Ya, pria itu kini datang dengan rupa amat sangat tak bersahabat. Wajah yang terenggut oleh dorongan jiwa serasa terampas. Suaranya terus meninggi. Pandangan dan kecurigaan yang sarat prasangka.
Lesung, begitu bocah bertubuh agak bongsor karib disapa. Pekan liburan, ia bermain dengan boneka-boneka yang berwujud manusia dan hewan berukuran 40 centimeter. Boneka-boneka itu ia pungut dari kotak kayu berukuran 100 x75 x 50 cm yang baru ia temukan dari balik pintu kamar.
Kotak itu sebelumnya terkunci dengan gembok warna perak yang tertempel di bagian tengahnya. Lesung membongkarnya setelah beberapa menit mencari kunci di sekeliling kamar, lalu menemukannya teronggok di dekat lemari besi.
Sunguh menyenangkan. Seperti perasaan banyak bocah seusianya. Karena Lesung bisa khayalkan tokoh-tokoh superhero pujaannya, wanita-wanita yang menggemaskan, para pelaku kejahatan yang akhirnya tak berkutik setelah ditumpas para satria penyelamat bumi. Lesung juga menirukan peran dan karakter dari manusia-manusia yang dia anggap berjasa, atau juga manusia-manusia yang sangat ia benci.
Kali pertama ia jumpai boneka-boneka tersebut, Lesung sempat bertanya dalam hati, untuk siapa boneka-boneka ini disimpan? Kenapa sang paman tak memberikan boneka-boneka itu kepadanya? Lesung berusaha berbaik sangka.Â
Ia tahu pamannya sering memberi kejutan. Seperti saat ia naik kelas, sang paman memberinya wayang dan kaus bergambar gatut kaca . Mungkin paman menunggu aku berulang tahun ya, yang ketiga belas.Â
Kan, mestinya ulang tahunku akan dirayakan pada hari Jumat pekan depan? Ah, biarlah nanti paman akan mengetahuinya sendiri. Paling tidak, sekarang aku sudah memegangnya, pikir Lesung dengan dua bola mata menerawang.
Hati Lesung tentu gembira. Koleksi mainnya bakal bertambah. Dia pun tak memermasalahkan, meski tak satu pun boneka yang terbuat dari kain tersebut tidak terlihat baru. Semuanya lusuh dan dibedaki debu. Jelas betul jika boneka-boneka itu sudah lama tak disentuh.Â
Di dalam kotak juga ada beberapa alat musik. Gambreng, rebab, tambur, kendang, canang, alat tiup suling, terompet, serta gitar tiga senar. Semuanya juga sangat kuno dan tak pernah dirawat.
Lesung membebernya, lalu dipilah-pilah. Ada yang diletakkan berdiri, ada yang tertidur. Debu-debu yang menempel di boneka-boneka dilap dengan kain taplak meja. Kedua jari-jemarinya kemudian dimasukkan ke bagian bawah boneka-boneka tersebut. Meski berasa longgar, namun ia masih leluasa menggerakkan jari-jemarinya.
Lesung mainkan boneka-boneka itu layaknya berada dalam pementasan wayang. Ia merasa dirinya disaksikan banyak orang. Dengan pandangannya ke atas, kedua tangan Lesung menggerakkan boneka-boneka itu. Berdiri, berjalan, membungkuk, dan menidurkannya bila tak sedang ia lakonkan.