Di dalam kotak juga ada beberapa alat musik. Gambreng, rebab, tambur, kendang, canang, alat tiup suling, terompet, serta gitar tiga senar. Semuanya juga sangat kuno dan tak pernah dirawat.

Lesung membebernya, lalu dipilah-pilah. Ada yang diletakkan berdiri, ada yang tertidur. Debu-debu yang menempel di boneka-boneka dilap dengan kain taplak meja. Kedua jari-jemarinya kemudian dimasukkan ke bagian bawah boneka-boneka tersebut. Meski berasa longgar, namun ia masih leluasa menggerakkan jari-jemarinya.

Lesung mainkan boneka-boneka itu layaknya berada dalam pementasan wayang. Ia merasa dirinya disaksikan banyak orang. Dengan pandangannya ke atas, kedua tangan Lesung menggerakkan boneka-boneka itu. Berdiri, berjalan, membungkuk, dan menidurkannya bila tak sedang ia lakonkan.

Lesung berbicara sendiri dengan kalimat-kalimat panjang. Kebanggaannya menciptakan pahlawan-pahlawan khayalan yang penuh harapan. Melabrak kaum culas dan pengkhianat. Membayangkan gunung-gunung tinggi yang berhasil ia taklukkan.

Dalam keriangan ia bercanda berjam-jam tanpa rasa penat. Lesung juga bisa menampar, menendang, dan menangis bila sedih bersanding dengan boneka-boneka tersebut.

Lesung membayangkan dirinya sebagai seorang dalang yang hebat. Yang bisa membuat cerita-cerita yang menggugah emosi penonton. Yang mampu mengajak penonton tertawa terpingkal-pingkal. Lesung juga dibayangkan tepukan panjang penonton. Berikut keheningan penonton yang rela menunggu episode terakhir ceritanya sampai pagi.

He.he.. he..kamu si Moni yang cantik, hendak ke mana kamu. Sini kamu, apa kamu mau kejadikan istriku yang kelima, hikk..hikk, Lesung berujar, lalu tersenyum gurih seraya melenggak-lenggokkan boneka-boneka itu seperti berjalan. Lesung mencomot saja nama untuk menyebut boneka berwajah perempuan. 

Moni, teman satu sekolah yang berwajah imut berjanggut lancip. Bibirnya tipis. Rambutnya dipotong poni. Moni yang namanya selalu disebut-sebut ketika berjalan di depan teman-teman pria di sekolahnya.

Masih dengan gerakan tangan penuh semangat. Hai, Si Jangkung. Jika kamu benar-benar jagoan, singkirkan orang-orang jahat berwajah buruk dari negeri ini. Aku sudah muak. Orang-orang berleher pendek itu, hancurkan, blarr...

Eh, tapi kamu harus mandi dulu. Baumu itu lho, busuk. Jangan dekat-dekat aku sebelum kamu berendam di sungai sana. Kamu gosok badanmu dengan sabun yang wangi, oce..? ucap Lesung seraya membuang salah satu boneka seperti terjun ke sungai.

***

Lesung tak bisa berucap secuil kata pun. Hanya tatapan penuh keheranan dan ketakutan yang dipakai untuk menjawabnya. Sekujur tubuhnya gemetaran. Pelupuk matanya tiba-tiba meredup. Hatinya benar-benar terguncang.

Sungguh, dia tak mengira barang-barang yang dipungut dari kotak kayu jati dengan gembok terbuka tersebut, melecut amarah Waskita. Hati Lesung meradang.

"Aku kasih tahu kamu, jangan pernah membuka barang-barang ini lagi. Jangan pernah! Sekarang kami pergi, pergi..!," suara Waskito makin meninggi.

Kenapa, paman? Dia mana suaramu yang lembut itu? Kenapa paman tega membentak aku? Apakah aku berdosa, paman? Lesung terus membatin.

Ia merasa ada ketidakwarasan. Di mana, kewarasan bertutur, mendidik, mendongeng yang penuh kesahajaan yang biasa dilakukan sang paman, semuanya rontok. Menyisakan kenaifan yang tersulut oleh emosi.

Bagi Lesung, boneka-boneka adalah obat hati. Bukan sekadar teman yang hadir dalam kehangatan pelukan bantal dan guling. Boneka-boneka itu adalah magnet yang mampu melambungkan jiwanya seolah berada di nirwana. Mengajaknya menari-nari di atas panggung yang selalu merindukan teriakan dan tepukan panjang hingga ia tertidur.

Tak secuil pun kata terucap dari mulut Lesung. Dia tepekur memandangi amarah Waskita. Lesung tak kuasa menyimpulkan, kenapa pamannya itu sangat panik lantaran ia memegang boneka-beneka itu?

Sesaat, Waskito bergegas meringkesi boneka-boneka itu, lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu. Diambilnya gembok dan kunci yang tercecer di lantai. Braakkk... kotak kayu ditutup lantas digemboknya rapat-rapat. Napas Waskita seketika meluap naik-turun.

Di kamar itu, Waskita tertahan sendirian. Mulutnya serasa terkunci. Dia tersadar, betapa terpukul hati keponakannya ketika harus pergi setelah bersiah dengannya. Perasaan bersalah dan dosa membekap batin Waskita. Amarahnya yang membakar membuat dirinya makin sedih.

Waskita tak punya keberanian. Boneka-boneka itu memang menyimpan cerita suram. Cerita yang sudah harus dikubur dan tak pernah ditatapnya lagi. Dan jangan, jangan pernah lagi menggugah kepedihan itu. Terlalu sakit, Waskita berucap, seolah memprotes kejadian pagi ini.

Tiba-tiba, ingatan Waskita mengembang luas. Menghadirkan sebongkah masa kelam saat ia harus pergi dan bersembunyi dari satu pementasan ke pementasan. Di mana jantungnya acap menggigil menyusul pengintaian aparat Babinsa

Waskita mengingat betul, upayanya membungun tradisi bertutur yang sarat pesan moral, kontrol sosial, religi, harus dibalas dengan ancaman dan intimidasi. Hampir semua pintu rezeki tertutup. Pengerdilan tanpa batas. Namanya tercatat dalam daftar hitam.

Waskita kehilangan semua keceriaannya ketika memadu berbagai lakon dan karakter yang biasa dibawakan. Sie Jin Kwie, Hong Kiam Cun Ciu, Cun Hun Cauw Kok, dan Poei Sie Giok. Atau Bankong, Udi King, Sia Kao Kim. Tak terkecuali legenda Kera Sakti yang sering ia pentaskan.

Sejak kecil, Waskita memang tak bisa lepas dengan boneka-boneka itu. Hampir tiap hari ia selalu mampir di kelenteng dalam perjalanan pulang sekolah. Ketika orang-orang memainkan boneka-boneka nan lindah, ia selalu melongok di luar pagar kelenteng itu. 

Ia memimpikan berada di dalam kelenteng, memainkan boneka-boneka itu. Hingga suatu saat The Bing Tjioe, seorang pengurus kelenteng, mengajaknya masuk, membiarkan dirinya memainkan boneka-boneka dan alat musik. 

Mampirlah tiap hari, Nak. Beri tahu orangtuamu supaya kamu tidak dicari-cari, kami sangat senang kamu mau belajar, begitu The Bing Tjioe menyapanya kali pertama mengajak Waskita masuk kelenteng.

Waskita kecil perlahan makin mencintai tontonan yang memainkan epos zaman kerajaan di Tiongkok. Ia berani nyantrik. Mulai belajar memainkan semua alat musik. Dari hanya melihat gurunya yang meninggal dalam usia 86 itu mentas, sampai 21 cerita dikuasainya. 

Meski dirinya tak pernah mahir berbahsa Tionghoa. Keberaniaan yang memukau. Kepercayaan dirinya terasah dengan daya ingat menghapal bagian-bagian penting dalam cerita. Tanpa terasa, di usia 15 tahun Waskita sudah berani mentas. Keadaan yang teramat memaksa. Sang guru berhalangan, jadwal manggung tak bisa ditolak. Manusia yang mengindahkan janji tergolong orang yang munafik.

Jadilah Waskita seorang dalang baru. Jadwal manggungnya lumayan padat. Dalam sehari, ia mampu bermain hingga tiga kali dalam petilan berbeda. Jika minimal sekali sehari satu petilan dimainkan, satu lakon utuh akan bisa tuntas dalam dua minggu. Kehidupan keluarganya terkerek naik Panggilan jiwanya menuntunnya untuk setia.

Hidup yang mapan itu ternyata tidak abadi. Kemapanan ekonomi rontok bersamaan dengan meletusnya peristiwa huru-hara. Kejadian yang sangat cepat. Seluruh harta benda Waskita dijarah perampok. Semua musnah. Istri dan anaknya harus membayar nyawa karena insiden kekerasan yang mengerikan itu.

Kengerian itu pun selalu terbayang. Tak mudah melewatkan masa-masa itu. Bersama boneka-boneka yang masih terselamatkan, Waskita pergi sejauh mungkin. Dia tak sanggup lagi membayar semua kegelisahan itu meski hanya sekadar bernostalgia. (agus wahyudi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun